Bab 5: Bertemu Lagi dengan Perempuan Gila!
by Marco Lowenson
13:57,Feb 13,2025
Kuburan Massal!
Setengah jam setelah Xavier pergi, lokasi kejadian telah dipasangi garis polisi.
Beberapa penyelidik kriminal terbaik tengah mengumpulkan bukti dengan cermat, sementara seorang petugas baru berjongkok di tanah, muntah tak tertahankan.
Lampu-lampu berkedip di sekitar area tersebut.
Sebuah sepeda motor melaju kencang menuju lokasi dan berhenti tepat di luar garis polisi.
Seorang wanita berjaket kulit melompat turun. Sosoknya ramping, auranya luar biasa, dan saat melepas helmnya, wajahnya menampilkan kecantikan yang memukau.
Rambut panjangnya tergerai seperti air terjun hitam hingga ke pinggang, membawa aroma samar.
Alisnya memancarkan keangkuhan yang dingin, sementara mata tajamnya berkilat penuh kecerdasan.
"Kak Emma, akhirnya kau datang! Kali ini, sepertinya si Iblis Belati beraksi lagi. Situasi di tempat ini sangat mengerikan. Tiga puluh tujuh orang tewas dan tak satu pun mayat yang utuh."
Seorang detektif berpakaian warga sipil menghampiri wanita itu dan memberi salam.
"Sebanyak itu ... Sepertinya ini perang antar geng yang berakhir dengan saling membantai!"
"Bajingan-bajingan ini! Identifikasi mereka! Aku ingin melenyapkan sarang mereka sampai ke akar-akarnya!"
Wanita itu mengerutkan kening, lalu melirik petugas baru yang masih muntah. Dia mendengus pelan sebelum menarik garis pembatas dan melangkah masuk.
"Kak Emma, lebih baik Kakak jangan masuk … Aku khawatir ..."
Seorang petugas berusaha mencegahnya dengan nada khawatir.
"Apa? Kamu meragukan Bunga Kepolisian dari Distrik Barat?"
"Kamu pikir aku, Emma, baru keluar dari akademi dan belum pernah melihat TKP sebelumnya?"
Emma Foster menatap tajam petugas itu, mendengus dingin, lalu melangkah masuk dengan mantap.
Beberapa detik kemudian …
Emma membungkuk dan muntah ...
"Kak, minumlah sedikit air."
Salah satu petugas menahan tawa sambil menutup mulutnya.
"Keparat! Bukan hanya membunuh, tapi juga sebrutal ini! Aku bersumpah akan menangkapnya dan menyeretnya ke meja hijau!"
Emma melayangkan tatapan dingin ke arah petugas tadi, lalu mengambil air dan meminumnya dengan tegukan besar.
"Kak Emma, kami menemukan sesuatu! Kamera dasbor sebuah mobil merekam kejadian ini. Ada perkelahian di sini setengah jam lalu dan muncul sosok yang mencurigakan ..."
Mendengar itu, semua petugas segera berkumpul.
Namun, karena lokasi sudut kamera, hanya suara yang terdengar dengan jelas.
Terdengar jeritan serta permohonan ampun, lalu hening.
Setelah itu, tepat di depan kamera, muncul sosok pria yang mengenakan pakaian berkabung. Pria itu berjalan menjauh menuju senja.
Saat itu juga …
Seluruh tim menarik napas tajam.
"Pelakunya … satu orang? Dia membantai tiga puluh tujuh orang seorang diri!"
"Bagaimana … mungkin?"
"Apa dia monster?"
Bahkan Emma dan para petugas lainnya terdiam, menatap layar dengan ekspresi tak percaya seolah melihat hantu!
…
Rumah Sakit Hillford, Kota Citadel.
Xavier turun dari mobil dan langsung bergegas menuju ruang gawat darurat. Lorong-lorong rumah sakit penuh sesak dengan pasien.
Banyak pasien yang tidak mendapatkan kamar rawat terpaksa berbaring di sepanjang koridor.
Udara dingin berembus melewati ruangan.
Xavier bergegas ke kamar adiknya. Akan tetapi, dia justru menemukan gadis itu duduk di kursi roda dan bersandar dinding.
Tangannya menggenggam selang infus di satu sisi dan jarum suntik di sisi lainnya, berusaha menghindari lalu-lalang orang-orang.
Dia terlihat begitu rapuh, tidak ingin merepotkan siapa pun. Karena terlalu lama memegang infus, tangannya gemetar menahan beban.
Melihat itu, mata Xavier memerah.
Tiga tahun di penjara, dia telah mengalami penderitaan yang tak terhitung jumlahnya, namun tak sekalipun dia meneteskan air mata.
Namun, kini sebagai pria yang telah ditempa oleh kerasnya hidup, matanya berair.
"Kalau Ayah dan Ibu tahu, mereka pasti sangat sedih."
"Sebagai kakak, aku tidak berguna. Aku membiarkan adikku menderita seperti ini!"
Xavier mengepalkan tangannya erat-erat.
Dia melangkah mendekat dan mengambil alih botol infus dari tangan adiknya.
Zoey menoleh dengan cepat. Saat melihat Xavier, wajahnya yang lemah langsung berseri dengan senyum manis.
"Kakak, Kakak sudah pulang! Kakak pasti lelah. Ayo. kita duduk di luar dan beristirahat sebentar."
Zoey begitu pengertian. Usianya baru delapan belas tahun.
"Ini salahku karena tidak berguna hingga membuatmu menderita."
"Aku akan mencarikan kamar yang layak agar kamu bisa beristirahat."
Xavier menggeleng, lalu berjongkok dan mengetuk hidung adiknya dengan lembut.
"Tidak perlu, Kak. Biaya kamarnya terlalu mahal. Empat ratus ribu semalam. Aku tidak apa-apa di sini."
"Lagipula, aku sudah merasa lebih baik. Ayo kita pulang saja, ya?"
"Aku hanya ingin pulang ke rumah …"
Zoey menggeleng pelan.
"Aku …" Xavier tercekat, tak sanggup bicara.
Saat itu juga, Zoey menggenggam pergelangan tangannya dengan tatapan penuh harap.
"Kak, tolong bawa aku pulang, ya?"
Bagaimana mungkin Xavier tega menolak?
Dia mengangguk dan memaksakan senyum.
"Baiklah, Kakak akan membawamu pulang."
Setelah menyelesaikan prosedur keluar rumah sakit, malam pun telah tiba.
Saat Xavier hendak menyetop taksi, sebuah BMW X5 merah meluncur mendekat dan berhenti di depannya.
Jendela mobil diturunkan.
Sebuah wajah yang familiar muncul. Dia adalah perempuan yang sebelumnya bertaruh dengannya. Bianca!
Wanita itu sangat kaya. Kini sudah mengendarai mobil mewah yang berbeda.
"Akhirnya aku menemukanmu! Apa, takut? Aku menunggumu seharian di hotel, tapi kamu tak muncul!"
Bianca menyibakkan rambutnya dengan angkuh.
"Aku tak punya waktu untukmu. Pergilah."
Xavier mengabaikannya dan terus mendorong kursi roda adiknya.
"Kak, siapa wanita cantik itu? Kakak mengenalnya?"
Zoey beberapa kali menoleh ke belakang, seperti anak kucing kecil yang penuh rasa ingin tahu. Xavier dengan lembut menekan kepalanya ke depan.
"Anak kecil tidak usah ikut campur urusan orang dewasa."
Nada Xavier terdengar tegas, tapi tatapannya penuh kasih sayang.
Saat itu juga, mobil melaju pelan di samping mereka. Bianca mencondongkan tubuh keluar dan melambaikan tangan.
"Hei, bocah polos, naiklah. Aku akan mengantar kalian."
"Di sekitar sini sulit dapat taksi. Kalian harus jalan jauh."
"Ini adik perempuanmu, 'kan? Kamu tidak keberatan menderita, tapi apa kamu benar-benar ingin dia ikut menderita juga?"
Bianca memang frontal dan cerdas. Hanya dengan beberapa kata, dia langsung menusuk kelemahan Xavier. Xavier terdiam sesaat, lalu mengangkat Zoey.
Bianca membuka pintu mobil.
Setengah Jam Kemudian
Mobil itu melewati belasan gang sebelum akhirnya berhenti di depan rumah Xavier yang berada di lingkungan kumuh.
Setelah memastikan adiknya masuk ke dalam, Xavier berbalik.
"Masuk. Kita perlu bicara."
Bianca membuka pintu mobil. Xavier ragu sejenak, lalu masuk.
"Kalau ini tentang Liontin Naga, kamu bisa pergi."
Xavier berbicara dengan nada tenang.
"Jadi, kau benar-benar bersikeras menentangku, ya? Xavier, apakah kau bahkan tahu betapa pentingnya liontin itu?"
Bianca menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, lalu untuk pertama kalinya berbicara dengan nada serius.
"Tentu saja! Benda itu sangat penting. Itu adalah peninggalan guruku!"
"Kalau kamu menginginkannya, kamu harus membunuhku terlebih dahulu!"
Tatapan Xavier menjadi dingin. Suaranya terdengar tegas dan tak tergoyahkan.
"Jadi ... kamu benar-benar tidak tahu apa arti sebenarnya dari liontin giok itu. Gurumu pasti orang yang luar biasa hingga bisa menjadikanmu calon menantu Keluarga Windsor!"
"Kalau saja dia tidak menyelamatkan sesepuh Keluarga Windsor, Liontin Naga-Phoenix itu tidak akan pernah jatuh ke tanganmu. Tapi biar kuberitahu, meskipun kau memilikinya, jangan pernah bermimpi menjadi menantu Keluarga Windsor!"
"Claire adalah pewaris Keluarga Windsor. Dia juga merupakan CEO Nexus Group, sebuah perusahaan terkemuka yang telah melantai di bursa. Dia benar-benar seorang putri dari kalangan elit. Sedangkan kau ... sama sekali tidak pantas!"
Bianca kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu melemparkan puntungnya sebelum menatap Xavier dengan tajam.
Setengah jam setelah Xavier pergi, lokasi kejadian telah dipasangi garis polisi.
Beberapa penyelidik kriminal terbaik tengah mengumpulkan bukti dengan cermat, sementara seorang petugas baru berjongkok di tanah, muntah tak tertahankan.
Lampu-lampu berkedip di sekitar area tersebut.
Sebuah sepeda motor melaju kencang menuju lokasi dan berhenti tepat di luar garis polisi.
Seorang wanita berjaket kulit melompat turun. Sosoknya ramping, auranya luar biasa, dan saat melepas helmnya, wajahnya menampilkan kecantikan yang memukau.
Rambut panjangnya tergerai seperti air terjun hitam hingga ke pinggang, membawa aroma samar.
Alisnya memancarkan keangkuhan yang dingin, sementara mata tajamnya berkilat penuh kecerdasan.
"Kak Emma, akhirnya kau datang! Kali ini, sepertinya si Iblis Belati beraksi lagi. Situasi di tempat ini sangat mengerikan. Tiga puluh tujuh orang tewas dan tak satu pun mayat yang utuh."
Seorang detektif berpakaian warga sipil menghampiri wanita itu dan memberi salam.
"Sebanyak itu ... Sepertinya ini perang antar geng yang berakhir dengan saling membantai!"
"Bajingan-bajingan ini! Identifikasi mereka! Aku ingin melenyapkan sarang mereka sampai ke akar-akarnya!"
Wanita itu mengerutkan kening, lalu melirik petugas baru yang masih muntah. Dia mendengus pelan sebelum menarik garis pembatas dan melangkah masuk.
"Kak Emma, lebih baik Kakak jangan masuk … Aku khawatir ..."
Seorang petugas berusaha mencegahnya dengan nada khawatir.
"Apa? Kamu meragukan Bunga Kepolisian dari Distrik Barat?"
"Kamu pikir aku, Emma, baru keluar dari akademi dan belum pernah melihat TKP sebelumnya?"
Emma Foster menatap tajam petugas itu, mendengus dingin, lalu melangkah masuk dengan mantap.
Beberapa detik kemudian …
Emma membungkuk dan muntah ...
"Kak, minumlah sedikit air."
Salah satu petugas menahan tawa sambil menutup mulutnya.
"Keparat! Bukan hanya membunuh, tapi juga sebrutal ini! Aku bersumpah akan menangkapnya dan menyeretnya ke meja hijau!"
Emma melayangkan tatapan dingin ke arah petugas tadi, lalu mengambil air dan meminumnya dengan tegukan besar.
"Kak Emma, kami menemukan sesuatu! Kamera dasbor sebuah mobil merekam kejadian ini. Ada perkelahian di sini setengah jam lalu dan muncul sosok yang mencurigakan ..."
Mendengar itu, semua petugas segera berkumpul.
Namun, karena lokasi sudut kamera, hanya suara yang terdengar dengan jelas.
Terdengar jeritan serta permohonan ampun, lalu hening.
Setelah itu, tepat di depan kamera, muncul sosok pria yang mengenakan pakaian berkabung. Pria itu berjalan menjauh menuju senja.
Saat itu juga …
Seluruh tim menarik napas tajam.
"Pelakunya … satu orang? Dia membantai tiga puluh tujuh orang seorang diri!"
"Bagaimana … mungkin?"
"Apa dia monster?"
Bahkan Emma dan para petugas lainnya terdiam, menatap layar dengan ekspresi tak percaya seolah melihat hantu!
…
Rumah Sakit Hillford, Kota Citadel.
Xavier turun dari mobil dan langsung bergegas menuju ruang gawat darurat. Lorong-lorong rumah sakit penuh sesak dengan pasien.
Banyak pasien yang tidak mendapatkan kamar rawat terpaksa berbaring di sepanjang koridor.
Udara dingin berembus melewati ruangan.
Xavier bergegas ke kamar adiknya. Akan tetapi, dia justru menemukan gadis itu duduk di kursi roda dan bersandar dinding.
Tangannya menggenggam selang infus di satu sisi dan jarum suntik di sisi lainnya, berusaha menghindari lalu-lalang orang-orang.
Dia terlihat begitu rapuh, tidak ingin merepotkan siapa pun. Karena terlalu lama memegang infus, tangannya gemetar menahan beban.
Melihat itu, mata Xavier memerah.
Tiga tahun di penjara, dia telah mengalami penderitaan yang tak terhitung jumlahnya, namun tak sekalipun dia meneteskan air mata.
Namun, kini sebagai pria yang telah ditempa oleh kerasnya hidup, matanya berair.
"Kalau Ayah dan Ibu tahu, mereka pasti sangat sedih."
"Sebagai kakak, aku tidak berguna. Aku membiarkan adikku menderita seperti ini!"
Xavier mengepalkan tangannya erat-erat.
Dia melangkah mendekat dan mengambil alih botol infus dari tangan adiknya.
Zoey menoleh dengan cepat. Saat melihat Xavier, wajahnya yang lemah langsung berseri dengan senyum manis.
"Kakak, Kakak sudah pulang! Kakak pasti lelah. Ayo. kita duduk di luar dan beristirahat sebentar."
Zoey begitu pengertian. Usianya baru delapan belas tahun.
"Ini salahku karena tidak berguna hingga membuatmu menderita."
"Aku akan mencarikan kamar yang layak agar kamu bisa beristirahat."
Xavier menggeleng, lalu berjongkok dan mengetuk hidung adiknya dengan lembut.
"Tidak perlu, Kak. Biaya kamarnya terlalu mahal. Empat ratus ribu semalam. Aku tidak apa-apa di sini."
"Lagipula, aku sudah merasa lebih baik. Ayo kita pulang saja, ya?"
"Aku hanya ingin pulang ke rumah …"
Zoey menggeleng pelan.
"Aku …" Xavier tercekat, tak sanggup bicara.
Saat itu juga, Zoey menggenggam pergelangan tangannya dengan tatapan penuh harap.
"Kak, tolong bawa aku pulang, ya?"
Bagaimana mungkin Xavier tega menolak?
Dia mengangguk dan memaksakan senyum.
"Baiklah, Kakak akan membawamu pulang."
Setelah menyelesaikan prosedur keluar rumah sakit, malam pun telah tiba.
Saat Xavier hendak menyetop taksi, sebuah BMW X5 merah meluncur mendekat dan berhenti di depannya.
Jendela mobil diturunkan.
Sebuah wajah yang familiar muncul. Dia adalah perempuan yang sebelumnya bertaruh dengannya. Bianca!
Wanita itu sangat kaya. Kini sudah mengendarai mobil mewah yang berbeda.
"Akhirnya aku menemukanmu! Apa, takut? Aku menunggumu seharian di hotel, tapi kamu tak muncul!"
Bianca menyibakkan rambutnya dengan angkuh.
"Aku tak punya waktu untukmu. Pergilah."
Xavier mengabaikannya dan terus mendorong kursi roda adiknya.
"Kak, siapa wanita cantik itu? Kakak mengenalnya?"
Zoey beberapa kali menoleh ke belakang, seperti anak kucing kecil yang penuh rasa ingin tahu. Xavier dengan lembut menekan kepalanya ke depan.
"Anak kecil tidak usah ikut campur urusan orang dewasa."
Nada Xavier terdengar tegas, tapi tatapannya penuh kasih sayang.
Saat itu juga, mobil melaju pelan di samping mereka. Bianca mencondongkan tubuh keluar dan melambaikan tangan.
"Hei, bocah polos, naiklah. Aku akan mengantar kalian."
"Di sekitar sini sulit dapat taksi. Kalian harus jalan jauh."
"Ini adik perempuanmu, 'kan? Kamu tidak keberatan menderita, tapi apa kamu benar-benar ingin dia ikut menderita juga?"
Bianca memang frontal dan cerdas. Hanya dengan beberapa kata, dia langsung menusuk kelemahan Xavier. Xavier terdiam sesaat, lalu mengangkat Zoey.
Bianca membuka pintu mobil.
Setengah Jam Kemudian
Mobil itu melewati belasan gang sebelum akhirnya berhenti di depan rumah Xavier yang berada di lingkungan kumuh.
Setelah memastikan adiknya masuk ke dalam, Xavier berbalik.
"Masuk. Kita perlu bicara."
Bianca membuka pintu mobil. Xavier ragu sejenak, lalu masuk.
"Kalau ini tentang Liontin Naga, kamu bisa pergi."
Xavier berbicara dengan nada tenang.
"Jadi, kau benar-benar bersikeras menentangku, ya? Xavier, apakah kau bahkan tahu betapa pentingnya liontin itu?"
Bianca menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, lalu untuk pertama kalinya berbicara dengan nada serius.
"Tentu saja! Benda itu sangat penting. Itu adalah peninggalan guruku!"
"Kalau kamu menginginkannya, kamu harus membunuhku terlebih dahulu!"
Tatapan Xavier menjadi dingin. Suaranya terdengar tegas dan tak tergoyahkan.
"Jadi ... kamu benar-benar tidak tahu apa arti sebenarnya dari liontin giok itu. Gurumu pasti orang yang luar biasa hingga bisa menjadikanmu calon menantu Keluarga Windsor!"
"Kalau saja dia tidak menyelamatkan sesepuh Keluarga Windsor, Liontin Naga-Phoenix itu tidak akan pernah jatuh ke tanganmu. Tapi biar kuberitahu, meskipun kau memilikinya, jangan pernah bermimpi menjadi menantu Keluarga Windsor!"
"Claire adalah pewaris Keluarga Windsor. Dia juga merupakan CEO Nexus Group, sebuah perusahaan terkemuka yang telah melantai di bursa. Dia benar-benar seorang putri dari kalangan elit. Sedangkan kau ... sama sekali tidak pantas!"
Bianca kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu melemparkan puntungnya sebelum menatap Xavier dengan tajam.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved