Bab 9 Farra

by Aggiacossito 14:31,Aug 10,2023
Hanya satu kalimat pertanyaan via chat seperti itu saja membuat Gisca ketakutan.
Belum hilang kepanikan dan rasa takut Gisca, layar ponselnya berganti tampilan lantaran ada panggilan masuk diikuti getarannya.
Ekspresi takut Gisca berubah menjadi penuh frustrasi. Bukan ... yang meneleponnya bukanlah Saga, melainkan Rumina.
"Iya?" sapa Gisca hati-hati.
"Kamu udah kerja?"
Sungguh pertanyaan yang sangat to the point, tanpa basa-basi.
"Belum, Bu. Interview-nya diundur. Baru hari ini, bukan kemarin."
"Masa bodoh, nggak peduli mau kapan aja, yang penting kamu kerjanya kapan? Gajiannya setiap tanggal berapa? Kapan mulai kirim uang?"
Astaga....
"Pengumuman penerimaannya aja belum, mending Ibu doain aja supaya aku diterima."
"Kapan pengumumannya?" cecar Rumina terus.
"Paling lambat lusa, Bu. Sekarang pun aku mau pulang dulu, sambil nunggu pengumuman. Lagian barang-barangku masih di rumah."
"Buang-buang ongkos aja. Seharusnya kamu bawa sekalian barang-barangnya!" marah Rumina. “Udah tahu keuangan lagi susah, malah banyak tingkah pulang-pergi. Daripada buat ongkos kamu, mending buat makan sehari-hari Ibu sama Salsa aja.”
"Kalau aku nggak diterima, repot harus bolak-balik bawa tas besar."
"Kalau nggak diterima ya cari kerjaan lain. Punya otak kok nggak dipake. Wajar, sih, dari dulu miskin aja. Enggak pandai gunain otaknya, sih!"
Sabar Gisca, sabar....
"Ya udah, pokoknya kamu harus diterima! Enggak mau tahu. Pokoknya harus. Kamu harus ingat segalanya naik harga. Jadi kamu harus cari uang yang banyak!"
Tanpa pamit, Rumina langsung menutup panggilan teleponnya.
Gisca tidak heran lantaran sudah terbiasa.
Bahkan, sepertinya Gisca diterima kerja adalah hal yang sangat penting bagi Rumina. Ibu tiri Gisca. Wanita itu juga tidak punya rasa khawatir Gisca tidak pulang kemarin.
Jangankan bertanya Gisca sudah makan atau belum, juga kesulitan apa yang dilalui Gisca di kota ini, Rumina bahkan tidak menanyakan Gisca tidur di mana ketika menunggu interview yang ditunda.
Gisca tahu Rumina tidak peduli padanya, yang bahkan ibu tirinya itu perlihatkan dengan sangat jelas. Uang, uang dan uang. Hanya tentang itu saja yang menjadi pembahasan andalan Rumina.
"Gisca maaf, udah neleponnya?" Suara Barra langsung membuyarkan lamunan Gisca.
Astaga. Gisca bisa-bisanya lupa dirinya sedang ada di mana dan tempat ini milik siapa.
"Udah," jawab Gisca. "Maaf ya Pak, aku neleponnya kelamaan," lanjutnya yang menyadari dirinya sibuk menelepon sampai-sampai Barra sudah selesai dari kamar mandi entah sejak kapan.
"Bukan masalah, kok. Oh ya, ini diminum dulu. Maaf alakadarnya, seperti yang saya bilang tadi ... ini adalah tempat singgah, jadi isi kulkas pun alakadarnya." Barra meletakkan dua buah minuman kaleng beserta snack rasa kentang ukuran sedang.
"Silakan diminum dulu," kata Barra lagi.
"Terima kasih, Pak."
Gisca pun menenggak minuman kaleng yang Barra hidangkan. Minumannya masih bersegel sehingga ia tidak perlu menaruh curiga.
Tak lama kemudian, Gisca meletakkan kembali minuman kalengnya di meja.
"Langsung aja ya, sekitar satu jam lagi saya harus ke klinik," kata Barra. "Kalau boleh tahu, udah berapa lama kalian saling kenal?"
"Memang kenapa, Pak?"
"Jadi, saya membawamu ke sini bukan semata-mata agar kamu terhindar dari Saga sementara aja, melainkan selamanya," jelas Barra.
"Satu hari, Pak," jawab Gisca kemudian.
"Sial. Pantas aja dia masih menggebu-gebu rasa penasarannya."
Barra kemudian melanjutkan pembicaraannya, "Dalam satu hari itu ... apa dia pernah pegang ponsel kamu? Saya curiga dia memasang perangkat pelacak di dalamnya. Seperti yang Saga lakukan terhadap adik saya dulu."
Gisca menggeleng. Ia yakin betul Saga tidak pernah menyentuh ponselnya satu kali pun.
"Terus bagaimana bisa dia tahu kamu ada di mobil saya?" Barra mencoba berpikir keras.
Gisca lalu menceritakan bagaimana pertemuan pertamanya dengan Saga, jebakan yang pria itu buat, juga tentang dompet yang sengaja ditukar.
Mata Gisca pun sampai memerah lantaran menahan tangis. Ia benar-benar takut pada Saga.
Barra tidak pernah meminta Gisca menceritakan hal buruk yang Saga lakukan, karena itu menyangkut privasi dan Barra yakin Gisca tidak akan nyaman menceritakannya. Namun, wanita itu sudah memberitahunya barusan. Tanpa paksaan dan atas kehendak Gisca sendiri.
"Aku takut banget, Pak. Sebenarnya aku malu harus menceritakan apa yang Saga lakukan saat pertemuan pertama kami. Aku bodoh yang percaya begitu aja kalau dia mengira aku pacarnya."
"Saya paham kamu pasti sangat takut. Kamu korban, jadi jangan menyalahkan diri sendiri, oke? Kamu aman sekarang. Saya jamin." Barra mengatakannya sambil menyodorkan tisu.
Gisca menerimanya dan langsung menyeka air mata yang lolos begitu saja.
"Tadi kamu bilang, Saga sempat menukar dompet. Saya curiga dia meletakkan alat pelacak di sana," kata Barra. "Apa kamu langsung memeriksanya setelah dompetnya balik ke tanganmu lagi?"
Gisca menggeleng. Ia sama sekali tidak kepikiran sampai ke sana. Sedikit pun tidak!
"Astaga. Saya boleh lihat?" tanya Barra. "Maksudnya ... silakan kamu ambil KTP, foto, kartu ATM, uang atau apa pun yang menurut kamu riskan untuk diperlihatkan. Setelah itu, izinkan saya memeriksa dompet kamu."
Setelah dompetnya kosong karena isinya sudah Gisca ambil, ia menyerahkannya pada Barra.
Detik berikutnya, Barra memeriksanya dengan teliti. Sampai kemudian, ia menemukan sebuah benda aneh berukuran kecil yang dicurigai sebagai alat pelacak.
"Ini milik kamu?" tanya Barra.
Gisca menggeleng. "Bu-bukan, aku nggak tahu sejak kapan benda itu ada di situ."
"Enggak salah lagi. Ini punya Saga. Sekarang masuk akal dia bisa mengikuti kita sampai stasiun padahal kita berhasil lolos sebelumnya."
"Aku nggak nyangka dia seniat itu." Gisca tidak bisa menyembunyikan rasa panik, takut, sedih, frustrasi yang bercampur menjadi satu.
"Saya nggak heran. Dia masih menggebu-gebu ingin mendapatkanmu, membuatmu menjadi miliknya. Saga itu ... saat sudah menjadikan seseorang target, dia nggak akan mudah menyerah sampai mendapatkannya. Seperti yang dia lakukan pada Farra dulu, adik saya."
Gisca yang semula menunduk, refleks menatap Barra. Raut wajah pria itu berubah sedih setiap menyinggung soal adiknya.
"Aku tahu ini privasi, tapi apa aku boleh bertanya tentang apa yang terjadi pada adik Bapak?" tanya Gisca hati-hati.
"Farra itu...."

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

119