Bab 5 Part 5
by Neng Gemoy
19:53,Dec 05,2023
“Peristiwa Kenari”, demikian Rien menamakannya, adalah sebuah langkah tak terencana yang sempat membuat wanita lajang ini panik. Ketika mereka berdua akhirnya tiba kembali di kota, menembus rintik hujan dan gelap senja, Rien sempat ingin berbincang dahulu. Ia ingin menjelaskan sesuatu, agar Kino tak salah tangkap.
Tetapi mulutnya terkunci, dan otaknya buntu. Lagipula, apa yang bisa ia jelaskan? Misteri apa yang bisa ia ungkap dalam sebuah peristiwa pendek yang begitu bergelora tadi? Dan kenapa ia harus kuatir akan Kino; kesalah-tangkapan apa yang mungkin terbesit di benak pria muda itu?
Akhirnya mereka berpisah dengan kikuk. Di perempatan dekat kantor camat, Rien berbelok ke kiri, ke tempat kostnya. Sambil berusaha tersenyum menenangkan diri, ia melambaikan tangan dari atas sepedanya.
Kino tampak ragu-ragu, apakah hendak ikut belok kiri atau terus, langsung ke rumahnya. Tetapi dilihatnya Mba Rien hanya melambai, tidak menawarkan mampir. Maka ia pun hanya membalas lambaian dan melanjutkan perjalanan ke rumah.
Di tempat kost, Rien memutuskan untuk segera mandi, terburu-buru melepas jaket parasut dan celana pendeknya. Dengan bersaput handuk, ia berlari kecil ke kamar mandi di sebelah kamar tidurnya.
Teman satu kostnya, seorang guru SMP bernama Laras yang sebaya dengannya, tak tampak. Mungkin sedang bermain ke tetangga sebelah. Cepat-cepat Rien mengunci pintu kamar mandi dan membuka pakaian-pakaian dalamnya. Lalu ia membasuk kaki-kakinya yang terpercik lumpur, dan mencuci tangan.
Sewaktu mencuci tangan itulah, terbayang kembali “peristiwa kenari” yang barusan dialaminya. Sambil tersenyum, dalam hati ia memarahi dirinya sendiri. Rien, kamu telah membuka gerbang ke arah dunia yang tak terduga! Kini, apa yang akan terjadi berikutnya, kamu harus simak dengan seksama.
Dan dengan hati-hati. Siapa yang tahu, apa yang kini bergejolak di hati Kino, dan apakah keremajaannya mampu menampung gejolak itu. Rien mengambil sabun dan membasuh kedua tangannya dengan seksama. Tangan itu yang tadi meremas-membelai, menguak sebuah tabir dari babak cerita di panggung kehidupan!
Lalu Rien menumpahkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya. Segera kesegaran menyerbu badannya, membuatnya ingin bernyanyi. Maka tak lama kemudian ia menggumamkan lagu -entah apa- sambil mulai menyabuni tubuhnya.
Lehernya yang jenjang ia sabuni. Sepasang bukit indah di dadanya, ia sabuni, sampai dipenuhi busa-busa harum. Pada saat menyabuni bagian bawah tubuhnya, ia terkejut sendiri. Hampir saja sabun lepas dari genggaman. Ternyata kewanitaannya basah oleh cairan bening yang telah lama tak pernah ada di sana.
Kekagetannya juga berlanjut, ketika Rien sadar bahwa di bagian itu ada rasa hangat yang berlebihan. Ada sensitifitas yang lebih dari biasanya. Tanpa sabun, tangannya bergerak lebih ke bawah, mengusap-usap seperti sedang menduga apa gerangan yang terjadi.
Sebenarnya, Rien tak perlu menduga, karena setiap usapan mendatangkan rasa yang telah lama tak dirasakannya: sebentuk geli yang bercampur nikmat, yang dengan mudah membuat jantungnya berdegup sekian kali lebih kencang.
Tanpa bisa dicegah, Rien tiba-tiba mendesah, dan kedua kakinya bagai sedang berseteru, saling memisahkan diri satu sama lainnya.
Suara kucuran air cukup keras menyembunyikan desah Rien yang kini memperkuat usapan tangannya. Bahkan itu bukan lagi mengusap namanya. Itu meremas namanya. Menekan-nekan dengan telapak, dan menggaruk-mengurat dengan jari tengah.
Lalu pangkal ibu jarinya bertumbu pada bagian atas, bergerak-gerak seperti sedang menarik picu senjata. Rien menggelinjang, dan hampir saja terpeleset di lantai kamar mandi yang licin. Tangan kirinya yang bebas buru-buru berpegangan ke tembok, sementara tangan lainnya tak hendak berhenti.
Malah bergerak makin cepat seperti ada sesuatu yang mendesak yang harus dilakukan di bawah sana. Mata Rien sedikit terpejam, dan mulutnya yang berpagar bibir basah itu sedikit terbuka. Nafasnya sedikit memburu.
Serbuan-serbuan kenikmatan datang entah dari mana, dan Rien agak terhuyung, sehingga ia akhirnya bersandar di tembok marmer yang dingin dan basah.
Suara orang membuka pintu ruang depan membuat Rien tersentak sadar. Buru-buru ia kembali ke dekat bak mandi. Terdengar suara Lara nyaring, “Rieeeen …….. kau kah itu di kamar mandi?”
Rien membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba tersekat, sebelum menjawab keras-keras, “Ya, ini aku La … sedang mandi…”, entah apa pula perlunya menambahkan kata “sedang mandi” di ujung kalimat!
“Dari mana saja, anak manis?” teriak Lara lagi, terdengar melangkah menuju kamarnya di seberang kamar Rien.
“Dari hutan mencari kenari …. “, jawab Rien sambil mulai mengguyur.
Duh, segera saja api yang berkobar di tubuhnya padam. Dalam hati Rien bersyukur, Lara datang sebelum dirinya betul-betul terlena oleh tangannya sendiri!
Tetapi sesungguhnya ia juga kesal, kenapa Lara datang pada saat seperti itu. Sambil tertawa kecil, Rien menghentikan perdebatan di kalbunya. “Peristiwa Kenari” ternyata tidak hanya mengubah hidup Kino!!
Sementara Kino telah pula sampai di rumahnya. Ia telah pula di kamar mandi, dan telah pula menyabuni tubuhnya. Sama dengan Mba Rien, ia telah pula kembali membayangkan apa yang terjadi di hutan tadi.
Bedanya, Kino tak berhenti karena terganggu oleh teriakan ayah, atau panggilan ibu, atau ajakan Susi untuk bermain petak umpet. Kino melanjutkan gerakan-gerakan tangannya, mengerang pelan ketika akhirnya ledakan-ledakan orgasme tercapai.
Seminggu setelah “peristiwa kenari”, Kino disibukkan oleh ulangan-ulangan di sekolahnya. Dalam kesibukannya itu, Kino tak bertemu Mba Rien. Ia tak mungkin bisa menemui Mba Rien, karena diam-diam Mba Rien pergi ke rumah salah seorang kakaknya di kota B, 6 kilometer di sebelah selatan.
Sebuah pesan pendek disampaikan Niken kepada Kino, ketika pria remaja ini lewat di depan sanggar (tentu saja, ia sengaja lewat!). Kata Niken, Mba Rien menyuruh Kino rajin belajar supaya semua ulangannya bernilai bagus. Kata Niken lagi, Mba Rien baru akan pulang bulan depan, karena sanggar akan tutup sementara murid-murid menjalani ulangan.
Untuk beberapa saat, Kino merasa ada sesuatu yang tak beres. Kenapa dia tiba-tiba menghindar? sergahnya dalam hati, disertai gundah karena kepergian Mba Rien hanya berjarak seminggu dari peristiwa di gua itu.
Apakah ia marah? Tetapi apa yang membuatnya marah? Mba Rien tak tampak marah ketika ia melakukan itu di gua; ia bahkan tampak ceria, dan matanya penuh senyum menggoda. Apakah ia malu menemuiku lagi? Tapi, bukankah aku yang seharusnya malu menemuinya?
Pikiran-pikiran itu berkecamuk sepanjang hari, berlanjut sepanjang malam, sehingga Kino baru tertidur pukul 2 pagi. Untung keesokan harinya ulangan belum lagi dimulai karena masih dalam rentang “minggu tenang”.
Tentu saja Kino tak punya seorang pun yang bisa diajak mendiskusikan pikiran-pikirannya. Tidak Dodi dan Iwan yang baginya cuma akan menambah persoalan. Tidak juga ibu, dan apalagi tentu bukan ayah. Keduanya pasti cuma akan marah dan menuduh yang bukan-bukan.
Maka Kino terpaksa mengambil kesimpulan sendiri. Ia pergi ke pantai sendiri, berenang sampai letih, lalu tidur-tiduran di bawah semak-semak tempat ia dulu pertama kali menyentuh dada Mba Rien. Sambil tertidur itu lah ia memutuskan, bahwa tak mungkin Mba Rien bermaksud buruk.
Tak mungkin tiba-tiba Mba Rien meninggalkan dirinya penuh dengan tanya yang belum terjawab. Ia adalah seorang wanita bijaksana, pikir Kino dalam hati, dan ia pergi karena aku harus ulangan umum. Karena aku harus berkonsentrasi dengan buku-bukuku. Karena dengan Mba Rien di dekatnya, buku-buku akan dia lempar jauh-jauh!
Pikiran itu meneduhkan gejolak hati Kino, walau tak pernah menjadi jawaban sempurna bagi pertanyaan-pertanyaan yang terus berdatangan di kepalanya. Pikiran itu pula yang membantu Kino berkonsentrasi ke pelajaran sekolahnya, sehingga ulangan umum tak terasa begitu menyiksa.
Bersambung
Tetapi mulutnya terkunci, dan otaknya buntu. Lagipula, apa yang bisa ia jelaskan? Misteri apa yang bisa ia ungkap dalam sebuah peristiwa pendek yang begitu bergelora tadi? Dan kenapa ia harus kuatir akan Kino; kesalah-tangkapan apa yang mungkin terbesit di benak pria muda itu?
Akhirnya mereka berpisah dengan kikuk. Di perempatan dekat kantor camat, Rien berbelok ke kiri, ke tempat kostnya. Sambil berusaha tersenyum menenangkan diri, ia melambaikan tangan dari atas sepedanya.
Kino tampak ragu-ragu, apakah hendak ikut belok kiri atau terus, langsung ke rumahnya. Tetapi dilihatnya Mba Rien hanya melambai, tidak menawarkan mampir. Maka ia pun hanya membalas lambaian dan melanjutkan perjalanan ke rumah.
Di tempat kost, Rien memutuskan untuk segera mandi, terburu-buru melepas jaket parasut dan celana pendeknya. Dengan bersaput handuk, ia berlari kecil ke kamar mandi di sebelah kamar tidurnya.
Teman satu kostnya, seorang guru SMP bernama Laras yang sebaya dengannya, tak tampak. Mungkin sedang bermain ke tetangga sebelah. Cepat-cepat Rien mengunci pintu kamar mandi dan membuka pakaian-pakaian dalamnya. Lalu ia membasuk kaki-kakinya yang terpercik lumpur, dan mencuci tangan.
Sewaktu mencuci tangan itulah, terbayang kembali “peristiwa kenari” yang barusan dialaminya. Sambil tersenyum, dalam hati ia memarahi dirinya sendiri. Rien, kamu telah membuka gerbang ke arah dunia yang tak terduga! Kini, apa yang akan terjadi berikutnya, kamu harus simak dengan seksama.
Dan dengan hati-hati. Siapa yang tahu, apa yang kini bergejolak di hati Kino, dan apakah keremajaannya mampu menampung gejolak itu. Rien mengambil sabun dan membasuh kedua tangannya dengan seksama. Tangan itu yang tadi meremas-membelai, menguak sebuah tabir dari babak cerita di panggung kehidupan!
Lalu Rien menumpahkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya. Segera kesegaran menyerbu badannya, membuatnya ingin bernyanyi. Maka tak lama kemudian ia menggumamkan lagu -entah apa- sambil mulai menyabuni tubuhnya.
Lehernya yang jenjang ia sabuni. Sepasang bukit indah di dadanya, ia sabuni, sampai dipenuhi busa-busa harum. Pada saat menyabuni bagian bawah tubuhnya, ia terkejut sendiri. Hampir saja sabun lepas dari genggaman. Ternyata kewanitaannya basah oleh cairan bening yang telah lama tak pernah ada di sana.
Kekagetannya juga berlanjut, ketika Rien sadar bahwa di bagian itu ada rasa hangat yang berlebihan. Ada sensitifitas yang lebih dari biasanya. Tanpa sabun, tangannya bergerak lebih ke bawah, mengusap-usap seperti sedang menduga apa gerangan yang terjadi.
Sebenarnya, Rien tak perlu menduga, karena setiap usapan mendatangkan rasa yang telah lama tak dirasakannya: sebentuk geli yang bercampur nikmat, yang dengan mudah membuat jantungnya berdegup sekian kali lebih kencang.
Tanpa bisa dicegah, Rien tiba-tiba mendesah, dan kedua kakinya bagai sedang berseteru, saling memisahkan diri satu sama lainnya.
Suara kucuran air cukup keras menyembunyikan desah Rien yang kini memperkuat usapan tangannya. Bahkan itu bukan lagi mengusap namanya. Itu meremas namanya. Menekan-nekan dengan telapak, dan menggaruk-mengurat dengan jari tengah.
Lalu pangkal ibu jarinya bertumbu pada bagian atas, bergerak-gerak seperti sedang menarik picu senjata. Rien menggelinjang, dan hampir saja terpeleset di lantai kamar mandi yang licin. Tangan kirinya yang bebas buru-buru berpegangan ke tembok, sementara tangan lainnya tak hendak berhenti.
Malah bergerak makin cepat seperti ada sesuatu yang mendesak yang harus dilakukan di bawah sana. Mata Rien sedikit terpejam, dan mulutnya yang berpagar bibir basah itu sedikit terbuka. Nafasnya sedikit memburu.
Serbuan-serbuan kenikmatan datang entah dari mana, dan Rien agak terhuyung, sehingga ia akhirnya bersandar di tembok marmer yang dingin dan basah.
Suara orang membuka pintu ruang depan membuat Rien tersentak sadar. Buru-buru ia kembali ke dekat bak mandi. Terdengar suara Lara nyaring, “Rieeeen …….. kau kah itu di kamar mandi?”
Rien membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba tersekat, sebelum menjawab keras-keras, “Ya, ini aku La … sedang mandi…”, entah apa pula perlunya menambahkan kata “sedang mandi” di ujung kalimat!
“Dari mana saja, anak manis?” teriak Lara lagi, terdengar melangkah menuju kamarnya di seberang kamar Rien.
“Dari hutan mencari kenari …. “, jawab Rien sambil mulai mengguyur.
Duh, segera saja api yang berkobar di tubuhnya padam. Dalam hati Rien bersyukur, Lara datang sebelum dirinya betul-betul terlena oleh tangannya sendiri!
Tetapi sesungguhnya ia juga kesal, kenapa Lara datang pada saat seperti itu. Sambil tertawa kecil, Rien menghentikan perdebatan di kalbunya. “Peristiwa Kenari” ternyata tidak hanya mengubah hidup Kino!!
Sementara Kino telah pula sampai di rumahnya. Ia telah pula di kamar mandi, dan telah pula menyabuni tubuhnya. Sama dengan Mba Rien, ia telah pula kembali membayangkan apa yang terjadi di hutan tadi.
Bedanya, Kino tak berhenti karena terganggu oleh teriakan ayah, atau panggilan ibu, atau ajakan Susi untuk bermain petak umpet. Kino melanjutkan gerakan-gerakan tangannya, mengerang pelan ketika akhirnya ledakan-ledakan orgasme tercapai.
Seminggu setelah “peristiwa kenari”, Kino disibukkan oleh ulangan-ulangan di sekolahnya. Dalam kesibukannya itu, Kino tak bertemu Mba Rien. Ia tak mungkin bisa menemui Mba Rien, karena diam-diam Mba Rien pergi ke rumah salah seorang kakaknya di kota B, 6 kilometer di sebelah selatan.
Sebuah pesan pendek disampaikan Niken kepada Kino, ketika pria remaja ini lewat di depan sanggar (tentu saja, ia sengaja lewat!). Kata Niken, Mba Rien menyuruh Kino rajin belajar supaya semua ulangannya bernilai bagus. Kata Niken lagi, Mba Rien baru akan pulang bulan depan, karena sanggar akan tutup sementara murid-murid menjalani ulangan.
Untuk beberapa saat, Kino merasa ada sesuatu yang tak beres. Kenapa dia tiba-tiba menghindar? sergahnya dalam hati, disertai gundah karena kepergian Mba Rien hanya berjarak seminggu dari peristiwa di gua itu.
Apakah ia marah? Tetapi apa yang membuatnya marah? Mba Rien tak tampak marah ketika ia melakukan itu di gua; ia bahkan tampak ceria, dan matanya penuh senyum menggoda. Apakah ia malu menemuiku lagi? Tapi, bukankah aku yang seharusnya malu menemuinya?
Pikiran-pikiran itu berkecamuk sepanjang hari, berlanjut sepanjang malam, sehingga Kino baru tertidur pukul 2 pagi. Untung keesokan harinya ulangan belum lagi dimulai karena masih dalam rentang “minggu tenang”.
Tentu saja Kino tak punya seorang pun yang bisa diajak mendiskusikan pikiran-pikirannya. Tidak Dodi dan Iwan yang baginya cuma akan menambah persoalan. Tidak juga ibu, dan apalagi tentu bukan ayah. Keduanya pasti cuma akan marah dan menuduh yang bukan-bukan.
Maka Kino terpaksa mengambil kesimpulan sendiri. Ia pergi ke pantai sendiri, berenang sampai letih, lalu tidur-tiduran di bawah semak-semak tempat ia dulu pertama kali menyentuh dada Mba Rien. Sambil tertidur itu lah ia memutuskan, bahwa tak mungkin Mba Rien bermaksud buruk.
Tak mungkin tiba-tiba Mba Rien meninggalkan dirinya penuh dengan tanya yang belum terjawab. Ia adalah seorang wanita bijaksana, pikir Kino dalam hati, dan ia pergi karena aku harus ulangan umum. Karena aku harus berkonsentrasi dengan buku-bukuku. Karena dengan Mba Rien di dekatnya, buku-buku akan dia lempar jauh-jauh!
Pikiran itu meneduhkan gejolak hati Kino, walau tak pernah menjadi jawaban sempurna bagi pertanyaan-pertanyaan yang terus berdatangan di kepalanya. Pikiran itu pula yang membantu Kino berkonsentrasi ke pelajaran sekolahnya, sehingga ulangan umum tak terasa begitu menyiksa.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved