Bab 7: Berpura-pura Menjadi Kekasih
by Kael Draven
14:53,Feb 28,2025
Lucian menyadari bahwa wanita itu adalah Aria. Sambil tertawa, dia berkata, "Kenapa? Kekamrin kamu tidak puas menabrakku dengan mobilmu, jadi sekarang kamu menabrakku dengan badanmu sendiri?"
Saat mengucapkan kata-kata itu, Lucian membandingkan rasanya ditabrak mobil dengan ditabrak seseorang. Dia berpikir, jauh lebih nyaman ditabrak orang. Rasanya lebih lembut dan nyaman.
Tanpa sadar, tatapan Lucian tertuju pada sosok Aria yang memiliki lekuk tubuh yang sempurna. Meskipun terlihat ramping, tubuhnya tetap proporsional.
Terutama di bagian tertentu, ukurannya sungguh mengejutkan. Bahkan kancing bajunya tampak hampir lepas. Lucian pun bertanya-tanya apakah sensasi lembut yang dirasakannya tadi berasal dari sana.
Aria tidak menyangka akan bertemu dengan Lucian di tempat ini. Setelah sesaat terkejut, ia segera berkata, "Jangan banyak bicara. Aku butuh bantuanmu, Kak."
Lucian mengangkat alis, sedikit heran. "Bantuan apa? Jangan bilang kamu mau meminjam uang dariku?"
"Aku bukan mau meminjam uang darimu, tapi meminjam dirimu. Aku ingin kamu berpura-pura menjadi pacarku sebentar."
"Berpura-pura menjadi pacarmu?" Lucian segera mengerti situasinya. "Jadi, ada seseorang yang mengejarmu?"
Aria mengangguk. "Namanya Adrian Fairmont. Dia sudah lama mengikutiku dan terus menggangguku. Aku benar-benar kesal."
Lucian tersenyum santai dan berkata, "Kalau begitu, kenapa tidak kau terima saja? Meskipun dia tidak setampan aku, dia masih cukup baik, 'kan?"
Aria menatapnya tajam dan berkata dengan nada tidak sabar, "Aku serius. Kamu mau membantu atau tidak?"
"Tidak, aku sudah punya pacar."
"Kamu ..."
Aria menghela napas kesal. Biasanya, ia selalu dikejar oleh banyak pria, tetapi kali ini justru ada seorang pria yang seolah merasa rugi jika menjadi pacarnya.
Namun, tiba-tiba sebuah ide melintas di benaknya. Ia tersenyum licik dan berkata, "Baiklah, kalau kamu tidak mau membantu, aku baru saja kembali dari kantor polisi lalu lintas dan sudah melihat rekaman CCTV. Kecelakaan kemarin bukan karena aku menabrakmu, melainkan kamu yang berpura-pura menjadi korban kecelakaan ..."
Lucian terdiam sejenak, lalu segera mengubah sikapnya. "Baiklah! Aku tidak akan membantu orang lain, tapi aku pasti akan membantumu. Hanya berpura-pura menjadi pacarmu, kan? Itu bukan masalah besar."
Lucian langsung setuju. Dia menyadari bahwa dirinya memang bersalah atas insiden yang terjadi kemarin. Pria itu merasa bersalah karena telah mengakibatkan kerusakan yang signifikan pada kendaraan milik orang lain.
Aria tersenyum puas dan berkata, "Kalau kamu bisa membantuku menyingkirkan orang itu, aku tidak akan menuntutmu atas kecelakaan kemarin."
Lucian mengangguk. "Serahkan padaku."
Sementara mereka berbicara, Adrian akhirnya memperhatikan keberadaan Aria. Dengan cepat, ia berjalan mendekat sambil membawa sebuket mawar biru di tangannya.
Para penonton yang melihat kedatangan pria itu segera memberi jalan, seolah menyambut seorang tokoh utama dalam sebuah drama.
"Aria, ternyata kamu di sini!" Adrian menghampiri Aria dengan penuh percaya diri. Sambil menyodorkan buket bunga itu, ia berkata dengan nada lembut, "Ini untukmu. Aku berharap harimu selalu indah."
Aria melirik sekilas, lalu berkata dengan nada datar, "Hari ini suasana hatiku baik, tetapi langsung berubah buruk begitu melihatmu."
Tanpa memberi kesempatan Adrian untuk berbicara, Aria melanjutkan, "Berapa kali aku harus mengatakan padamu? Tidak ada kemungkinan di antara kita. Aku sudah punya pacar."
Adrian tersenyum tipis dan berkata, "Aria, jangan berbohong padaku. Aku tahu situasimu. Kamu tidak punya pacar."
Aria tersenyum sinis. "Aku tahu kamu tidak akan percaya, jadi hari ini aku membawa saksi." Dengan gerakan anggun, ia langsung menggamit lengan Lucian dan berkata dengan penuh kasih sayang, "Kenalkan, ini pacarku, Lucian."
Adrian tampak terkejut sesaat, lalu menatap Lucian dengan saksama. Setelah beberapa detik mengamati, ia mencibir dengan nada meremehkan.
"Aria, kalaupun kamu ingin mencari seseorang untuk berpura-pura menjadi pacarmu, setidaknya carilah seseorang yang pantas. Apa kamu pikir aku akan percaya begitu saja?"
Lucian tersenyum tipis. "Kenapa? Kamu meremehkanku?"
Adrian mendengus. "Apa perlu ditanyakan lagi? Jika ingin dihormati, seseorang harus memiliki sesuatu yang layak untuk dihormati."
Ia menatap Lucian dengan tatapan penuh ejekan. "Coba katakan, apakah kamu punya tabungan sembilan digit di bank?"
"Tidak," jawab Lucian santai.
Dia menggelengkan kepala ringan.
"Apa kamu punya penghasilan miliaran per tahun?"
Lucian tersenyum kecil. "Aku bahkan belum lulus kuliah."
Adrian semakin percaya diri. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa biasa bisa dibandingkan dengannya, pewaris Keluarga Fairmont yang kaya raya?
Dengan ekspresi penuh kesombongan, ia berkata, "Dengar baik-baik, Fairmont Group adalah perusahaan besar dengan aset lebih dari empat ratus miliar dan aku adalah pewaris tunggalnya. Sekarang aku menjabat sebagai wakil presiden grup. Apa yang bisa kamu bandingkan denganku?"
"Ya, tidak ada yang bisa dibandingkan," seseorang di antara penonton berbisik. "Seorang mahasiswa miskin memang tidak mungkin menyaingi putra tertua Keluarga Fairmont."
"Perbedaannya terlalu besar. Kalau aku jadi dia, aku juga akan memilih Tuan Adrian ..."
"Tapi menurutku pria itu cukup tampan..."
"Ketampanan saja tidak cukup. Pria harus memiliki kekuatan dan status!"
Mendengar pembicaraan orang-orang di sekitar, Aria merasa sedikit cemas. Ia hanya ingin mencari pelindung sementara, tetapi ia lupa bahwa perbedaan antara Lucian dan Adrian begitu besar.
Adrian tersenyum puas dan menunjuk ke sebuah mobil mewah di dekat mereka. "Kamu lihat itu? Itu mobil baru yang kubelikan untuk Aria, harganya lebih dari tiga juta yuan. Bukan bermaksud merendahkanmu, tetapi aku rasa kamu seumur hidup pun tidak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu."
Ia kemudian mengangkat buket bunga di tangannya. "Ini mawar biru yang diterbangkan langsung dari Eropa. Harganya satu juta per tangkai, jauh lebih mahal dibandingkan mawar biasa yang bisa kamu beli di pinggir jalan."
Adrian menatap Lucian dengan tatapan merendahkan. "Kau bahkan tidak memenuhi syarat untuk mendekati Aria, apalagi bersaing denganku."
Para penonton yang mengamati adegan itu mulai menatap Lucian dengan ekspresi beragam. Beberapa mengejek, beberapa merasa kasihan, dan sebagian lainnya hanya bisa menghela napas simpati.
Namun, ekspresi Lucian sama sekali tidak berubah. Dengan nada tenang, ia berkata, "Jadi maksudmu, hanya orang kaya yang pantas mengejar Aria? Atau dalam pandanganmu, Aria hanyalah seorang wanita matre?"
Adrian langsung tergagap, terlihat jelas bahwa ia mulai panik. "T-tentu saja bukan begitu!"
Sebenarnya, Adrian mendekati Aria bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena dia adalah putri tertua Keluarga Vaughn. Kekayaan keluarga Aria jauh melampaui kekayaan keluarganya sendiri.
Jika Aria benar-benar tertarik pada uang, mustahil dia akan melirik Adrian.
Berusaha menutupi rasa gugupnya, Adrian buru-buru berkata, "Aria, jangan salah paham. Aku benar-benar tulus padamu!"
Aria menatap Lucian dengan penuh ketertarikan. Pria ini ternyata jauh lebih pintar dari yang ia bayangkan. Hanya dengan beberapa kata, ia berhasil meruntuhkan harga diri Adrian.
Melihat Aria tetap diam, Adrian semakin panik. "Aria, dengarkan aku! Aku sungguh-sungguh mencintaimu!"
"Ketika aku mendengar tentang kecelakaan kemarin, aku sangat khawatir. Untung saja kamu baik-baik saja!"
"Aku dengar mobilmu rusak parah, jadi aku langsung membelikan yang baru untukmu. Yang terpenting bukan uang, tapi perasaanku padamu."
"Aku benar-benar terharu. Jika ada seseorang yang memperlakukanku dengan cara seperti ini, aku tidak akan ragu untuk menikah dengannya."
"Tuan Adrian memang sangat dermawan. Ia bahkan rela mengeluarkan enam miliar untuk membeli mobil baru. Kalau aku berada di posisi Aria, aku pasti akan menerimanya tanpa berpikir dua kali."
"Pria dengan ketulusan seperti ini semakin sulit ditemukan di zaman sekarang."
Mendengar komentar orang-orang di sekitarnya, Adrian diam-diam menarik napas lega. Dengan gerakan halus, dia memberikan isyarat kepada seseorang yang telah dia tempatkan di tengah kerumunan.
Tak lama, seseorang dari antara penonton langsung berseru, "Terimalah dia! Terima … terima … terima!"
Teriakan itu segera disusul oleh beberapa orang lain yang ikut berseru, menciptakan suasana yang semakin riuh.
Saat mengucapkan kata-kata itu, Lucian membandingkan rasanya ditabrak mobil dengan ditabrak seseorang. Dia berpikir, jauh lebih nyaman ditabrak orang. Rasanya lebih lembut dan nyaman.
Tanpa sadar, tatapan Lucian tertuju pada sosok Aria yang memiliki lekuk tubuh yang sempurna. Meskipun terlihat ramping, tubuhnya tetap proporsional.
Terutama di bagian tertentu, ukurannya sungguh mengejutkan. Bahkan kancing bajunya tampak hampir lepas. Lucian pun bertanya-tanya apakah sensasi lembut yang dirasakannya tadi berasal dari sana.
Aria tidak menyangka akan bertemu dengan Lucian di tempat ini. Setelah sesaat terkejut, ia segera berkata, "Jangan banyak bicara. Aku butuh bantuanmu, Kak."
Lucian mengangkat alis, sedikit heran. "Bantuan apa? Jangan bilang kamu mau meminjam uang dariku?"
"Aku bukan mau meminjam uang darimu, tapi meminjam dirimu. Aku ingin kamu berpura-pura menjadi pacarku sebentar."
"Berpura-pura menjadi pacarmu?" Lucian segera mengerti situasinya. "Jadi, ada seseorang yang mengejarmu?"
Aria mengangguk. "Namanya Adrian Fairmont. Dia sudah lama mengikutiku dan terus menggangguku. Aku benar-benar kesal."
Lucian tersenyum santai dan berkata, "Kalau begitu, kenapa tidak kau terima saja? Meskipun dia tidak setampan aku, dia masih cukup baik, 'kan?"
Aria menatapnya tajam dan berkata dengan nada tidak sabar, "Aku serius. Kamu mau membantu atau tidak?"
"Tidak, aku sudah punya pacar."
"Kamu ..."
Aria menghela napas kesal. Biasanya, ia selalu dikejar oleh banyak pria, tetapi kali ini justru ada seorang pria yang seolah merasa rugi jika menjadi pacarnya.
Namun, tiba-tiba sebuah ide melintas di benaknya. Ia tersenyum licik dan berkata, "Baiklah, kalau kamu tidak mau membantu, aku baru saja kembali dari kantor polisi lalu lintas dan sudah melihat rekaman CCTV. Kecelakaan kemarin bukan karena aku menabrakmu, melainkan kamu yang berpura-pura menjadi korban kecelakaan ..."
Lucian terdiam sejenak, lalu segera mengubah sikapnya. "Baiklah! Aku tidak akan membantu orang lain, tapi aku pasti akan membantumu. Hanya berpura-pura menjadi pacarmu, kan? Itu bukan masalah besar."
Lucian langsung setuju. Dia menyadari bahwa dirinya memang bersalah atas insiden yang terjadi kemarin. Pria itu merasa bersalah karena telah mengakibatkan kerusakan yang signifikan pada kendaraan milik orang lain.
Aria tersenyum puas dan berkata, "Kalau kamu bisa membantuku menyingkirkan orang itu, aku tidak akan menuntutmu atas kecelakaan kemarin."
Lucian mengangguk. "Serahkan padaku."
Sementara mereka berbicara, Adrian akhirnya memperhatikan keberadaan Aria. Dengan cepat, ia berjalan mendekat sambil membawa sebuket mawar biru di tangannya.
Para penonton yang melihat kedatangan pria itu segera memberi jalan, seolah menyambut seorang tokoh utama dalam sebuah drama.
"Aria, ternyata kamu di sini!" Adrian menghampiri Aria dengan penuh percaya diri. Sambil menyodorkan buket bunga itu, ia berkata dengan nada lembut, "Ini untukmu. Aku berharap harimu selalu indah."
Aria melirik sekilas, lalu berkata dengan nada datar, "Hari ini suasana hatiku baik, tetapi langsung berubah buruk begitu melihatmu."
Tanpa memberi kesempatan Adrian untuk berbicara, Aria melanjutkan, "Berapa kali aku harus mengatakan padamu? Tidak ada kemungkinan di antara kita. Aku sudah punya pacar."
Adrian tersenyum tipis dan berkata, "Aria, jangan berbohong padaku. Aku tahu situasimu. Kamu tidak punya pacar."
Aria tersenyum sinis. "Aku tahu kamu tidak akan percaya, jadi hari ini aku membawa saksi." Dengan gerakan anggun, ia langsung menggamit lengan Lucian dan berkata dengan penuh kasih sayang, "Kenalkan, ini pacarku, Lucian."
Adrian tampak terkejut sesaat, lalu menatap Lucian dengan saksama. Setelah beberapa detik mengamati, ia mencibir dengan nada meremehkan.
"Aria, kalaupun kamu ingin mencari seseorang untuk berpura-pura menjadi pacarmu, setidaknya carilah seseorang yang pantas. Apa kamu pikir aku akan percaya begitu saja?"
Lucian tersenyum tipis. "Kenapa? Kamu meremehkanku?"
Adrian mendengus. "Apa perlu ditanyakan lagi? Jika ingin dihormati, seseorang harus memiliki sesuatu yang layak untuk dihormati."
Ia menatap Lucian dengan tatapan penuh ejekan. "Coba katakan, apakah kamu punya tabungan sembilan digit di bank?"
"Tidak," jawab Lucian santai.
Dia menggelengkan kepala ringan.
"Apa kamu punya penghasilan miliaran per tahun?"
Lucian tersenyum kecil. "Aku bahkan belum lulus kuliah."
Adrian semakin percaya diri. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa biasa bisa dibandingkan dengannya, pewaris Keluarga Fairmont yang kaya raya?
Dengan ekspresi penuh kesombongan, ia berkata, "Dengar baik-baik, Fairmont Group adalah perusahaan besar dengan aset lebih dari empat ratus miliar dan aku adalah pewaris tunggalnya. Sekarang aku menjabat sebagai wakil presiden grup. Apa yang bisa kamu bandingkan denganku?"
"Ya, tidak ada yang bisa dibandingkan," seseorang di antara penonton berbisik. "Seorang mahasiswa miskin memang tidak mungkin menyaingi putra tertua Keluarga Fairmont."
"Perbedaannya terlalu besar. Kalau aku jadi dia, aku juga akan memilih Tuan Adrian ..."
"Tapi menurutku pria itu cukup tampan..."
"Ketampanan saja tidak cukup. Pria harus memiliki kekuatan dan status!"
Mendengar pembicaraan orang-orang di sekitar, Aria merasa sedikit cemas. Ia hanya ingin mencari pelindung sementara, tetapi ia lupa bahwa perbedaan antara Lucian dan Adrian begitu besar.
Adrian tersenyum puas dan menunjuk ke sebuah mobil mewah di dekat mereka. "Kamu lihat itu? Itu mobil baru yang kubelikan untuk Aria, harganya lebih dari tiga juta yuan. Bukan bermaksud merendahkanmu, tetapi aku rasa kamu seumur hidup pun tidak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu."
Ia kemudian mengangkat buket bunga di tangannya. "Ini mawar biru yang diterbangkan langsung dari Eropa. Harganya satu juta per tangkai, jauh lebih mahal dibandingkan mawar biasa yang bisa kamu beli di pinggir jalan."
Adrian menatap Lucian dengan tatapan merendahkan. "Kau bahkan tidak memenuhi syarat untuk mendekati Aria, apalagi bersaing denganku."
Para penonton yang mengamati adegan itu mulai menatap Lucian dengan ekspresi beragam. Beberapa mengejek, beberapa merasa kasihan, dan sebagian lainnya hanya bisa menghela napas simpati.
Namun, ekspresi Lucian sama sekali tidak berubah. Dengan nada tenang, ia berkata, "Jadi maksudmu, hanya orang kaya yang pantas mengejar Aria? Atau dalam pandanganmu, Aria hanyalah seorang wanita matre?"
Adrian langsung tergagap, terlihat jelas bahwa ia mulai panik. "T-tentu saja bukan begitu!"
Sebenarnya, Adrian mendekati Aria bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena dia adalah putri tertua Keluarga Vaughn. Kekayaan keluarga Aria jauh melampaui kekayaan keluarganya sendiri.
Jika Aria benar-benar tertarik pada uang, mustahil dia akan melirik Adrian.
Berusaha menutupi rasa gugupnya, Adrian buru-buru berkata, "Aria, jangan salah paham. Aku benar-benar tulus padamu!"
Aria menatap Lucian dengan penuh ketertarikan. Pria ini ternyata jauh lebih pintar dari yang ia bayangkan. Hanya dengan beberapa kata, ia berhasil meruntuhkan harga diri Adrian.
Melihat Aria tetap diam, Adrian semakin panik. "Aria, dengarkan aku! Aku sungguh-sungguh mencintaimu!"
"Ketika aku mendengar tentang kecelakaan kemarin, aku sangat khawatir. Untung saja kamu baik-baik saja!"
"Aku dengar mobilmu rusak parah, jadi aku langsung membelikan yang baru untukmu. Yang terpenting bukan uang, tapi perasaanku padamu."
"Aku benar-benar terharu. Jika ada seseorang yang memperlakukanku dengan cara seperti ini, aku tidak akan ragu untuk menikah dengannya."
"Tuan Adrian memang sangat dermawan. Ia bahkan rela mengeluarkan enam miliar untuk membeli mobil baru. Kalau aku berada di posisi Aria, aku pasti akan menerimanya tanpa berpikir dua kali."
"Pria dengan ketulusan seperti ini semakin sulit ditemukan di zaman sekarang."
Mendengar komentar orang-orang di sekitarnya, Adrian diam-diam menarik napas lega. Dengan gerakan halus, dia memberikan isyarat kepada seseorang yang telah dia tempatkan di tengah kerumunan.
Tak lama, seseorang dari antara penonton langsung berseru, "Terimalah dia! Terima … terima … terima!"
Teriakan itu segera disusul oleh beberapa orang lain yang ikut berseru, menciptakan suasana yang semakin riuh.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved