Bab 11 Kehidupan Rumah Tangga

by Azalea_ 10:38,Aug 16,2023
“Jana, kamu ikut nggak ke rumah, Mama?”
Renjana baru selesai memasukkan pakaiannya ke dalam lemari yang baru saja selesai di setrika oleh asisten di sana. “Ke rumah mama kamu atau mama aku?”
Di kamar yang cukup luas, mereka bisa menyaksikan seorang anak main kejar-kejaran dengan orangtua ketika sedang bercanda. Bayangan itu mulai bermunculan di dalam kepala Renjana. Namun, untuk melakukan hal selanjutnya justru rasanya agak sedikit takut. Bayangan sakit, malu dan juga tidak siap dengan malam pertama yang pernah dia dengar dari beberapa temannya tentang rasa nyeri yang sampai pagi bisa dia rasakan. Bahkan berhari-hari bisa ia rasakan juga.
Baru saja dia menutup pintu lemari, Hanif malah memeluknya dari belakang. “Aku ajak kamu ke rumah mama aku. Kita belum pernah ke sana sejak menikah. Mama terus yang nyusulin ke sini.”
Renjana tidak bekerja, takut jika dia mendapatkan ledekan dari orang- orang yang ada di rumahnya Hanif. Semenjak menikah, Hanif memang

memaksa dia untuk tetap berada di rumah. Tidak bekerja dan hanya menerima gaji suami.
Sekali lagi, gaji suami.
Sudah pasti akan ditertawakan jika seorang wanita tidak bekerja bukan?
Pikiran buruk Renjana pun mulai berkecamuk. “Aku mau siap-siap dulu.”
“Nggak ah, bentar aja. Pengen peluk aja. Kangen sama istri.”
Kangen sama istri? Terdengar indah bukan? Baru kali ini ada yang menyebutnya dengan sebutan itu. bahagia dan juga pasti menyenangkan bagi Renjana dipanggil seperti itu oleh suaminya, ia memegang tangan suaminya dan masih menikmati pelukan Hanif dari belakang. Dua bulan menikah, dua bulan hanya ada ciuman dan pelukan. Renjana masih bergidik ngeri tentang malam pertama itu.
Hanif tidak pernah memaksanya juga melakukan hal itu. Antara siap dan tidak, tetap saja dia akan melayani suaminya nanti. Hanif berhak, Hanif suaminya. Dia pantas mendapatkan apa yang ada pada Renjana.
Tangan itu terasa sangat nyaman. Dari belakang, dibarengi dengan sesekali ciuman Hanif pada pipinya. “Hanif.”
“Iya sayang?”
“Kenapa kamu romantis banget?”
Hanif membalik tubuhnya Renjana. “Aku sudah bilang, kita pacaran dulu. Baru dua bulan, kan? Masih ada tahun berikutnya untuk pacaran. Doakan saja kita panjang umur agar bisa pacaran seperti ini terus. Membayangkan kamu yang teramat cantik seperti itu menatapku dengan sangat dalam sudah membahagiakan rasanya.”

Mereka sudah berciuman entah keberapa kali, tapi tetap saja Renjana merasa sangat bahagia dan juga tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Beruntungnya dia bisa menjaga diri dan tidak ada kecupan apa pun dari Yoga yang membuatnya menyesal.
Sangat bersyukur Renjana pacaran dengan biasa saja dulu. Apa yang menjadi hak suaminya memang akan dia berikan dengan baik. “Jana.”
“I-iya.”
“Boleh malam ini?”
Masa subur, Renjana dalam masa subur sekarang. “Kamu siap?”
Suaminya menganggukkan kepala dengan pelan. “Aku sudah siap sejak beberapa waktu lalu. Tapi aku nggak mau maksa kamu dan buat kamu sedih. Kalau memang kamu siap, aku juga bakalan jauh lebih siap.”
“Hanif, aku takut.”
Ketakutan tentang hubungan yang tidak pernah dirasakan jelas saja mampu membuat Renjana ketakutan mengenai malam pertama yang pernah dia dengar sangat mengerikan dan juga malu. Bayangkan saja dia tidak akan mengenakan sehelai benang pun di hadapan suaminya. Pria itu dengan bebas untuk mencium semua yang berhak dia lakukan. “Aku janji, kita coba pelan-pelan.”
Hanif tidak punya pengalaman, Renjana tahu itu. Mengingat ciuman mereka sama-sama sesak waktu itu. Hanif izin dengan cukup baik mengenai hubungan mereka. “Apa boleh?”
Renjana menarik kemeja suaminya dan mengeratkannya. “Aku kadang mikirin takutnya.”

“Kita sama-sama nggak ada pengalaman, Renjana. Aku juga nggak ada pengalaman dan kamu tahu akan hal itu. Kita coba berdua, dan aku sudah siap.”
Hanif sudah meminta haknya, yang artinya Renjana harus mau melakukannya, bukan?
“Jana.”
“Kita nggak usah ke rumah, Mama?”
Dilihat dari senyuman Hanif yang selalu mampu membuat Renjana tenggelam seperti di teluk Mariana. Sekarang dia merasa damai dengan anggukan Hanif barusan. “Kita nggak ke sana. Asal kamu tetap di sini.”
“Aku mau.” Renjana menjawab dengan spontan dan benar bahwa malam itu akan tiba.
Maka akan tetap menjadi malam-malam berikutnya tentang hubungan mereka berdua.
Selesai dengan tatap menatap. Renjana pun merasa gugup sekarang.
Apa benar malam itu akan berlangsung malam ini.
Menikah tanpa pernah tahu siapa yang akan dinikahi, tanpa tahu calonnya seperti apa sebelumnya. Tiga hari waktu mereka untuk berkenalan dan tiba-tiba sudah terikat dengan ikatan pernikahan yang SAH. Apa yang ada di pikiran orang lain mengenai dia yang menikah dengan pria lain? Jelas banyak yang menghujat Renjana.
Duduk di pinggir ranjang ketika Hanif baru saja masuk ke kamar mereka setelah tadi mereka makan malam dan Hanif izin keluar menyelesaikan pekerjaan. Dan suaminya sekarang malah sudah berganti

pakaian yang tadinya menggunakan kaos hitam dan celana panjang kain. Sekarang sudah mengenakan piyama senada dengan Renjana.
Sekuat mungkin Renjana menguatkan dirinya untuk tidak merasa gugup dengan ini.
“Aku nggak maksa kalau kamu masih takut.”
****
Kediaman keluarga besar Hanif cukup ramai menantikan pengantin baru yang tidak pernah berkunjung ke sana sejak mereka menikah. “Ma, kenapa Hanif lama sekali?”
Mereka semua menantikan kedatangan Renjana dan Hanif untuk berkunjung karena mereka sudah sangat merindukan Renjana—menantu yang sangat dinanti-nantikan di sini. sebab Hanif adalah orang yang cukup pendiam, baik dan juga tidak terlalu bawel dalam hal apa pun. Jadi penasaran bagaimana sosok istrinya Hanif sudah jelas dinantikan oleh mereka semua.
“Pa, Hanif nggak hubungi?”
“Nggak ada dari tadi. Papa juga udah kirim pesan, tapi nggak dibalas. Sudah jam sembilan lebih, biasanya dia kalau mau pulang pasti ngabarin, kan?”
Ya mereka semua menantikan keduanya. Jelas orangtuanya Hanif juga sangat rindu. Sejak menikah Hanif tidak pernah pulang lagi, hanya sesekali menghubungi memberi kabar. Selanjutnya sibuk lagi dengan hidupnya.
Dari semua keluarganya, hanya dia yang menolak mengikuti jejak keluarganya yang sebagian besar merupakan pegawai negeri. Tapi bisa dibilang Hanif cukup sukses jadi arsitek. Apa pun yang dibutuhkan oleh

keluarga bisa dia penuhi. Bahkan rumah orangtua juga direnovasi oleh Hanif dengan biaya sendiri. “Kalau udah jam segini mana mungkin sih dia masih bangun, Pa. Hanif kan kayak ayam, tidurnya cepet banget.”
Kakak tertuanya Hanif—yaitu Imran malah meragukan jika adiknya akan datang. “Kalau dia nggak datang jam segini, artinya dia nggak bakalan datang, Ma.”
“Mama juga nggak tahu, Imran. Mungkin dia ketiduran, kamu tahu kan adikmu kayak apa. Kita nungguin dia yang nggak ada kepastian gini.”
Ami menoleh ketika mendapati panggilan dari Hanif. “Hanif.” pelan Ami memanggil putranya.
“Maaf, ya. Hanif belum bisa ke sana malam ini. Mungkin lain kali.
Renjana juga sudah tidur, Ma.”
Ami tidak berkomentar apa pun. Ya mereka berharap Renjana segera isi. Karena Hanif sudah cukup umur untuk menjadi seorang Ayah. “Ya udah kamu istirahat aja kalau gitu.”
Ami menutup teleponnya ketika Hanif sudah memutus sambungan telepon. “Renjana udah tidur.” Ami menghela napas putus asa ketika anak dan menantunya tidak datang ke rumah mereka.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

24