Bab 3 Part 3
by Dinda Tirani
10:19,Apr 26,2024
Kubawa kuali besar itu masuk ke dapur dan jantungku mendadak berdebar kencang saat melihat ning Sarah berdiri dekat rak piring sedang berbincang dengan beberapa santri wanita. Sekilas dia melihat ke arahku dengan tatapan mata tajam menusuk hatiku. Tanpa sadar, aku membuang muka menghindari tatapan matanya yang tajam.
"Nab, nanti kamu bawa kitab yang tadi ke perpustakaan ya..!" Seru Ning Sarah dengan suara keras, refleks aku menoleh ke arah Ning Sarah yang berdiri dekat tempat cucian piring bersama dengan dua orang santriwati yang sedang sibuk mencuci perabot kotor. Wajahnya terlihat tegas menoleh ke arahku dengan pandangan tajam seperti sedang mengultimatum. Jelas, perkataannya ditunjukkan kepadaku yang baru saja masuk membawa kuali besar.
"Kitab yang mana, Ning?" Tanya Zaenab heran, tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan Ning Sarah. Sekilas aku lihat Ning Sarah mencubit perut Zaenab membuat gadis itu menjerit kaget.
Sekilas mata kami saling bertemu dan aku berusaha tersenyum untuk meluluhkan hatinya, perbuatan yang kuangggap sia sia melihat ekspresi wajahnya yang dingin. Come on, aku hanyalah manusia biasa yang juga ingin tersenyum ketika bersitatap dengan wanita yang pesonanya membuat hatiku berdesir. Apakah ini berdosa dan menyimpang dari tujuan awalnya yang datang untuk menuntut ilmu dan ngalap berkah para Kyai mempunyai karomah.
“Mbak Naima dan mbak Indah tolong kerjakan semuanya, saya harus ke dalam.!” kata Ning Sarah, suaranya terdengar tegas seperti Bu Nyai Aisyah ibunya.
Memang kata para santri yang sering aku dengar, ning Sarah terkenal garang dengan para santri. Apalagi kalau mereka sedang membuat ulah, tak segan ning Sarah memberi hukuman tanpa ada yang bisa mencegahnya. Dan, baru sekarang aku melihat gadis yang bernama Ning Sarah dengan tindak tanduknya. Dia seperti bidadari dengan sayap sayapnya yang terbuat dari besi dan siap mencabik cantik setiap tubuh yang berada dalam dekapannya.
Bagiku wanita seperti itu justru punya daya tarik tersendiri dan menjadi sebuah tantangan. Pas kalau ia kelak berjodoh menjadi istriku, aku jenis lelaki penyabar dan lemah lembut seperti Pak Yai. Lihatlah Pak Yai Nafi’ yang selalu bersabar menghadapi Bu Nyai Asiyah saat marah dan berbicara dengan nada tinggi. Abah hanya akan menanggapi dengan senyuman dan tatapan teduh. Bukankah itu sangat romantis? Begitu yang aku dengar dari para santri tentang K.H. Nafi" dan Ibu Nyai Aisyah istrinya.
“Bah, masa to ada tamu kok malah nangis gara-gara nunggu umi kelamaan nggak menemuinya di ruang tamu. Kan umi banyak urusan, harusnya dia sabar bukan malah nangis pas umi keluar menemui dia,” tak sengaja kudengar Ibu Nyai Aisyah curhat di ruang tamu saat aku hendak mengambil gelas-gelas kotor setelah para tamu Abah Yai Nafi' pulang.
“Siapa tamu itu, Umi?” tanya Abah Yai Nafi' kalem, suaranya terdengar sabar mendengarkan setiap kalimat dari Ibu Nyai Aisyah.
“Tadi sore Bah, ada wali santri yang sowan.”jawab Ibu Nyai Aisyah, baru kudengar nada suaranya yang lincah dan agak manja.
“Memangnya umi tidak tahu kalau ada tamu, kok lama keluarnya?” tanya Abah Yai Nafi', sabar.
“Ya tahu, tapi kan umi banyak kerjaan.” jawab Ibu Nyai Aisyah, merajuk manja membuatku hatiku berdesir mendengar suaranya. Benar, suara wanita seperti aurat yang bisa membangkitkan syahwat lawan jenisnya.
“Kerjaan apa?” tanya Abah Yai Nafi', dia melihat ke arahku yang sedang sibuk membereskan gelas gelas kotor dan piring piring yang masih terisi jajanan pasar suguhan untuk para tamu.
“Ya masak di dapur, menata baju di kamar, menyiapkan bahan ceramah besok, ya banyak lah, Bah,” jawab Ibu Nyai Aisyah tidak mau disalahkan, banyak alasan yang selalu digunakan untuk membela diri.
“Ya harusnya kalau tahu ada tamu segera temui, pekerjaan yang lain tinggal dulu. Suruh para santri dan santriwati untuk mengurus tamu. Tamu wajib kita hormati, mereka datang membawa rejeki dan pergi membawa bala’.” nasihat Abah Yai Nafi'lembut, nasihat yang tidak pernah bosan diberikannya kepada istri, anak dan semua orang yang ditemuinya.
“Iya tahu, tapi kan umi harus menyiapkan resep masakan. Anak anak pada belum mahir meracik bumbu kebuli, rasanya nanti beda." Jawab Ibu Nyai Aisyah, dia merajuk manja.
Ya Allah, aku ingin secepatnya pergi dari ruang tamu ini agar tidak mendengar suara Ibu Nyai Aisyah yang memancing syahwatku.
“Terus dari mana umi tahu tamu itu nangis gara-gara terlalu lama menunggu umi? Siapa tahu dia nangis karena kangen dengan anaknya.”tanya Abah Yai Nafi' seperti air sejuk yang membuat hatiku sedikit nyaman, mampu menentramkan syahwatku.
“Iya, si ibu-ibu itu bilang sambil tersedu-sedu, memang saya ini kebanyakan dosa nggeh, Bu nyai. Sehingga untuk bertemu wanita mulia seperti jenengan saja harus menunggu lama. Saya memang banyak dosa. Begitu, Bah.” jawab Ibu Nyai Aisyah diiringi suara kecil yang merdu kembali menggelitik syahwatku yang berontak semakin keras, aku menarik nafas panjang.
"Masak seperti, itu?" Tanya Abah Yai tertawa geli melihat tingkah Ibu Nyai Aisyah yang berubah menjadi kekanakan saat bicara padanya.
“Betul, Bah. Gemes aku, orang kok ndak sabaran.” jawab Ibu Nyai Aisyah, aku sempat melirik wajahnya dan menemukan wajah Ning Sarah di sana.
“Ssst … ndak boleh begitu. Jaga hati dari sifat riya dan ujung karena itu sifatnya syetan." Nasehat Abah Yai membuatku yang sejak tadi menguping jengah.
"Iya, Bah.""
"Apa tidak ada yang memberi tahu Umi, ada tamu?" Tanya Abah Yai Nafi', tersenyum.
“Ya sudah.” jawab Ibu Nyai Aisyah, dia melihat ke arahku bersamaan dengan aku yang menatap wajahnya diam diam. Ya Allah, Ibu Nyai Aisyah tersenyum ke arahku, jauh berbeda dengan Ning Sarah yang tidak pernah mau memamerkan senyumnya kepadaku
“Ngasih tahunya kapan?” tanya Abah Yai Nafi', dia seperti tahu arah lirikan mata Ibu Nyai Aisyah,dia melihat ke arahku. Jantungku serasa berhenti berdetak melihatnya.
“Sehabis salat duha.” Jawab Ibu Nyai Aisyah, menunduk malu menyadari kesalahannya.
“Umi keluarnya?” tanya Abah Yai.
“Habis asar.”
“Astaghfirullah … berarti seharian nunggu umi? Ya betul kalau sampai nangis. Jangan diulangi lagi, ya.” kata Abah Yai Nafi', sambil mengelus punggung Ibu Nyai Aisyah.
Iya maaf, Umi pikur tamu itu nemui anaknya dulu. Para santriwati juga sudah Umi suruh menyampaikan pesan supaya tamu itu istirahat dulu di kamar tamu. Eh, nggak tahunya malah setelah jamaah duhur masih di ruang tamu.” jawab Ibu Nyai Aisyah tidak mau kalah, suaranya agak meninggi dan meluluh lantakkan pertahanan ku yang berjuang menahan syahwat.
“Ya siapa tahu memang betul-betul kepingin ketemu umi. Jangan diulangi lagi nggeh, sayangku ….” kata Abah Yai, berusaha merayu membuatku merasa cemburu dengan kemesraan mereka.
“Mesti abah menyalahkan Umi, lebay lah orang seperti itu.” jawab Ibu Nyai Aisyah merajuk manja.
“Lhoo … abah tidak menyalahkan Umi. Wong diajari suaminya untuk lebih menghormati tamu kok dibilang menyalahkan, to." Jawab Abah Yai Nafi'sabar melihat tingkah Ibu Nyai Aisyah.
“Enggeh lah, enggeh.”
“Jangan kepaksa gitu enggehnya.”
“Inggeeeeh.”
Mendengar semua itu sekuat tenaga kusembunyikan senyum sambil berlalu menuju dapur. Pasangan seperti ini betul-betul saling melengkapi. Saling menasehati dalam kebaikan. Aku iri dan cemburu melihat mereka, entah aku akan bisa seperti mereka atau tidak.
"Mana kitabnya?" Tanya Ning Sarah berdiri menghadangku di depan pintu dapur.
Bersambung.
"Nab, nanti kamu bawa kitab yang tadi ke perpustakaan ya..!" Seru Ning Sarah dengan suara keras, refleks aku menoleh ke arah Ning Sarah yang berdiri dekat tempat cucian piring bersama dengan dua orang santriwati yang sedang sibuk mencuci perabot kotor. Wajahnya terlihat tegas menoleh ke arahku dengan pandangan tajam seperti sedang mengultimatum. Jelas, perkataannya ditunjukkan kepadaku yang baru saja masuk membawa kuali besar.
"Kitab yang mana, Ning?" Tanya Zaenab heran, tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan Ning Sarah. Sekilas aku lihat Ning Sarah mencubit perut Zaenab membuat gadis itu menjerit kaget.
Sekilas mata kami saling bertemu dan aku berusaha tersenyum untuk meluluhkan hatinya, perbuatan yang kuangggap sia sia melihat ekspresi wajahnya yang dingin. Come on, aku hanyalah manusia biasa yang juga ingin tersenyum ketika bersitatap dengan wanita yang pesonanya membuat hatiku berdesir. Apakah ini berdosa dan menyimpang dari tujuan awalnya yang datang untuk menuntut ilmu dan ngalap berkah para Kyai mempunyai karomah.
“Mbak Naima dan mbak Indah tolong kerjakan semuanya, saya harus ke dalam.!” kata Ning Sarah, suaranya terdengar tegas seperti Bu Nyai Aisyah ibunya.
Memang kata para santri yang sering aku dengar, ning Sarah terkenal garang dengan para santri. Apalagi kalau mereka sedang membuat ulah, tak segan ning Sarah memberi hukuman tanpa ada yang bisa mencegahnya. Dan, baru sekarang aku melihat gadis yang bernama Ning Sarah dengan tindak tanduknya. Dia seperti bidadari dengan sayap sayapnya yang terbuat dari besi dan siap mencabik cantik setiap tubuh yang berada dalam dekapannya.
Bagiku wanita seperti itu justru punya daya tarik tersendiri dan menjadi sebuah tantangan. Pas kalau ia kelak berjodoh menjadi istriku, aku jenis lelaki penyabar dan lemah lembut seperti Pak Yai. Lihatlah Pak Yai Nafi’ yang selalu bersabar menghadapi Bu Nyai Asiyah saat marah dan berbicara dengan nada tinggi. Abah hanya akan menanggapi dengan senyuman dan tatapan teduh. Bukankah itu sangat romantis? Begitu yang aku dengar dari para santri tentang K.H. Nafi" dan Ibu Nyai Aisyah istrinya.
“Bah, masa to ada tamu kok malah nangis gara-gara nunggu umi kelamaan nggak menemuinya di ruang tamu. Kan umi banyak urusan, harusnya dia sabar bukan malah nangis pas umi keluar menemui dia,” tak sengaja kudengar Ibu Nyai Aisyah curhat di ruang tamu saat aku hendak mengambil gelas-gelas kotor setelah para tamu Abah Yai Nafi' pulang.
“Siapa tamu itu, Umi?” tanya Abah Yai Nafi' kalem, suaranya terdengar sabar mendengarkan setiap kalimat dari Ibu Nyai Aisyah.
“Tadi sore Bah, ada wali santri yang sowan.”jawab Ibu Nyai Aisyah, baru kudengar nada suaranya yang lincah dan agak manja.
“Memangnya umi tidak tahu kalau ada tamu, kok lama keluarnya?” tanya Abah Yai Nafi', sabar.
“Ya tahu, tapi kan umi banyak kerjaan.” jawab Ibu Nyai Aisyah, merajuk manja membuatku hatiku berdesir mendengar suaranya. Benar, suara wanita seperti aurat yang bisa membangkitkan syahwat lawan jenisnya.
“Kerjaan apa?” tanya Abah Yai Nafi', dia melihat ke arahku yang sedang sibuk membereskan gelas gelas kotor dan piring piring yang masih terisi jajanan pasar suguhan untuk para tamu.
“Ya masak di dapur, menata baju di kamar, menyiapkan bahan ceramah besok, ya banyak lah, Bah,” jawab Ibu Nyai Aisyah tidak mau disalahkan, banyak alasan yang selalu digunakan untuk membela diri.
“Ya harusnya kalau tahu ada tamu segera temui, pekerjaan yang lain tinggal dulu. Suruh para santri dan santriwati untuk mengurus tamu. Tamu wajib kita hormati, mereka datang membawa rejeki dan pergi membawa bala’.” nasihat Abah Yai Nafi'lembut, nasihat yang tidak pernah bosan diberikannya kepada istri, anak dan semua orang yang ditemuinya.
“Iya tahu, tapi kan umi harus menyiapkan resep masakan. Anak anak pada belum mahir meracik bumbu kebuli, rasanya nanti beda." Jawab Ibu Nyai Aisyah, dia merajuk manja.
Ya Allah, aku ingin secepatnya pergi dari ruang tamu ini agar tidak mendengar suara Ibu Nyai Aisyah yang memancing syahwatku.
“Terus dari mana umi tahu tamu itu nangis gara-gara terlalu lama menunggu umi? Siapa tahu dia nangis karena kangen dengan anaknya.”tanya Abah Yai Nafi' seperti air sejuk yang membuat hatiku sedikit nyaman, mampu menentramkan syahwatku.
“Iya, si ibu-ibu itu bilang sambil tersedu-sedu, memang saya ini kebanyakan dosa nggeh, Bu nyai. Sehingga untuk bertemu wanita mulia seperti jenengan saja harus menunggu lama. Saya memang banyak dosa. Begitu, Bah.” jawab Ibu Nyai Aisyah diiringi suara kecil yang merdu kembali menggelitik syahwatku yang berontak semakin keras, aku menarik nafas panjang.
"Masak seperti, itu?" Tanya Abah Yai tertawa geli melihat tingkah Ibu Nyai Aisyah yang berubah menjadi kekanakan saat bicara padanya.
“Betul, Bah. Gemes aku, orang kok ndak sabaran.” jawab Ibu Nyai Aisyah, aku sempat melirik wajahnya dan menemukan wajah Ning Sarah di sana.
“Ssst … ndak boleh begitu. Jaga hati dari sifat riya dan ujung karena itu sifatnya syetan." Nasehat Abah Yai membuatku yang sejak tadi menguping jengah.
"Iya, Bah.""
"Apa tidak ada yang memberi tahu Umi, ada tamu?" Tanya Abah Yai Nafi', tersenyum.
“Ya sudah.” jawab Ibu Nyai Aisyah, dia melihat ke arahku bersamaan dengan aku yang menatap wajahnya diam diam. Ya Allah, Ibu Nyai Aisyah tersenyum ke arahku, jauh berbeda dengan Ning Sarah yang tidak pernah mau memamerkan senyumnya kepadaku
“Ngasih tahunya kapan?” tanya Abah Yai Nafi', dia seperti tahu arah lirikan mata Ibu Nyai Aisyah,dia melihat ke arahku. Jantungku serasa berhenti berdetak melihatnya.
“Sehabis salat duha.” Jawab Ibu Nyai Aisyah, menunduk malu menyadari kesalahannya.
“Umi keluarnya?” tanya Abah Yai.
“Habis asar.”
“Astaghfirullah … berarti seharian nunggu umi? Ya betul kalau sampai nangis. Jangan diulangi lagi, ya.” kata Abah Yai Nafi', sambil mengelus punggung Ibu Nyai Aisyah.
Iya maaf, Umi pikur tamu itu nemui anaknya dulu. Para santriwati juga sudah Umi suruh menyampaikan pesan supaya tamu itu istirahat dulu di kamar tamu. Eh, nggak tahunya malah setelah jamaah duhur masih di ruang tamu.” jawab Ibu Nyai Aisyah tidak mau kalah, suaranya agak meninggi dan meluluh lantakkan pertahanan ku yang berjuang menahan syahwat.
“Ya siapa tahu memang betul-betul kepingin ketemu umi. Jangan diulangi lagi nggeh, sayangku ….” kata Abah Yai, berusaha merayu membuatku merasa cemburu dengan kemesraan mereka.
“Mesti abah menyalahkan Umi, lebay lah orang seperti itu.” jawab Ibu Nyai Aisyah merajuk manja.
“Lhoo … abah tidak menyalahkan Umi. Wong diajari suaminya untuk lebih menghormati tamu kok dibilang menyalahkan, to." Jawab Abah Yai Nafi'sabar melihat tingkah Ibu Nyai Aisyah.
“Enggeh lah, enggeh.”
“Jangan kepaksa gitu enggehnya.”
“Inggeeeeh.”
Mendengar semua itu sekuat tenaga kusembunyikan senyum sambil berlalu menuju dapur. Pasangan seperti ini betul-betul saling melengkapi. Saling menasehati dalam kebaikan. Aku iri dan cemburu melihat mereka, entah aku akan bisa seperti mereka atau tidak.
"Mana kitabnya?" Tanya Ning Sarah berdiri menghadangku di depan pintu dapur.
Bersambung.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved