Bab 2 Part 2
by Dinda Tirani
10:18,Apr 26,2024
Ning Sarah Dan Nyai Aisyah
Aku terpana melihat seorang gadis cantik berjalan sambil memeluk tumpukkan kitab yang cukup banyak, langkahnya pelan dan berhati hati agar tumpukan kitab kuning yang dibawanya tidak jatuh tercecer. Mataku tidak beranjak dari wajahnya yang cantik dan berkulit putih bersih, pipinya merona merah berseri seri. Ya Allah, di Pesantren yang terletak di Kota kecil ini ternyata ada bidadari yang membuat mataku tidak mampu berkedip.
"Innalilahi....!" Seru gadis itu membuatku sadar dengan apa yang terjadi, gadis itu tersandung dan tubuhnya terhuyung berusaha menjaga keseimbangannya. Tumpukan kitab yang dipeluknya jatuh berceceran tanpa dapat dicegah ya, gadis itu fokus menjaga keseimbangan tubuhnya dan melepaskan kitab kuning dalam pelukannya.
Aku terpaku menatap adegan yang terjadi di depanku, seperti patung.
"Ning Sarah,...!" Seru tiga gadis yang berhamburan menghampiri gadis cantik itu, mereka berebutan menolong gadis cantik itu dan tidak ada satupun yang berusaha memungut kitab kuning yang berhamburan di lantai.
"Astaghfirullah..!" Gumamku tersadar dari pesona kecantikan sang bidadari, aku bergerak cepat memungut kembar demi lembar kitab kuning yang berserakan. Menyusunnya tanpa memperhatikan urutannnya yang benar [ Kitab kuning biasanya terdiri dari lembar demi lembar yang tidak dibundel seperti halnya buku ], niatku hanya menjaga kitab kuning tersebut terinjak injak oleh para gadis yang sibuk memegang sang bidadari Ning Sarah itu nama yang sempat aku dengar. Itu artinya, gadis itu adalah putri Pak Kyai, nama yang sering aku dengar dari para santri yang memuji kecantikannya setinggi langit.
"Sudah, aku tidak apa apa. Kitabnya..!" Seru Ning Ishma menyadarkan ke tiga gadis yang berusaha menolongnya, sehingga mereka mengabaikan kitab yang berhamburan di lantai.
"Ini kitabnya, Ning..!" Aku segera mengantarkan kitab yang berhasil kumpulkan asal asalan, aku yakin posisinya tidak beraturan.
Ning Sarah menerima kitab yang aku angsurkan padanya, dengan cepat dia memeriksa urutan kitab kuning. Dahinya berkerut membuatnya terlihat semakin cantik. Ke tiga gadis itu merubah posisinya, mereka berjajar di belakang Ning Sarah.
"Urutannnya berantakan, harus disusun ulang." Gumam Ning Sarah, berbalik melihat ke arah tiga gadis yang berdiri di belakangnya.
"Maaf Ning, saya disuruh Nyai untuk menyiapkan jamuan untuk tamu Pak Yai. " Jawab salah seorang gadis, dia segera berbalik dan meninggalkan Ning Sarah yang belum sempat bicara mengutarakan niatnya, gadis itu sudah tahu apa yang diinginkan Ning Sarah.
"Iya, kami memang ditugaskan Nyai untuk menyiapkan jamuan." Jawab dua gadis lainnya, menyusun kitab pada tempatnya bukanlah pekerjaan yang menyenangkan apa lagi untuk para santriwati yang baru beberapa bulan mondok.
"Kamu..!" Seru Ning Sarah berbalik menatapku, jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat matanya yang berbinar seperti bintang menatapku.
"A...a....kuuuu...!" Jawabku terbata bata, tahu apa yang dimaksudnya. Menyusun kitab kembali pada urutannnya yang benar, bukan perkara yang sulit untukku. Ini seperti kejatuhan durian runtuh, aku dan Ning Sarah akan menyusunnya bersama sama. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengirimkan bidadari cantik atas semua jerih payahnya berjalan di jalanMu.
"Ya kamu, siapa namamu? Sepertinya kamu santri baru di sini, aku belum pernah melihatmu." Kata Ning Sarah, suaranya yang merdu mengalahkan para penyanyi profesional yang sering kudengar.
"Udddd.... Maksudnya, Baharuddin." Jawabku terbata bata, hampir saja mengatakan nama panggilanku Udin yang menurut K.H. Muntaha al-Hafizsl tidak sebagus nama asliku Baharuddin artinya Pemimpin agama/Islam.
"Oh, kamu harus menyusun kitab ini agar posisinya tepat. Setelah selesai bawa ke gedung perpustakaan." Kata Ning Sarah memberikan kitab kuning padaku, aku ragu menerimanya.
"Tap, tapi..!" Seruku kecewa, ternyata Ning Sarah menyuruhku menyusun kitab ini sendiri, bukan bersama sama melakukannya.
"Kamu yang membuat susunan kitab ini berantakan, jadi kamu juga yang harus menyusunnya kembali." Jawab Ning Sarah meninggalkanku.
"Bukan aku yang salah, aku hanya menolongku." Kataku jengkel, kecantikan Ning Sarah berbanding terbalik dengan akhlaknya. Dia begitu gampang menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahannya.
Ning Sarah berbalik mengahadapku, senyumnya yang tadi menawan dan membetot hatiku dalam sekejap berubah menjadi seringai licik karena berhasil menimpakan kesalahan padaku.
*************
Waduh, di mana kitab kuning itu? Perasaan tadi sore masih ada di atas lemari kecil berisi pakaian, siapa yang sudah mengambilnya tanpa seijin ku? Aku sengaja menyimpannya di atas lemari dan tidak tertarik untuk menyusun lembaran kitab sehingga utuh seperti sedia kala, sebagai bentuk pemberontakannya karena diperlakukan semena-mena oleh Ning Sarah. Mentang mentang anak Kyai, dia tidak bisa bertindak semaunya. Biar tahu rasa dia menungguku di perpustakaan, sementara aku tidak melakukan apa apa.
Sekarang kitab itu hilang, seringai licik Ning Sarah membayang di pelupuk mataku. Seringai itu berubah dalam sekejap, mulutnya terbuka dan memamerkan sepasang taring yang siap merobek robek tubuhku. Matanya yang berbinar seperti bintang, berubah menjadi merah mengobarkan kemarahan yang bisa menghanguskan hatiku. Celaka, urusan ini akan berbuntut panjang kalau sampai kitab kuning itu hilang
Mungkin kitab itu aku simpan dalam lemari, kataku menemukan secuil harapan sempat padam. Aku membuka pintu lemari, tidak ada kitab yang kucari. Mungkin ada di dalam tumpukan pakaianku walau mustahil, kitab itu cukup tebal dan jumlah pakaian milikku sedikit sehingga tidak menyembunyikan kitab yang kucari. Tidak ada salahnya mencoba, kukeluarkan semua isi almari tapi tetap nihil seperti dugaanku, apa yang harus kulakukan? Menggeledah semua lemari yang ada di dalam kamar ini? Bagaimana kalau yang punya lemari melihat dan menuduhku maling, urusannya akan semakin runyam.
“Kang, kamu kok malah di kamar, di dapur semua orang sibuk menyiapkan jamuan tamunya abah yai, kok. piye, to?” Kang Zuher menegurku ketika aku masih sibuk merapikan isi lemari yang baru saja aku acak acak.
“Oh nggeh, Kang … maaf saya lupa. Saya ke dapur sekarang.” jawabku segera memasukkan pakaianku asal asalan, nanti aku rapikan setelah bantu bantu di dapur.
"Eh Kang Zuber, tadi lihat kitab di sini ngikutin?" Tanyaku sebelum Kang Zuber meninggalkan ku.
"Aku nggak, lihat." Jawab Kang Zuber tanpa menoleh ke arahku. Kang Zuher keluar kamar sambil berdecak, ia santri paling senior di sini dan dianggap sebagai pemimpin para santri. Untuk menjaga wibawanya, Kang Zuber membuat dirinya menjadi galak agar ditakuti semua santri. Padahal tadi seharian aku ikut berkutat di dapur, menata jajanan basah, memasak air, mencuci piring, dan membeli bahan nasi kebuli di Pasar. Hingga akhirnya aku mengalami kejadian tadi dan menolong Ning Sarah, tapi Ning Sarah malah menimpakan semua kesalahannya padaku.
Musnalah harapanku, terpaksa nanti aku tanya ke semua penghuni kamar lainnya yang berjumlah lima orang termasuk aku. Aku yakin Ning Sarah tidak akan nekat mencariku dan menanyakan tugasku. Sebenarnya bukan tugasku, tapi tugasnya dengan cara zholim menimpakannya kepadaku. Untuk sementara aku aman karena punya alasan kuat untuk tidak segera melakukan tugas yang diberikan Ning Sarah.
“Din, tolong kuali besar bawa masuk ke dalam, terus masak air maneh, Din. Siapkan wedang kopi untuk para kyai di ndalem.” seru Kang Komar menyambut kedatanganku dengan instruksi, aku satu satunya orang yang tidak mengerjakan apa apa di dalam dapur besar.
“Oke siap, Kang.” jawabku bersemangat,mengantarkan Kopi tamu Pak Yai adalah salah satu cara untuk ngalap berkah, dan tujuanku mondok di tempat ini selain menimba ilmu juga untuk ngalap berkah para Kyai yang aku yakini mempunyai karomah.
Bersambung
Aku terpana melihat seorang gadis cantik berjalan sambil memeluk tumpukkan kitab yang cukup banyak, langkahnya pelan dan berhati hati agar tumpukan kitab kuning yang dibawanya tidak jatuh tercecer. Mataku tidak beranjak dari wajahnya yang cantik dan berkulit putih bersih, pipinya merona merah berseri seri. Ya Allah, di Pesantren yang terletak di Kota kecil ini ternyata ada bidadari yang membuat mataku tidak mampu berkedip.
"Innalilahi....!" Seru gadis itu membuatku sadar dengan apa yang terjadi, gadis itu tersandung dan tubuhnya terhuyung berusaha menjaga keseimbangannya. Tumpukan kitab yang dipeluknya jatuh berceceran tanpa dapat dicegah ya, gadis itu fokus menjaga keseimbangan tubuhnya dan melepaskan kitab kuning dalam pelukannya.
Aku terpaku menatap adegan yang terjadi di depanku, seperti patung.
"Ning Sarah,...!" Seru tiga gadis yang berhamburan menghampiri gadis cantik itu, mereka berebutan menolong gadis cantik itu dan tidak ada satupun yang berusaha memungut kitab kuning yang berhamburan di lantai.
"Astaghfirullah..!" Gumamku tersadar dari pesona kecantikan sang bidadari, aku bergerak cepat memungut kembar demi lembar kitab kuning yang berserakan. Menyusunnya tanpa memperhatikan urutannnya yang benar [ Kitab kuning biasanya terdiri dari lembar demi lembar yang tidak dibundel seperti halnya buku ], niatku hanya menjaga kitab kuning tersebut terinjak injak oleh para gadis yang sibuk memegang sang bidadari Ning Sarah itu nama yang sempat aku dengar. Itu artinya, gadis itu adalah putri Pak Kyai, nama yang sering aku dengar dari para santri yang memuji kecantikannya setinggi langit.
"Sudah, aku tidak apa apa. Kitabnya..!" Seru Ning Ishma menyadarkan ke tiga gadis yang berusaha menolongnya, sehingga mereka mengabaikan kitab yang berhamburan di lantai.
"Ini kitabnya, Ning..!" Aku segera mengantarkan kitab yang berhasil kumpulkan asal asalan, aku yakin posisinya tidak beraturan.
Ning Sarah menerima kitab yang aku angsurkan padanya, dengan cepat dia memeriksa urutan kitab kuning. Dahinya berkerut membuatnya terlihat semakin cantik. Ke tiga gadis itu merubah posisinya, mereka berjajar di belakang Ning Sarah.
"Urutannnya berantakan, harus disusun ulang." Gumam Ning Sarah, berbalik melihat ke arah tiga gadis yang berdiri di belakangnya.
"Maaf Ning, saya disuruh Nyai untuk menyiapkan jamuan untuk tamu Pak Yai. " Jawab salah seorang gadis, dia segera berbalik dan meninggalkan Ning Sarah yang belum sempat bicara mengutarakan niatnya, gadis itu sudah tahu apa yang diinginkan Ning Sarah.
"Iya, kami memang ditugaskan Nyai untuk menyiapkan jamuan." Jawab dua gadis lainnya, menyusun kitab pada tempatnya bukanlah pekerjaan yang menyenangkan apa lagi untuk para santriwati yang baru beberapa bulan mondok.
"Kamu..!" Seru Ning Sarah berbalik menatapku, jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat matanya yang berbinar seperti bintang menatapku.
"A...a....kuuuu...!" Jawabku terbata bata, tahu apa yang dimaksudnya. Menyusun kitab kembali pada urutannnya yang benar, bukan perkara yang sulit untukku. Ini seperti kejatuhan durian runtuh, aku dan Ning Sarah akan menyusunnya bersama sama. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengirimkan bidadari cantik atas semua jerih payahnya berjalan di jalanMu.
"Ya kamu, siapa namamu? Sepertinya kamu santri baru di sini, aku belum pernah melihatmu." Kata Ning Sarah, suaranya yang merdu mengalahkan para penyanyi profesional yang sering kudengar.
"Udddd.... Maksudnya, Baharuddin." Jawabku terbata bata, hampir saja mengatakan nama panggilanku Udin yang menurut K.H. Muntaha al-Hafizsl tidak sebagus nama asliku Baharuddin artinya Pemimpin agama/Islam.
"Oh, kamu harus menyusun kitab ini agar posisinya tepat. Setelah selesai bawa ke gedung perpustakaan." Kata Ning Sarah memberikan kitab kuning padaku, aku ragu menerimanya.
"Tap, tapi..!" Seruku kecewa, ternyata Ning Sarah menyuruhku menyusun kitab ini sendiri, bukan bersama sama melakukannya.
"Kamu yang membuat susunan kitab ini berantakan, jadi kamu juga yang harus menyusunnya kembali." Jawab Ning Sarah meninggalkanku.
"Bukan aku yang salah, aku hanya menolongku." Kataku jengkel, kecantikan Ning Sarah berbanding terbalik dengan akhlaknya. Dia begitu gampang menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahannya.
Ning Sarah berbalik mengahadapku, senyumnya yang tadi menawan dan membetot hatiku dalam sekejap berubah menjadi seringai licik karena berhasil menimpakan kesalahan padaku.
*************
Waduh, di mana kitab kuning itu? Perasaan tadi sore masih ada di atas lemari kecil berisi pakaian, siapa yang sudah mengambilnya tanpa seijin ku? Aku sengaja menyimpannya di atas lemari dan tidak tertarik untuk menyusun lembaran kitab sehingga utuh seperti sedia kala, sebagai bentuk pemberontakannya karena diperlakukan semena-mena oleh Ning Sarah. Mentang mentang anak Kyai, dia tidak bisa bertindak semaunya. Biar tahu rasa dia menungguku di perpustakaan, sementara aku tidak melakukan apa apa.
Sekarang kitab itu hilang, seringai licik Ning Sarah membayang di pelupuk mataku. Seringai itu berubah dalam sekejap, mulutnya terbuka dan memamerkan sepasang taring yang siap merobek robek tubuhku. Matanya yang berbinar seperti bintang, berubah menjadi merah mengobarkan kemarahan yang bisa menghanguskan hatiku. Celaka, urusan ini akan berbuntut panjang kalau sampai kitab kuning itu hilang
Mungkin kitab itu aku simpan dalam lemari, kataku menemukan secuil harapan sempat padam. Aku membuka pintu lemari, tidak ada kitab yang kucari. Mungkin ada di dalam tumpukan pakaianku walau mustahil, kitab itu cukup tebal dan jumlah pakaian milikku sedikit sehingga tidak menyembunyikan kitab yang kucari. Tidak ada salahnya mencoba, kukeluarkan semua isi almari tapi tetap nihil seperti dugaanku, apa yang harus kulakukan? Menggeledah semua lemari yang ada di dalam kamar ini? Bagaimana kalau yang punya lemari melihat dan menuduhku maling, urusannya akan semakin runyam.
“Kang, kamu kok malah di kamar, di dapur semua orang sibuk menyiapkan jamuan tamunya abah yai, kok. piye, to?” Kang Zuher menegurku ketika aku masih sibuk merapikan isi lemari yang baru saja aku acak acak.
“Oh nggeh, Kang … maaf saya lupa. Saya ke dapur sekarang.” jawabku segera memasukkan pakaianku asal asalan, nanti aku rapikan setelah bantu bantu di dapur.
"Eh Kang Zuber, tadi lihat kitab di sini ngikutin?" Tanyaku sebelum Kang Zuber meninggalkan ku.
"Aku nggak, lihat." Jawab Kang Zuber tanpa menoleh ke arahku. Kang Zuher keluar kamar sambil berdecak, ia santri paling senior di sini dan dianggap sebagai pemimpin para santri. Untuk menjaga wibawanya, Kang Zuber membuat dirinya menjadi galak agar ditakuti semua santri. Padahal tadi seharian aku ikut berkutat di dapur, menata jajanan basah, memasak air, mencuci piring, dan membeli bahan nasi kebuli di Pasar. Hingga akhirnya aku mengalami kejadian tadi dan menolong Ning Sarah, tapi Ning Sarah malah menimpakan semua kesalahannya padaku.
Musnalah harapanku, terpaksa nanti aku tanya ke semua penghuni kamar lainnya yang berjumlah lima orang termasuk aku. Aku yakin Ning Sarah tidak akan nekat mencariku dan menanyakan tugasku. Sebenarnya bukan tugasku, tapi tugasnya dengan cara zholim menimpakannya kepadaku. Untuk sementara aku aman karena punya alasan kuat untuk tidak segera melakukan tugas yang diberikan Ning Sarah.
“Din, tolong kuali besar bawa masuk ke dalam, terus masak air maneh, Din. Siapkan wedang kopi untuk para kyai di ndalem.” seru Kang Komar menyambut kedatanganku dengan instruksi, aku satu satunya orang yang tidak mengerjakan apa apa di dalam dapur besar.
“Oke siap, Kang.” jawabku bersemangat,mengantarkan Kopi tamu Pak Yai adalah salah satu cara untuk ngalap berkah, dan tujuanku mondok di tempat ini selain menimba ilmu juga untuk ngalap berkah para Kyai yang aku yakini mempunyai karomah.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved