Bab 9 Berhenti menangis
by Irma W
00:00,Aug 07,2021
Suasana di ruang makan kali ini tidak sepi seperti biasanya. Tuan David dan Nyonya Jane kini tengah kembali ke negaranya untuk menengok sang putra. Jika mereka berdua senang, tidak untuk Peter. Ia tahu apa tujuan ke dua orang tuanya datang.
“Ibu akan suka jika kau menikah dengan Lizy,” kata Jane sambil mengunyah makanan.
“Ayah juga setuju,” sambung David.
Peter meletakkan sendok di atas piring lalu meneguk minumannya hingga hampir habis. Dalam benaknya, ia malas sekali jika membicarakan tentang wanita itu.
“Apa kalian tidak tahu bagaimana perbuatan Lizy?” tanya Peter.
David dan Jane saling pandang sesaat.
“Apa maksudmu?” tanya Jane.
“Ibu mau menikahkanku dengan Lizy, tapi ibu belum tahu seperti apa perlakuan dia di luar sana. Apa ibu mau putra ibu ini menderita?” Peter bergantian menatap wajah ayah dan ibunya.
David tersenyum tipis usai menghela napas. “Kalau menurutmu Lizy memang tidak baik, maka kenalkan wanitamu sendiri pada ayah dan ibu.”
Jane mengangguk setuju.
Peter berdiri. “Besok akan aku bawa kekasihku ke hadapan kalian.” Setelah berkata demikian, Peter meraih tas kerjanya lalu berlalu pergi.
Di dalam perjalanan, Peter sebenarnya agak ragu untuk memperkenalkan Stela Wen pada kedua orang tuanya. Cemas jika mungkin mereka akan tahu kalau ternyata hanya sandiwara dan Stela sudah memiliki suami. Namun, semua juga sudah dipikirkan secara matang. Peter menginginkan Stela seutuhnya.
Sampai di kantor, Peter sudah disambut oleh setumpuk laporan dari sekertarisnya yang bernama Paula. Sosok wanita berpawakan kekar dan kuat. Bisa dikatakan wanita tomboy.
“Lesu sekali?” tanya Paula. “Ada masalah?”
Peter duduk di kursi putarnya, sementara Paula masih berdiri di dekat ujung meja.
“Ibuku menagih seorang wanita.”
“Lagi?” Paula membungkukkan badan dengan mata membulat. “Masih dengan Lizy?”
Peter mengangguk. “Memang mana lagi?”
Paula menepuk tepian meja dan berdecak. Ia mengibaskan rambut yang panjangnya hanya di atas pundak.
“Terus, apa yang akan kau lakukan?” tanya Paula.
Peter menatap sendu. “Kau tahu kan, kalau aku sedang mengincar seorang wanita?”
“Maksudmu wanita bersuami itu?” Paula memastikan.
“Aku terlanjur tertarik dengan wanita itu.”
Paula mendesah berat lalu ikut duduk di hadapan Peter. Terlihat satu tangannya mendarat di atas meja dan kelima jarinya bergantian mengetuk-ngetuk meja tersebut seolah Paula sedang berpikir.
“Aku heran, dia itu sudah bersuami. Kenapa kau sampai tertarik dengannya?” tanya Paula.
“Aku mana tahu!” sungut Peter. “Aku hanya tertarik dengan kehidupannya yang menyedihkan hingga aku menginginkan dia lebih.”
Paula berdengung dan mengetuk-ngetuk dagunya. “Ini mungkin hanya sebatas kau kasihan padanya.”
“Tidak,” sahut Peter. “Aku yakin dengan perasaanku.”
“Lalu, kau mau berbuat apa?” tanya Paula. “Merebut dia dari suaminya? Hei! Kau mau disebut perebut istri orang?”
“Tidak begitu juga.” Peter berdecak sebal. “Kalaupun aku disangka begitu juga terserah! Toh suami dia juga berselingkuh.”
“Ah, sudahlah!” Paula berdiri. “Aku tidak mau ikut campur dengan percintaanmu yang rumit.”
Peter hanya diam saat Paula pergi dari ruangannya. Di saat Peter hendak kembali duduk di kursi kerjanya, pintu ruangan terbuka. Wajah Peter yang sudah datar, kini berubah semakin ciut tatkala melihat siapa sosok wanita yang masuk ke ruangannya.
“Hai, Baby,” sapa Lizy.
Peter sontak membuang napas berat. Ia memilih fokus pada lembaran dokumen yang tergeletak di atas meja.
“Aku sedang sibuk, untuk apa kau datang?”
Seperti biasanya, Lizy berlenggak mendekat lalu merangkulkan tangan di pundak Peter. Bibirnya yang merah merekah, kini mendekat ke samping pipi Peter.
“Menyingkirlah!” hardik Peter.
Lizy yang kaget spontan menjerit dan mundur. “Kenapa kau berteriak begitu?”
“Kau tidak lihat aku sedang sibuk?” Peter mengangkat beberapa lembar berkas ke arah Lizy.
Lizy lantas merengut dan menggembungkan kedua pipinya. “Aku kan Cuma mau mengajakmu makan siang.”
“Ini masih jam sepuluh. Waktu makan siang masih lama,” jelas Peter.
“Kalau begitu aku duduk di sini sampai jam makan siang datang.” Lizy tersenyum lalu duduk di sofa dengan wajah berbinar.
Peter mendesis kuat lalu meletakkan berkas dengan kasar. “Terserah kau saja!” Peter kemudian berlalu pergi.
“Dasar wanita gila!” hardik Peter saat berjalan di lorong kantornya. “Jelas-jelas dia sudah memiliki kekasih, untuk apa menggangguku terus!”
Peter sudah sampai di parkiran. Ia beruntung karena kunci mobil ada di dalam saku celana, sementara ponselnya ada di saku jasnya.
Saat sudah masuk ke dalam mobil, Peter meraih ponselnya lalu menghubungi seseorang.
“Pertemuan nanti siang kau yang urus semuanya. Aku ada keperluan penting,” kata Peter pada seseorang di balik ponselnya.
Tidak ada sahutan apapun dari seberang sana terkecuali sebuah decakan keras dan sambungan telpon terputus kemudian.
“Apa semua bos, masalahnya selalu rumit?” cibir Paula yang kesal.
Peter sudah melajukan mobilnya. Ia hanya melajukan dengan kecepatan lambat karena belum tahu harus ke mana. Peter melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih seperempat.
“Stela!” pekik Peter tiba-tiba.
Peter menghentikan mobilnya di tepi jalan yang tidak terlalu ramai. Ia melihat Stela tengah berjalan cepat sambil menunduk. Peter bisa menebak kalau Stela tengah menangis menyusuri trotoar jalan.
Sebelum Stela berjalan semakin jauh, Peter turun dari mobil lalu mengejar langkahnya. Sampai di ujung jalan berbelok, Peter berhasil meraih pergelangan tangan Stela.
“Hei!” kata Peter.
Stela sontak menoleh. Wajahnya yang basah, berhasil membuat Peter merasa iba.
“Kenapa menangis?” tanya Peter.
Dengan cepat Stela melepas tangan lalu mengusap wajahnya. “Bukan urusanmu!”
Peter berdecak dan tanpa persetujuan Stela, ia menarik lengan Stela menuju mobil.
“Lepaskan!” Stela menekan langkah kakinya. “Kau mau bawa aku ke mana!”
“Diam dan ikut saja.” Peter terus menarik lengan Stela hingga mau tak mau Stela pun kalah.
Selain tidak bisa berontak karena sedang dalam keadaan kacau, Stela juga sedang butuh seseorang di sampingnya. Sekalipun itu orang asing, mungkin saja bisa mencegah jika pikiran Stela mendadak tidak waras dan memutuskan untuk melakukan hal gila.
“Sudahlah, berhenti menangis!” pinta Peter.
Meski tidak tega, sejujurnya Peter paling benci melihat orang menangis. Hal tersebut bisa membuat Peter kebingungan dan panik.
“Kalau kau tidak mau melihatku menangis, biarkan aku pergi.”
Stela hampir saja membuka pintu mobil jika tidak langsung dicegah oleh Peter. Dengan paksa, Peter sampai memelototi Stela dan dengan cepat memakaikan sabuk pengaman. Kondisi yang sangat dekat itu, membuat Stela terdiam dan berhenti menangis. Hanya terdengar sesenggukan karena sudah sepanjang perjalanan, Stela menangis.
Peter kembali duduk dengan benar di jok kemudi. “Sekarang, duduk saja yang tenang.”
Stela tidak menjawab. Ia membuang muka ke arah kaca jendela dengan napas yang masih lumayan tersengal-sengal.
***
“Ibu akan suka jika kau menikah dengan Lizy,” kata Jane sambil mengunyah makanan.
“Ayah juga setuju,” sambung David.
Peter meletakkan sendok di atas piring lalu meneguk minumannya hingga hampir habis. Dalam benaknya, ia malas sekali jika membicarakan tentang wanita itu.
“Apa kalian tidak tahu bagaimana perbuatan Lizy?” tanya Peter.
David dan Jane saling pandang sesaat.
“Apa maksudmu?” tanya Jane.
“Ibu mau menikahkanku dengan Lizy, tapi ibu belum tahu seperti apa perlakuan dia di luar sana. Apa ibu mau putra ibu ini menderita?” Peter bergantian menatap wajah ayah dan ibunya.
David tersenyum tipis usai menghela napas. “Kalau menurutmu Lizy memang tidak baik, maka kenalkan wanitamu sendiri pada ayah dan ibu.”
Jane mengangguk setuju.
Peter berdiri. “Besok akan aku bawa kekasihku ke hadapan kalian.” Setelah berkata demikian, Peter meraih tas kerjanya lalu berlalu pergi.
Di dalam perjalanan, Peter sebenarnya agak ragu untuk memperkenalkan Stela Wen pada kedua orang tuanya. Cemas jika mungkin mereka akan tahu kalau ternyata hanya sandiwara dan Stela sudah memiliki suami. Namun, semua juga sudah dipikirkan secara matang. Peter menginginkan Stela seutuhnya.
Sampai di kantor, Peter sudah disambut oleh setumpuk laporan dari sekertarisnya yang bernama Paula. Sosok wanita berpawakan kekar dan kuat. Bisa dikatakan wanita tomboy.
“Lesu sekali?” tanya Paula. “Ada masalah?”
Peter duduk di kursi putarnya, sementara Paula masih berdiri di dekat ujung meja.
“Ibuku menagih seorang wanita.”
“Lagi?” Paula membungkukkan badan dengan mata membulat. “Masih dengan Lizy?”
Peter mengangguk. “Memang mana lagi?”
Paula menepuk tepian meja dan berdecak. Ia mengibaskan rambut yang panjangnya hanya di atas pundak.
“Terus, apa yang akan kau lakukan?” tanya Paula.
Peter menatap sendu. “Kau tahu kan, kalau aku sedang mengincar seorang wanita?”
“Maksudmu wanita bersuami itu?” Paula memastikan.
“Aku terlanjur tertarik dengan wanita itu.”
Paula mendesah berat lalu ikut duduk di hadapan Peter. Terlihat satu tangannya mendarat di atas meja dan kelima jarinya bergantian mengetuk-ngetuk meja tersebut seolah Paula sedang berpikir.
“Aku heran, dia itu sudah bersuami. Kenapa kau sampai tertarik dengannya?” tanya Paula.
“Aku mana tahu!” sungut Peter. “Aku hanya tertarik dengan kehidupannya yang menyedihkan hingga aku menginginkan dia lebih.”
Paula berdengung dan mengetuk-ngetuk dagunya. “Ini mungkin hanya sebatas kau kasihan padanya.”
“Tidak,” sahut Peter. “Aku yakin dengan perasaanku.”
“Lalu, kau mau berbuat apa?” tanya Paula. “Merebut dia dari suaminya? Hei! Kau mau disebut perebut istri orang?”
“Tidak begitu juga.” Peter berdecak sebal. “Kalaupun aku disangka begitu juga terserah! Toh suami dia juga berselingkuh.”
“Ah, sudahlah!” Paula berdiri. “Aku tidak mau ikut campur dengan percintaanmu yang rumit.”
Peter hanya diam saat Paula pergi dari ruangannya. Di saat Peter hendak kembali duduk di kursi kerjanya, pintu ruangan terbuka. Wajah Peter yang sudah datar, kini berubah semakin ciut tatkala melihat siapa sosok wanita yang masuk ke ruangannya.
“Hai, Baby,” sapa Lizy.
Peter sontak membuang napas berat. Ia memilih fokus pada lembaran dokumen yang tergeletak di atas meja.
“Aku sedang sibuk, untuk apa kau datang?”
Seperti biasanya, Lizy berlenggak mendekat lalu merangkulkan tangan di pundak Peter. Bibirnya yang merah merekah, kini mendekat ke samping pipi Peter.
“Menyingkirlah!” hardik Peter.
Lizy yang kaget spontan menjerit dan mundur. “Kenapa kau berteriak begitu?”
“Kau tidak lihat aku sedang sibuk?” Peter mengangkat beberapa lembar berkas ke arah Lizy.
Lizy lantas merengut dan menggembungkan kedua pipinya. “Aku kan Cuma mau mengajakmu makan siang.”
“Ini masih jam sepuluh. Waktu makan siang masih lama,” jelas Peter.
“Kalau begitu aku duduk di sini sampai jam makan siang datang.” Lizy tersenyum lalu duduk di sofa dengan wajah berbinar.
Peter mendesis kuat lalu meletakkan berkas dengan kasar. “Terserah kau saja!” Peter kemudian berlalu pergi.
“Dasar wanita gila!” hardik Peter saat berjalan di lorong kantornya. “Jelas-jelas dia sudah memiliki kekasih, untuk apa menggangguku terus!”
Peter sudah sampai di parkiran. Ia beruntung karena kunci mobil ada di dalam saku celana, sementara ponselnya ada di saku jasnya.
Saat sudah masuk ke dalam mobil, Peter meraih ponselnya lalu menghubungi seseorang.
“Pertemuan nanti siang kau yang urus semuanya. Aku ada keperluan penting,” kata Peter pada seseorang di balik ponselnya.
Tidak ada sahutan apapun dari seberang sana terkecuali sebuah decakan keras dan sambungan telpon terputus kemudian.
“Apa semua bos, masalahnya selalu rumit?” cibir Paula yang kesal.
Peter sudah melajukan mobilnya. Ia hanya melajukan dengan kecepatan lambat karena belum tahu harus ke mana. Peter melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih seperempat.
“Stela!” pekik Peter tiba-tiba.
Peter menghentikan mobilnya di tepi jalan yang tidak terlalu ramai. Ia melihat Stela tengah berjalan cepat sambil menunduk. Peter bisa menebak kalau Stela tengah menangis menyusuri trotoar jalan.
Sebelum Stela berjalan semakin jauh, Peter turun dari mobil lalu mengejar langkahnya. Sampai di ujung jalan berbelok, Peter berhasil meraih pergelangan tangan Stela.
“Hei!” kata Peter.
Stela sontak menoleh. Wajahnya yang basah, berhasil membuat Peter merasa iba.
“Kenapa menangis?” tanya Peter.
Dengan cepat Stela melepas tangan lalu mengusap wajahnya. “Bukan urusanmu!”
Peter berdecak dan tanpa persetujuan Stela, ia menarik lengan Stela menuju mobil.
“Lepaskan!” Stela menekan langkah kakinya. “Kau mau bawa aku ke mana!”
“Diam dan ikut saja.” Peter terus menarik lengan Stela hingga mau tak mau Stela pun kalah.
Selain tidak bisa berontak karena sedang dalam keadaan kacau, Stela juga sedang butuh seseorang di sampingnya. Sekalipun itu orang asing, mungkin saja bisa mencegah jika pikiran Stela mendadak tidak waras dan memutuskan untuk melakukan hal gila.
“Sudahlah, berhenti menangis!” pinta Peter.
Meski tidak tega, sejujurnya Peter paling benci melihat orang menangis. Hal tersebut bisa membuat Peter kebingungan dan panik.
“Kalau kau tidak mau melihatku menangis, biarkan aku pergi.”
Stela hampir saja membuka pintu mobil jika tidak langsung dicegah oleh Peter. Dengan paksa, Peter sampai memelototi Stela dan dengan cepat memakaikan sabuk pengaman. Kondisi yang sangat dekat itu, membuat Stela terdiam dan berhenti menangis. Hanya terdengar sesenggukan karena sudah sepanjang perjalanan, Stela menangis.
Peter kembali duduk dengan benar di jok kemudi. “Sekarang, duduk saja yang tenang.”
Stela tidak menjawab. Ia membuang muka ke arah kaca jendela dengan napas yang masih lumayan tersengal-sengal.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved