Bab 7 Apa Kau Mengenalku?
by Abigail Kusuma
09:37,Aug 02,2023
“Apa ada hal yang kau pikirkan, Nona Miranda Spencer?” Suara Athes bertanya seraya menyunggingkan senyuman misterius, menatap Miranda. Sebuah senyuman yang tersirat menggoda. Terlihat wajah Athes tampak begitu santai kala menatap Miranda yang penuh dengan kegugupan dan kecemasan.
“Ah, tidak. Aku tidak memikirkan apa pun, Tuan Athes Russel.” Miranda memaksakan senyuman di wajahnya. Dia bersumpah, pria di hadapannya ini pasti mengetahui dirinya yang begitu gugup. Sesaat Miranda mengatur napasnya, dia berusaha untuk tenang dan tidak panik.
“Baiklah, Tuan Athes. Aku dan Darren—putraku, harus pamit. Hari ini kami masih harus melihat proses pembangunan hotel terbaru. Aku sengaja meminta putriku datang, karena dia yang akan menggantikanku meeting denganmu,” ujar Ryhan yang sontak membuat Miranda terkejut.
“Dad, kau mau pergi? Kenapa kau tidak bilang padaku?” tanya Miranda dengan raut wajah yang semakin panik kala mendengar ayah dan kakaknya akan meninggalkan ruang meeting itu. Astaga, Miranda bersumpah jantungnya hampir saja berhenti berdetak kala mendengar perkataan ayahnya yang akan meninggalkannya berdua dengan Athes Russel.
Ryhan langsung menatap dingin putrinya agar tidak banyak bertanya. Sedangkan Miranda, dia menatap kesal ayahnya yang selalu memaksakan kehendaknya.
“Miranda, aku dan Dad harus mengurus proyek pembangunan hotel terbaru kita. Hari ini, kami sengaja memintamu datang karena nanti ke depannya kau yang akan sering bertemu dengan Tuan Athes Russel,” sambung Darren seraya menatap Miranda.
Miranda mengumpat dalam hati, merutuki kesialan hidupnya. Ingin rasanya dia berontak dan melawan, tapi itu tidak akan mungkin terjadi.
“Aku rasa aku akan sangat senang bisa langsung bekerja sama dengan Nona Miranda Spencer,” ujar Athes dengan senyuman misterius di wajahnya.
“Baiklah, kalau begitu kami pamit.” Ryhan dan Darren beranjak berdiri, mereka langsung berjalan meninggalkan ruang meeting itu.
“A-Aku, aku akan memanggil assistant-ku, Tuan.” Miranda hendak beranjak berdiri, kala ayah dan kakaknya sudah berjalan meninggalkan ruang meeting. Namun, tiba-tiba tangan kokoh menarik tangan Miranda dan langsung membopong tubuhnya terduduk di meja. Sontak, Miranda terkejut kala melihat dirinya duduk di atas meja.
“T-Tuan Athes, apa yang kau lakukan?” Miranda gelagapan kala Athes yang membopong tubuhnya hingga terduduk di atas meja. Miranda hendak turun, namun Athes langsung mengungkung tubuh Miranda. Kini jarak keduanya begitu dekat. Bahkan terdengar jantung Miranda yang berdegup kencang.
“Apa kau mengingatku?” Athes menarik dagu Miranda, dia menatap manik mata perak wanita itu. “Ah, kau tidak mungkin melupakanku,” bisiknya dengan nada rendah tepat di depan bibir Miranda.
“A-Apa maksud Anda, Tuan? Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan,” Miranda berusaha berontak. Tapi semua itu sia-sia karena Athes merapatkan tubuhnya dan mengunci pergerakannya. Astaga, Miranda bersumpah, dia ingin sekali menendang pria menyebalkan itu.
“Tidak mengerti?” Athes tersenyum misterius, sebuah senyuman yang tersirat menggoda Miranda. “Bagaimana kau tidak mengerti pada pria yang pertama kali menyentuhmu. Aku sangat yakin, kau tidak mungkin melupakan malam itu,” bisiknya di telinga Miranda seraya mengecupi telinganya.
Wajah Miranda kian memucat. Terlihat kepanikan di matanya. Dia tidak menyangka Athes mengingat tentang malam itu. Berkali-kali Miranda berusaha untuk tenang, tapi tetap saja kegugupan begitu terlihat di wajahnya.
“Jaga sikapmu, Tuan Athes Leonard Russel,” tukas Miranda yang berusaha untuk tenang seraya memberikan tatapan dingin pada Athes.
“Athes. Kau cukup panggil namaku ketika kita sedang berdua,” Athes mengelus lembut bibir Miranda. “Jangan terlalu formal denganku, Miranda.”
Miranda membuang napas kasar. “Kau adalah rekan bisnis perusahaan keluargaku. Aku tidak mungkin hanya memanggilmu hanya dengan namamu saja.”
“Ah, begitu.” Athes semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Miranda. Tiba-tiba, dia membawa tangannya menyentuh gundukan kembar di dada Miranda. Hingga membuat Miranda terkejut.
“Jaga sopan santunmu!” Miranda hendak menepis tangan Athes, tapi sia-sia karena Athes semakin meremas dada Miranda. Miranda menggigit bibir bawahnya menahan desahan dari bibirnya.
“Apa kau masih memintaku menjaga sopan santunku?” Athes berbisik dengan nada rendah, tepat di depan bibir Miranda. “Tubuhmu tidak menolak sentuhanku. Jangan berpura-pura kau seolah tidak mengenalku. Meski saat itu kau mabuk, aku yakin kau tidak mungkin lupa dengan pria pertama yang menyentuhmu. Terlebih malam itu sangat luar biasa, aku tidak menyangka bisa bercinta dengan wanita yang masih virgin.”
Miranda menggeram. Dia mengumpat dalam hati merutuki kesialannya harus kembali bertemu dengan one night stand-nya. Astaga, ingin sekali Miranda menendang pria di hadapannya ini.
“Bisakah kau professional, Athes Russel?” seru Miranda yang sudah tidak lagi bisa bersabar. “Kau harus tahu ini adalah kantor! Harusnya kau bisa menjaga sikapmu!”
Athes menyeringai mendengar ucapan Miranda. “Jadi kau sudah mengingatku, bukan?”
Miranda menghela napas dalam. “Apa yang terjadi di antara kita hanya sebatas teman kencan satu malam. Tidak lebih dari itu! Meski sekarang kita dipertemukan lagi, bukan artinya kita harus saling mengenal dan menyapa! Aku harap, kau bisa menjaga sifatmu dengan baik! Bagaimanapun kau adalah rekan bisnis ayahku.”
“Teman kencan satu malam?” Athes menaikkan sebelah alisnya, dia menyunggingkan senyuman samar. “Bagaimana jika aku tidak ingin hanya menjadi teman kencan satu malammu? Lebih tepatnya aku menginginkan menghabiskan banyak malam bersama denganmu.”
“Gila! Kau gila, Athes!” maki Miranda kesal.
“Yes, I’m. Aku telah kehilangan akal sehatku saat seorang wanita meninggalkanku setelah malamnya aku dengannya bercinta dengan hebat. Tidak hanya itu, tapi wanita itu juga meninggalkan sebuah surat dan juga uang,” tukas Athes dengan seringai di wajahnya.
‘Sialan, pria ini meledekku!’ gerutu Miranda dalam hati.
“Kenapa hanya diam, Nona Miranda Spencer? Apa kau sedang memikirkan alasan yang tepat?” ujar Athes yang sengaja mengejek wanita itu.
Miranda turun dari meja, dia membenarkan bajunya yang sedikit berantakan. Kemudian, dia menghunuskan tatapan tajamnya seraya berkata, “Aku meninggalkanmu atau tidak itu adalah hakku. Kau tidak berhak menahanku untuk tetap tinggal!”
Athes mengangguk-anggukkan kepalanya seolah menyetujui perkataan Miranda. “Tapi sayangnya setelah kita kembali bertemu dan menjadi partner bisnis. Aku tidak mungkin melepasmu. Mungkin kita bisa menjadi partner seks,” jawabnya dengan begitu santai.
Miranda mendelik, tatapannya kian menajam pada Athes. “Gila! Kau pria gila!”
“Ya, itu semua karena dirimu,” tukas Athes dengan nada acuh.
“Aku bisa ikut menjadi gila karenamu, Athes! Aku ingatkan lagi padamu, waktu itu kita hanya bersenang-senang. Jangan berpikir lebih! Jika kau membutuhkan partner seks, kau bisa mencari seorang jalang! Dengan apa yang kau miliki harusnya kau bisa membayar jalang yang bisa memuaskanmu!” seru Miranda yang berusaha menahan amarahnya. Sial, beraninya pria itu mengatakan akan menjadi partner seks. Astaga, dia sungguh ingin membunuh pria yang ada di hadapannya ini.
“Sejak aku bertemu denganmu, aku tidak tertarik dengan wanita lain,” jawab Athes dengan seringai di wajahnya.
“Kau benar-benar telah kehilangan akal sehatmu, Athes Russel!” geram Miranda. Tanpa lagi berkata, dia menyambar ponsel dan tasnya yang berada di atas meja, dan hendak meninggalkan ruang meeting itu.
“Nona Miranda Spencer, jangan lupa besok pagi kau harus mengatur waktumu. Karena suka atau tidak suka, kita harus selalu bertemu membahas tentang kerja sama kita,” ujar Athes yang sontak membuat langkah Miranda terhenti.
Miranda mengumpat dalam hatinya. Dia terus merutuki nasib sialnya yang harus kembali bertemu dengan Athes. Miranda mengatur napasnya, dia berusaha untuk tenang. Kemudian, dia melihat Athes dari sudut matanya seraya berkata, “Assistant-ku akan mengatur waktu dan tempat pertemuan kita. Aku harap di pertemuan selanjutnya kau bisa bersikap professional.”
Kini Miranda kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan ruang meeting. Sedangkan Athes, dia terus menyeringai kala Miranda mulai menghilang dari pandangannya.
Athes tidak pernah menyangka Miranda adalah anak rekan bisnisnya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, sejak di mana Miranda meninggalkan sepucuk surat dan uang, membuat dirinya tidak lepas memikirkan sosok Miranda. Nyatanya, takdir masih mempertemukannya dengan sosok wanita itu. Dia pikir, dia tidak akan kembali bertemu dengannya. Tapi, ternyata dia kembali dipertemukan dengan cara yang tidak pernah dia sangka.
“Miranda Spencer. Jika kau berpikir aku dan kau hanya terlibat kencan satu malam, itu salah. Karena sepertinya, aku menginginkanmu di malam-malam berikutnya,” tukas Athes dengan seringai di wajahnya.
“Ah, tidak. Aku tidak memikirkan apa pun, Tuan Athes Russel.” Miranda memaksakan senyuman di wajahnya. Dia bersumpah, pria di hadapannya ini pasti mengetahui dirinya yang begitu gugup. Sesaat Miranda mengatur napasnya, dia berusaha untuk tenang dan tidak panik.
“Baiklah, Tuan Athes. Aku dan Darren—putraku, harus pamit. Hari ini kami masih harus melihat proses pembangunan hotel terbaru. Aku sengaja meminta putriku datang, karena dia yang akan menggantikanku meeting denganmu,” ujar Ryhan yang sontak membuat Miranda terkejut.
“Dad, kau mau pergi? Kenapa kau tidak bilang padaku?” tanya Miranda dengan raut wajah yang semakin panik kala mendengar ayah dan kakaknya akan meninggalkan ruang meeting itu. Astaga, Miranda bersumpah jantungnya hampir saja berhenti berdetak kala mendengar perkataan ayahnya yang akan meninggalkannya berdua dengan Athes Russel.
Ryhan langsung menatap dingin putrinya agar tidak banyak bertanya. Sedangkan Miranda, dia menatap kesal ayahnya yang selalu memaksakan kehendaknya.
“Miranda, aku dan Dad harus mengurus proyek pembangunan hotel terbaru kita. Hari ini, kami sengaja memintamu datang karena nanti ke depannya kau yang akan sering bertemu dengan Tuan Athes Russel,” sambung Darren seraya menatap Miranda.
Miranda mengumpat dalam hati, merutuki kesialan hidupnya. Ingin rasanya dia berontak dan melawan, tapi itu tidak akan mungkin terjadi.
“Aku rasa aku akan sangat senang bisa langsung bekerja sama dengan Nona Miranda Spencer,” ujar Athes dengan senyuman misterius di wajahnya.
“Baiklah, kalau begitu kami pamit.” Ryhan dan Darren beranjak berdiri, mereka langsung berjalan meninggalkan ruang meeting itu.
“A-Aku, aku akan memanggil assistant-ku, Tuan.” Miranda hendak beranjak berdiri, kala ayah dan kakaknya sudah berjalan meninggalkan ruang meeting. Namun, tiba-tiba tangan kokoh menarik tangan Miranda dan langsung membopong tubuhnya terduduk di meja. Sontak, Miranda terkejut kala melihat dirinya duduk di atas meja.
“T-Tuan Athes, apa yang kau lakukan?” Miranda gelagapan kala Athes yang membopong tubuhnya hingga terduduk di atas meja. Miranda hendak turun, namun Athes langsung mengungkung tubuh Miranda. Kini jarak keduanya begitu dekat. Bahkan terdengar jantung Miranda yang berdegup kencang.
“Apa kau mengingatku?” Athes menarik dagu Miranda, dia menatap manik mata perak wanita itu. “Ah, kau tidak mungkin melupakanku,” bisiknya dengan nada rendah tepat di depan bibir Miranda.
“A-Apa maksud Anda, Tuan? Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan,” Miranda berusaha berontak. Tapi semua itu sia-sia karena Athes merapatkan tubuhnya dan mengunci pergerakannya. Astaga, Miranda bersumpah, dia ingin sekali menendang pria menyebalkan itu.
“Tidak mengerti?” Athes tersenyum misterius, sebuah senyuman yang tersirat menggoda Miranda. “Bagaimana kau tidak mengerti pada pria yang pertama kali menyentuhmu. Aku sangat yakin, kau tidak mungkin melupakan malam itu,” bisiknya di telinga Miranda seraya mengecupi telinganya.
Wajah Miranda kian memucat. Terlihat kepanikan di matanya. Dia tidak menyangka Athes mengingat tentang malam itu. Berkali-kali Miranda berusaha untuk tenang, tapi tetap saja kegugupan begitu terlihat di wajahnya.
“Jaga sikapmu, Tuan Athes Leonard Russel,” tukas Miranda yang berusaha untuk tenang seraya memberikan tatapan dingin pada Athes.
“Athes. Kau cukup panggil namaku ketika kita sedang berdua,” Athes mengelus lembut bibir Miranda. “Jangan terlalu formal denganku, Miranda.”
Miranda membuang napas kasar. “Kau adalah rekan bisnis perusahaan keluargaku. Aku tidak mungkin hanya memanggilmu hanya dengan namamu saja.”
“Ah, begitu.” Athes semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Miranda. Tiba-tiba, dia membawa tangannya menyentuh gundukan kembar di dada Miranda. Hingga membuat Miranda terkejut.
“Jaga sopan santunmu!” Miranda hendak menepis tangan Athes, tapi sia-sia karena Athes semakin meremas dada Miranda. Miranda menggigit bibir bawahnya menahan desahan dari bibirnya.
“Apa kau masih memintaku menjaga sopan santunku?” Athes berbisik dengan nada rendah, tepat di depan bibir Miranda. “Tubuhmu tidak menolak sentuhanku. Jangan berpura-pura kau seolah tidak mengenalku. Meski saat itu kau mabuk, aku yakin kau tidak mungkin lupa dengan pria pertama yang menyentuhmu. Terlebih malam itu sangat luar biasa, aku tidak menyangka bisa bercinta dengan wanita yang masih virgin.”
Miranda menggeram. Dia mengumpat dalam hati merutuki kesialannya harus kembali bertemu dengan one night stand-nya. Astaga, ingin sekali Miranda menendang pria di hadapannya ini.
“Bisakah kau professional, Athes Russel?” seru Miranda yang sudah tidak lagi bisa bersabar. “Kau harus tahu ini adalah kantor! Harusnya kau bisa menjaga sikapmu!”
Athes menyeringai mendengar ucapan Miranda. “Jadi kau sudah mengingatku, bukan?”
Miranda menghela napas dalam. “Apa yang terjadi di antara kita hanya sebatas teman kencan satu malam. Tidak lebih dari itu! Meski sekarang kita dipertemukan lagi, bukan artinya kita harus saling mengenal dan menyapa! Aku harap, kau bisa menjaga sifatmu dengan baik! Bagaimanapun kau adalah rekan bisnis ayahku.”
“Teman kencan satu malam?” Athes menaikkan sebelah alisnya, dia menyunggingkan senyuman samar. “Bagaimana jika aku tidak ingin hanya menjadi teman kencan satu malammu? Lebih tepatnya aku menginginkan menghabiskan banyak malam bersama denganmu.”
“Gila! Kau gila, Athes!” maki Miranda kesal.
“Yes, I’m. Aku telah kehilangan akal sehatku saat seorang wanita meninggalkanku setelah malamnya aku dengannya bercinta dengan hebat. Tidak hanya itu, tapi wanita itu juga meninggalkan sebuah surat dan juga uang,” tukas Athes dengan seringai di wajahnya.
‘Sialan, pria ini meledekku!’ gerutu Miranda dalam hati.
“Kenapa hanya diam, Nona Miranda Spencer? Apa kau sedang memikirkan alasan yang tepat?” ujar Athes yang sengaja mengejek wanita itu.
Miranda turun dari meja, dia membenarkan bajunya yang sedikit berantakan. Kemudian, dia menghunuskan tatapan tajamnya seraya berkata, “Aku meninggalkanmu atau tidak itu adalah hakku. Kau tidak berhak menahanku untuk tetap tinggal!”
Athes mengangguk-anggukkan kepalanya seolah menyetujui perkataan Miranda. “Tapi sayangnya setelah kita kembali bertemu dan menjadi partner bisnis. Aku tidak mungkin melepasmu. Mungkin kita bisa menjadi partner seks,” jawabnya dengan begitu santai.
Miranda mendelik, tatapannya kian menajam pada Athes. “Gila! Kau pria gila!”
“Ya, itu semua karena dirimu,” tukas Athes dengan nada acuh.
“Aku bisa ikut menjadi gila karenamu, Athes! Aku ingatkan lagi padamu, waktu itu kita hanya bersenang-senang. Jangan berpikir lebih! Jika kau membutuhkan partner seks, kau bisa mencari seorang jalang! Dengan apa yang kau miliki harusnya kau bisa membayar jalang yang bisa memuaskanmu!” seru Miranda yang berusaha menahan amarahnya. Sial, beraninya pria itu mengatakan akan menjadi partner seks. Astaga, dia sungguh ingin membunuh pria yang ada di hadapannya ini.
“Sejak aku bertemu denganmu, aku tidak tertarik dengan wanita lain,” jawab Athes dengan seringai di wajahnya.
“Kau benar-benar telah kehilangan akal sehatmu, Athes Russel!” geram Miranda. Tanpa lagi berkata, dia menyambar ponsel dan tasnya yang berada di atas meja, dan hendak meninggalkan ruang meeting itu.
“Nona Miranda Spencer, jangan lupa besok pagi kau harus mengatur waktumu. Karena suka atau tidak suka, kita harus selalu bertemu membahas tentang kerja sama kita,” ujar Athes yang sontak membuat langkah Miranda terhenti.
Miranda mengumpat dalam hatinya. Dia terus merutuki nasib sialnya yang harus kembali bertemu dengan Athes. Miranda mengatur napasnya, dia berusaha untuk tenang. Kemudian, dia melihat Athes dari sudut matanya seraya berkata, “Assistant-ku akan mengatur waktu dan tempat pertemuan kita. Aku harap di pertemuan selanjutnya kau bisa bersikap professional.”
Kini Miranda kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan ruang meeting. Sedangkan Athes, dia terus menyeringai kala Miranda mulai menghilang dari pandangannya.
Athes tidak pernah menyangka Miranda adalah anak rekan bisnisnya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, sejak di mana Miranda meninggalkan sepucuk surat dan uang, membuat dirinya tidak lepas memikirkan sosok Miranda. Nyatanya, takdir masih mempertemukannya dengan sosok wanita itu. Dia pikir, dia tidak akan kembali bertemu dengannya. Tapi, ternyata dia kembali dipertemukan dengan cara yang tidak pernah dia sangka.
“Miranda Spencer. Jika kau berpikir aku dan kau hanya terlibat kencan satu malam, itu salah. Karena sepertinya, aku menginginkanmu di malam-malam berikutnya,” tukas Athes dengan seringai di wajahnya.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved