Bab 8 Terhimpit Kenyataan Buruk
by Andrew Wang
18:40,Jul 27,2023
“Ini kembalinya nona, terima kasih dan hati-hatilah. Jalanan di sekitar sini sangat gelap.”
Selena Tan menerima uang receh kembalian dari supir taksi itu sekaligus mendapatkan perhatian kecil yang membuatnya tersenyum. Ternyata masih ada juga orang lain yang peduli kepadanya, meskipun itu mungkin hanya sekedar basa-basi tetapi ia sangat merasa tersentuh karenanya. Beberapa lembar uang receh itu digenggamnya, hati Selena Tan meringis seketika karena sehelai uang seratus ribunya hanya tersisa beberapa lembar uang yang bahkan tidak cukup untuk membeli seporsi nasi bungkus. “Terimakasih pak, hati-hati juga untuk anda.” Jawab Selena Tan yang agak slow respon seraya membungkukkan badannya sebagai tanda hormat kepada pria tua itu serta tanda perpisahan. Ia menghela nafas kasar ketika taksi itu berlalu, suasana malam yang sungguh sepi dan dingin. Ia benar-benar sendirian dan harus menyusuri jalan setapak demi sampai ke rumah gubuknya.
Beberapa langkah lagi ia akan sampai di halaman gubuknya, namun Selena Tan justru berhenti berjalan, tangannya menyentuh area tengkuknya. Ia merasa merinding tanpa sebab kemudian memberanikan diri menoleh ke belakang. Setelah mengedarkan pandangan ke beberapa arah, Selena Tan masih tetap merasa tak aman. “Hmm, apa hanya perasaanku saja ya? Kenapa sepertinya ada yang mengikuti aku?”
Selena Tan tak menggubrisnya lagi, ia kembali meneruskan langkah kakinya hingga sampai di depan pintu reot rumah yang sebenarnya sudah tak layak huni itu. “Ibu, aku pulang!” Seru Selena Tan padahal belum juga ia masuk ke dalam namun suaranya sudah lebih dulu dilontarkan.
Suara decit pintu yang engselnya sudah sangat berkarat, ditambah dengan pencahayaan remang yang membuat Selena Tan harus menyipitkan sepasang matanya saat ingin melihat ke dalam. “Ibu? Kok lampunya sudah dimatikan? Apa ibu sudah tidur?” Tanya Selena Tan lagi, merasa kondisi rumah ini terlalu sepi dan tak wajar. Ia menutup pintu, menguncinya ala kadarnya kemudian tak sabar melangkah masuk demi mencari keberadaan ibunya. Ketika langkahnya sampai di ambang pintu kamar ibunya, seketika itu pula sepasang pupil mata Selena Tan membesar.
“Ibu!” Pekik Selena Tan histeris seraya menghampiri tubuh ibunya yang tergeletak di lantai. Diguncangnya tubuh ibunya setelah meraih kedua pundaknya, tubuh itu masih hangat namun tidak ada pergerakan apapun. Selena Tan semakin takut, pikiran negatif kian menghantuinya sekarang sehingga ia memberanikan diri untuk menjulurkan tangannya, mendekatkan jemari tangannya ke arah lubang hidung ibunya. Selena Tan shock hingga mulutnya ternganga begitu ia merasakan tidak ada tanda-tanda nafas dari indera penciuman ibunya.
“Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin!” Selena Tan masih menyangkal dari dugaan buruknya itu, ia terus mengguncang tubuh ibunya meskipun tak ada tanda kehidupan lagi dari denyut nadi serta indera penciuman ibunya. Isak tangis Selena Tan pecah, tak mau begitu saja menerima kenyataan yang mungkin saja sedang mempermainkannya. “Ibu tidak boleh meninggalkan aku sendiri. Ini tidak adil untukku!” Rengek Selena Tan tetap mencoba bicara pada seseorang yang telah memejamkan mata, mungkin untuk selamanya.
Selena Tan enggan menyerah, ia terpaksa harus berlari keluar mencari pertolongan. “Taksi itu mungkinkah masih berada di sekitar sini?” Selena Tan berlari keluar rumahnya, masih menaruh harapan pada sesuatu yang mungkin terasa mustahil karena ia melihat sendiri taksi telah berlalu sebelum ia melangkah masuk ke rumah. Nafasnya tersengal begitu ia berhenti berlari, di sekelilingnya terasa sangat sepi. Gubuk yang ibunya dan ia tempati memang agak jauh dari pemukiman, ia harus berlari sekitar dua ratus meter untuk sampai di rumah terdekat.
“Tolong! Siapapun yang mendengarku tolong aku!” Pekik Selena Tan begitu kencang menembus keheningan malam. Ia memang ingin berlari lebih jauh demi mencari bantuan namun juga tidak tega membiarkan ibunya sendirian lagi. Pilihan yang rumit baginya, Selena Tan menoleh ke arah belakang, menatap penuh pertimbangan dengan spekulasi yang tidak bisa ia perhitungkan pula. Wanita muda yang merasa menjadi orang paling sial sedunia malam ini, setelah kesialan beruntun yang ia lalui ternyata ibunya pun terkena imbasnya.
“Ibu, tunggu aku sebentar saja, akan aku carikan pertolongan untukmu.” Selena Tan telah mengukuhkan tekadnya kemudian berlari kencang menuju jalan setapak yang tadi ia lalui dengan taksi. Ia menuruti firasatnya meskipun tahu bahwa arah rumah terdekat berada di jalan sebaliknya, namun sepasang kakinya malah menuntunnya berlari menuju arah lain itu. Sepasang kakinya yang tidak beralas pun merasakan tajamnya kerikil yang menusuk saat telapak kakinya bersentuhan dengan batu kecil itu. Selena Tan mengabaikan perih yang tak lebih berarti daripada hatinya yang tersayat itu.
‘Ke mana harus mencari secerca harapan yang belum pasti itu? Aku tidak mengapa kehilangan diriku asal bukan ibuku. Aku mohon siapapun itu muncullah menolongku. Aku mohon.’ Rintih suara hati Selena Tan diiringi tangisannya yang menitik luruh di kedua pipinya. Pandangannya kabur karena air mata yang menggenangi, Selena Tan tetap tidak peduli, ia tetap mengukuhkan semangat demi mendapatkan pertolongan dari siapapun.
“Aaarrghh!” Pekik Selena Tan terjerembab jatuh karena pijakan yang tidak tepat. Ia meringis kesakitan, mustahil jika ia menampik rasa sakit ini bahkan pergelangan kakinya tergores kerikil hingga sedikit berdarah. Melihat perjuangannya yang terasa sia-sia, tak peduli sekeras apapun ia bertahan, Selena Tan mulai merasa muak. Ia mulai sesenggukan, tangis yang semula hanya isakan kini terkontaminasi oleh jeritan. Wanita yang berpura-pura kuat itu akhirnya menunjukkan sisi lemahnya. Jerit panjang yang menghunus keheningan malam, bersambut oleh gemerisik dedaunan yang dipermainkan angin kencang. Udara dingin yang sebentar lagi berubah menjadi hujan, bahkan cuaca pun ikut mendramatisir penderitaannya.
Di saat keterpurukan terasa sangat berat dipikulnya, Selena Tan menundukkan pandangannya, membiarkan tetes air mata jatuh membasahi tanah. Ia sampai pada titik lemah memperjuangkan sesuatu yang sulit dijangkau oleh tangannya. Tanpa kekuatan, ia sungguh bukanlah siapa-siapa. Gerimis mulai turun disertai angin kencang namun tidak bisa menerbangkan kesedihan yang terlanjur masuk ke dasar hati Selena Tan. Hingga ia mendapatkan secerca cahaya menyilaukan dari arah depan, meskipun dalam posisi menunduk, ia sadar akan perubahan di depan yang menjadi sangat terang.
Selena Tan penasaran akan kemunculan cahaya itu, suara mesin yang ia yakini berasal dari mobil. Ia bergegas mendongak demi memastikan apa yang ada di depannya, seketika sepasang matanya menyipit karena sorotan lampu mobil yang begitu menyilaukan. Tuhan telah menjawab doanya, mengirimkan seseorang yang entah siapa untuk datang menyelamatkannya di tengah kondisi terpuruk. Tetapi siapa orang itu? Selena Tan belum bisa memastikannya dengan terbatasnya pandangan melawan silaunya cahaya. Selena Tan sedikit menundukkan pandangan, sadar bahwa ia tidak akan sanggup mempertahankan tatapan ke arah yang menyakitkan mata itu. Hingga ia bisa melihat jelas sepasang sepatu yang memijak tanah di depannya ketika turun dari mobil. Selena Tan mengikuti instingnya untuk menatap lebih detail menelusuri dari sepatu hingga ke arah tubuh pria itu. Saat itu juga ia terkejut melihat siapa yang berdiri di sana sebagai penyelamatnya.
“Kamu ....”
Selena Tan menerima uang receh kembalian dari supir taksi itu sekaligus mendapatkan perhatian kecil yang membuatnya tersenyum. Ternyata masih ada juga orang lain yang peduli kepadanya, meskipun itu mungkin hanya sekedar basa-basi tetapi ia sangat merasa tersentuh karenanya. Beberapa lembar uang receh itu digenggamnya, hati Selena Tan meringis seketika karena sehelai uang seratus ribunya hanya tersisa beberapa lembar uang yang bahkan tidak cukup untuk membeli seporsi nasi bungkus. “Terimakasih pak, hati-hati juga untuk anda.” Jawab Selena Tan yang agak slow respon seraya membungkukkan badannya sebagai tanda hormat kepada pria tua itu serta tanda perpisahan. Ia menghela nafas kasar ketika taksi itu berlalu, suasana malam yang sungguh sepi dan dingin. Ia benar-benar sendirian dan harus menyusuri jalan setapak demi sampai ke rumah gubuknya.
Beberapa langkah lagi ia akan sampai di halaman gubuknya, namun Selena Tan justru berhenti berjalan, tangannya menyentuh area tengkuknya. Ia merasa merinding tanpa sebab kemudian memberanikan diri menoleh ke belakang. Setelah mengedarkan pandangan ke beberapa arah, Selena Tan masih tetap merasa tak aman. “Hmm, apa hanya perasaanku saja ya? Kenapa sepertinya ada yang mengikuti aku?”
Selena Tan tak menggubrisnya lagi, ia kembali meneruskan langkah kakinya hingga sampai di depan pintu reot rumah yang sebenarnya sudah tak layak huni itu. “Ibu, aku pulang!” Seru Selena Tan padahal belum juga ia masuk ke dalam namun suaranya sudah lebih dulu dilontarkan.
Suara decit pintu yang engselnya sudah sangat berkarat, ditambah dengan pencahayaan remang yang membuat Selena Tan harus menyipitkan sepasang matanya saat ingin melihat ke dalam. “Ibu? Kok lampunya sudah dimatikan? Apa ibu sudah tidur?” Tanya Selena Tan lagi, merasa kondisi rumah ini terlalu sepi dan tak wajar. Ia menutup pintu, menguncinya ala kadarnya kemudian tak sabar melangkah masuk demi mencari keberadaan ibunya. Ketika langkahnya sampai di ambang pintu kamar ibunya, seketika itu pula sepasang pupil mata Selena Tan membesar.
“Ibu!” Pekik Selena Tan histeris seraya menghampiri tubuh ibunya yang tergeletak di lantai. Diguncangnya tubuh ibunya setelah meraih kedua pundaknya, tubuh itu masih hangat namun tidak ada pergerakan apapun. Selena Tan semakin takut, pikiran negatif kian menghantuinya sekarang sehingga ia memberanikan diri untuk menjulurkan tangannya, mendekatkan jemari tangannya ke arah lubang hidung ibunya. Selena Tan shock hingga mulutnya ternganga begitu ia merasakan tidak ada tanda-tanda nafas dari indera penciuman ibunya.
“Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin!” Selena Tan masih menyangkal dari dugaan buruknya itu, ia terus mengguncang tubuh ibunya meskipun tak ada tanda kehidupan lagi dari denyut nadi serta indera penciuman ibunya. Isak tangis Selena Tan pecah, tak mau begitu saja menerima kenyataan yang mungkin saja sedang mempermainkannya. “Ibu tidak boleh meninggalkan aku sendiri. Ini tidak adil untukku!” Rengek Selena Tan tetap mencoba bicara pada seseorang yang telah memejamkan mata, mungkin untuk selamanya.
Selena Tan enggan menyerah, ia terpaksa harus berlari keluar mencari pertolongan. “Taksi itu mungkinkah masih berada di sekitar sini?” Selena Tan berlari keluar rumahnya, masih menaruh harapan pada sesuatu yang mungkin terasa mustahil karena ia melihat sendiri taksi telah berlalu sebelum ia melangkah masuk ke rumah. Nafasnya tersengal begitu ia berhenti berlari, di sekelilingnya terasa sangat sepi. Gubuk yang ibunya dan ia tempati memang agak jauh dari pemukiman, ia harus berlari sekitar dua ratus meter untuk sampai di rumah terdekat.
“Tolong! Siapapun yang mendengarku tolong aku!” Pekik Selena Tan begitu kencang menembus keheningan malam. Ia memang ingin berlari lebih jauh demi mencari bantuan namun juga tidak tega membiarkan ibunya sendirian lagi. Pilihan yang rumit baginya, Selena Tan menoleh ke arah belakang, menatap penuh pertimbangan dengan spekulasi yang tidak bisa ia perhitungkan pula. Wanita muda yang merasa menjadi orang paling sial sedunia malam ini, setelah kesialan beruntun yang ia lalui ternyata ibunya pun terkena imbasnya.
“Ibu, tunggu aku sebentar saja, akan aku carikan pertolongan untukmu.” Selena Tan telah mengukuhkan tekadnya kemudian berlari kencang menuju jalan setapak yang tadi ia lalui dengan taksi. Ia menuruti firasatnya meskipun tahu bahwa arah rumah terdekat berada di jalan sebaliknya, namun sepasang kakinya malah menuntunnya berlari menuju arah lain itu. Sepasang kakinya yang tidak beralas pun merasakan tajamnya kerikil yang menusuk saat telapak kakinya bersentuhan dengan batu kecil itu. Selena Tan mengabaikan perih yang tak lebih berarti daripada hatinya yang tersayat itu.
‘Ke mana harus mencari secerca harapan yang belum pasti itu? Aku tidak mengapa kehilangan diriku asal bukan ibuku. Aku mohon siapapun itu muncullah menolongku. Aku mohon.’ Rintih suara hati Selena Tan diiringi tangisannya yang menitik luruh di kedua pipinya. Pandangannya kabur karena air mata yang menggenangi, Selena Tan tetap tidak peduli, ia tetap mengukuhkan semangat demi mendapatkan pertolongan dari siapapun.
“Aaarrghh!” Pekik Selena Tan terjerembab jatuh karena pijakan yang tidak tepat. Ia meringis kesakitan, mustahil jika ia menampik rasa sakit ini bahkan pergelangan kakinya tergores kerikil hingga sedikit berdarah. Melihat perjuangannya yang terasa sia-sia, tak peduli sekeras apapun ia bertahan, Selena Tan mulai merasa muak. Ia mulai sesenggukan, tangis yang semula hanya isakan kini terkontaminasi oleh jeritan. Wanita yang berpura-pura kuat itu akhirnya menunjukkan sisi lemahnya. Jerit panjang yang menghunus keheningan malam, bersambut oleh gemerisik dedaunan yang dipermainkan angin kencang. Udara dingin yang sebentar lagi berubah menjadi hujan, bahkan cuaca pun ikut mendramatisir penderitaannya.
Di saat keterpurukan terasa sangat berat dipikulnya, Selena Tan menundukkan pandangannya, membiarkan tetes air mata jatuh membasahi tanah. Ia sampai pada titik lemah memperjuangkan sesuatu yang sulit dijangkau oleh tangannya. Tanpa kekuatan, ia sungguh bukanlah siapa-siapa. Gerimis mulai turun disertai angin kencang namun tidak bisa menerbangkan kesedihan yang terlanjur masuk ke dasar hati Selena Tan. Hingga ia mendapatkan secerca cahaya menyilaukan dari arah depan, meskipun dalam posisi menunduk, ia sadar akan perubahan di depan yang menjadi sangat terang.
Selena Tan penasaran akan kemunculan cahaya itu, suara mesin yang ia yakini berasal dari mobil. Ia bergegas mendongak demi memastikan apa yang ada di depannya, seketika sepasang matanya menyipit karena sorotan lampu mobil yang begitu menyilaukan. Tuhan telah menjawab doanya, mengirimkan seseorang yang entah siapa untuk datang menyelamatkannya di tengah kondisi terpuruk. Tetapi siapa orang itu? Selena Tan belum bisa memastikannya dengan terbatasnya pandangan melawan silaunya cahaya. Selena Tan sedikit menundukkan pandangan, sadar bahwa ia tidak akan sanggup mempertahankan tatapan ke arah yang menyakitkan mata itu. Hingga ia bisa melihat jelas sepasang sepatu yang memijak tanah di depannya ketika turun dari mobil. Selena Tan mengikuti instingnya untuk menatap lebih detail menelusuri dari sepatu hingga ke arah tubuh pria itu. Saat itu juga ia terkejut melihat siapa yang berdiri di sana sebagai penyelamatnya.
“Kamu ....”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved