Bab 11 11. Bercerita Dan Bersandar

by Irma W 00:00,Jun 01,2021
Amora tidak langsung turun melainkan mengamati kemana langkah Gery terhenti di luar sana. Gery melangkah sambil mengedarkan pandangan pada setiap sudut taman yang bisa dikatakan sudah tua. Taman ini jauh dari keramaian dan memang lebih banyak dikelilingi pohon akasia selama perjalanan.

Gery berdiri mengusap sandaran kursi besi mulai dari tempatnya berdiri hingga ke ujung di dekat ayunan. Amora tak tahu apa yang sedang Gery lakukan, tapi sepertinya sedang mengenang sesuatu.

“Apa Tuan baik-baik saja?” tanya Amora.

Gery menoleh. Ia terkejut saat tiba-tiba Amora sudah berdiri di belakangnya. Gery lantas duduk pada kursi yang masih ia genggam sandarannya. “Aku baik-baik saja.”

Suasana kembali sunyi. Gery sudah duduk sambil mencondong dan menangkup wajah. Sementara Amora, ia yang bingung harus berbuat apa sedang memikirkan cara untuk menghibur Gery. Meski tidak tahu pasti masalahnya apa, tapi Amora merasa kalau Gery tengah bersedih hati.

Amora secara perlahan berjalan memutari bangku kemudian ikut duduk. Dua telapak tangan mendarat di atas paha, Amora mendesah pelan. Sementara di sampingnya, Gery masih diam dan menyembunyikan wajah.

“Apa Tuan ada masalah?” tanya Amora. “Em, maaf kalau aku lancang.” Amora mengatupkan bibir dan memutar pandangan ke atas menatap langit gelap.

“Eh!” pekik Amora tiba-tiba. Kepala Gery yang semula masih menunduk, kini sudah bersandar di pundak Amora.

Tidak ada satu kata patah pun yang keluar dari mulut Gery. Ia hanya diam memejamkan mata sambil membiarkan pikiran kacaunya perlahan menghilang. Amora yang dadanya mendadak berdegup kencang, nampak mengerutkan wajah dan memejamkan mata rapat-rapat sambil menggigit bibir.

“Apa kau tahu ...” cukup lama diam, Gery akhirnya buka suara.

“A-apa, Tuan?” sahut Amora gugup.

“Aku awalnya berniat menghancurkan kehidupanmu,” ungkap Gery.

Amora tidak terlalu kaget sebenarnya. Sebelum ini, Amora juga sudah merasa aneh sejak perjanjian waktu itu. Tidak segampang itu membebaskan tahanan tanpa jaminan kan? Amora sadar betul akan hal itu.

“Aku tahu, Tuan,” sahut Amora lagi.

Gery mengangkat kepala dari pundak Amora. “Sungguh?”

Saat mendapat tatapan dari Gery, Amora seketika membuang pandangan sambil tersenyum. “Tentu saja. Aku sudah tahu semuanya tanpa perlu Tuan jelaskan.”

“Kenapa kau mau?” tanya Gery lagi.

Kali ini Amora tersenyum getir. Pertanyaan itu rasanya sulit untuk dijawab. “Ayahku dalam kesulitan, sebagai putrinya tentu aku harus membantu kan?”

“Apa kau pikir ayahmu akan melakukan hal yang sama saat kau yang sedang dalam kesulitan?”

Pembicaraan ini secara perlahan mulai menjerumus pada perasaan.

“Pasti,” jawab Amora mantap. “Ayah akan melakukan apapun untukku.”

Gery tiba-tiba tertawa lalu berdiri. Ia meregangkan otot badannya sambil menyugar rambut dengan kedua telapak tangan secara bersamaan. “Aku tidak percaya.”

Amora mendongak. “Kenapa?”

Gery menoleh sambil mendesah. Sisa tawa masih terlihat di wajahnya. “Ayahku tidak. Dia justru menghindar kalau aku sedang ada masalah.”

Sementara Gery berjalan menuju pohon palem besar, Amora termenung memikirkan perkataan Gery barusan. Lagi-lagi Amora tidak paham kemana arah pembicaraan Gery.

Di bawah pohon palem, Gery sudah bersandar dengan satu kaki tertekuk kebelakang menahan pohon tersebut. “Apa kau masih tetap bertahan seandainya sekarang aku masih berniat menghancurkanmu?”

Amora mengangguk membuat Gery tertawa lagi. “Dasar wanita bodoh!” kata Gery dalam hati.

“Kau tahu siapa wanita yang ayahmu tabrak?” tanya Gery.

Ragu-ragu Amora menjawab. “Yang kutahu, dia adalah kekasihmu.”

Gery beranjak dan kembali duduk di samping Amora. “Sebenarnya dia mantan kekasihku.”

Amora kali ini terkejut dengan jawaban Gery. Kalau sudah menjadi mantan dan Gery bersikukuh melakukan balas dendam, mungkinkah cintanya sangat besar? Amora bertanya-tanya.

“Aku sempat melamarnya sebelum akhirnya dia memutuskanku di tempat ini.”

“Oh!” Amora spontan mendaratkan telapak tangan di depan bibir. Hampir saja Amora terjungkat berdiri kalau saja Gery tidak menghardiknya lirih.

“Jangan kaget begitu. Aku memang terkadang masih menyimpan rasa pada setiap mantan kekasihku.”

“Apa?” pekik Amora dalam hati.

“Kau harusnya bersyukur karena aku urung melakukan kejahatan pada dirimu dan keluargamu,” kata Gery setengah menyeringai. “Tapi bukan berarti aku akan melepaskanmu.”

Amora kemudian teringat dengan permintaan Gery yang memaksa dirinya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Seorang budak lalu beralih kekasih palsu. Begitukah?

“Tuan masih berhak atas diriku karena sudah membebaskan ayahku. Perintah Tuan sebisa mungkin akan aku lakukan.” Amora tetap mencoba tenang.

Gery tertawa penuh ejekan. “Kau yakin? Kali ini permintaanku lebih berat. Apa kau yakin akan sanggup?”

Memandang keseriusan wajah Gery, Amora ingin sekali bergidik dan mengumpat.

“A-apa itu, Tuan?” tanya Amora tergagap.

Gery berdiri lagi. Satu tangannya menyibak rambut kebelakang kemudian berjalan menuju mobil. “Menikahlah denganku!”

“A-apa, Tuan?” Amora ikut berdiri. Mulutnya terbuka lebar dengan bola mata membulat sempurna.

Sementara Gery yang sudah berdiri di samping pintu mobil sebelah kanan, terlihat mendengkus. “Jangan kaget begitu. Siapkan saja dirimu, karena aku tidak main-main.”

Gery sudah masuk ke dalam mobil sementara Amora masih termenung di depan kursi besi. Ia tengah meremas ujung roknya hingga tertarik ke atas.

“Menikah? Aku?” tubuh Amora terasa lunglai dan ingin merosot jatuh ke tanah.

Hampir saja pikirannya melayang entah kemana, suara lantang Gery memanggil dari balik jendela mobil yang terbuka. “Kau mau di situ atau pulang!”

“I-iya, Tuan. A-aku, aku mau pulang.” Tergopoh-gopoh, Amora berlari menyusul Gery.

Sepulangnya dari taman tanpa pengunjung itu, Gery kembali merengut tatkala melihat ada Belva yang sedang ada di dapur. Dari jarak sekitar tiga meter, Gery melihat Belva sedang mencuci kedua tangan di wastafel.

Kalau tahu ada Belva di dapur, mungkin Gery memilih langsung pergi saja menuju kamarnya. Sayangnya, rasa haus memaksa kedua kaki Gery berbelok mencari air dingin.

“Gery,” kata Belva saat sadar dirinya tengah di pandangi oleh Gery. “Kau sudah pulang?”

Mencoba acuh, Gery menyerobot menuju lemari pendingin dan segera mencari air mineral. Gery hanya tak mau terpesona karena sejujurnya masih ada sedikit rasa untuk Belva. Wanita itu memang mantan masa SMA hingga kuliah, tapi entah kenapa Gery masih saja gugup saat harus berpapasan dengannya.

“Kau ternyata sudah berubah,” kata Belva lagi.

Gery yang baru saja meneguk sebotol minuman dingin, sontak menoleh. “Apa maksudmu?”

“Kenapa kau tidak berubah dari dulu? Mungkin kita masih bisa tetap bersama.” Belva meletakkan kain yang ia gunakan untuk mengelap kedua tangan di atas meja.

“Kau belum melupakanku kan?” Belva maju mendekat ke arah Gery.

Gery sempat terpaku diam hingga wajahnya begitu dengan Belva. Embusan napas saat Belva berbisik bahkan bisa membuat Gery merinding.

“Maaf kalau aku harus menikahi kakakmu.”

Gery kemudian mendorong tubuh Belva hingga hampir membentur tepian meja konter dapur. “Jangan menyentuhku. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi sejak lama.”

Gery meletakkan botol minuman dengan kuat di atas meja kemudian berlalu meninggalkan Belva.

“Aku tidak percaya kalau Amora kekasihmu,” gumam Belva sambil tersenyum. “Dia jelas-jelas bukan tipemu dan aku tahu kalau kau masih ada hubungan dengan Tania.”

Belva menyeringai lalu masuk ke kamar tamu yang sudah disediakan untuknya menginap di sini. “Kau hanya sedang berpura-pura karena tahu aku dan Theo akan menikah kan?”

Percaya diri, tapi sepertinya tebakan Belva memang benar.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

89