Bab 16 Didalam Mimpi Suara Dia
by Mia Chelsey
18:49,Feb 18,2020
Jadi, semuanya ini hanya halusinasi, Amelia memejamkan mata, tidak tahu air mata kembali mengalir dari kedua matanya.
Tidak tahu berapa lama, telinganya kembali mendengar suara pertanyaan yang panik.
"Dia bagaimana?"
"Sebenarnya bagaimana keadaan dia?"
"Apa sangat bahaya? Cepat katakan!"
Pertanyaan demi pertanyaan terdengar sangat panik sekali, dalam keadaan setengah sadar dia dapat mengenali itu suara Steven.
Apa Steven sudah kembali? Dia bertanya dengan begitu panik, takut Amelia dalam masalah, mempedulikan Amelia?
"Kamu bangun! Kamu cepat bangun! Kenapa masih tidak bangun?" Amelia merasa tangannya dipegang oleh sepasang tangan yang lembut dan hangat, seperti menghilangkan kedinginan dari seluruh tubuhnya.
Steven tidak mungkin bersikap lembut seperti ini terhadapnya, itu pasti tangan Jefferson, hanya Jefferson yang begitu memperhatikan dia, pasti. Dengan berpikir seperti ini, sepertinya punggungnya juga ikut terasa hangat, seperti sedang dipeluk.
Amelia belum mati, benarkah? Dunia setelah mati pasti lebih dingin lebih hitam, sedangkan dia dapat merasakan kehangatan.
Tidak tahu sudah berlalu berapa lama, dalam ketidaksadarannya, langit seperti kembali hitam, dia sedang berusaha berlari di sebuah area villa. Kemudian, dia melihat seorang lelaki, lelaki itu berbaring diatas rumput, tidak bergerak.
Siapa lelaki itu? Apa ini mimpi? Bukan, dia merasa bukan, ini nyata...... Sakit kepala, sakitnya seperti mau meledak.
"Kamu sudah sadar?" Amelia mendengar suara laki-laki, perlahan membuka mata, melihat diatas kepalanya tergantung infus.
Membalikkan kepala, melihat Sonny duduk di samping ranjang.
Dia berusaha sekuat tenaga melihat ke seluruh ruangan, bahkan dirinya sendiri juga tidak tahu sedang mencari apa.
"Hanya ada aku sendiri disini, direktur Steven belum kembali. Sekarang apa kamu merasa lebih baik?" Nada suara Sonny sedikit dingin, Amelia tidak tahu kenapa dia bersikap seperti itu.
"Oh!" Di dalam hatinya sepertinya sedikit kecewa.
"Ini rumah sakit? Kenapa aku bisa ada disini?" Amelia bertanya, suaranya masih serak.
"Mamamu menelepon aku, aku baru tahu kamu sakit, aku yang membawamu kesini." Sonny menjelaskan, menaikkan alis, Amelia dapat dengan jelas merasakan dia tidak sabar.
"Maaf, sudah merepotkan kamu."
"Aku sebenarnya tidak takut repot, tapi kenapa kamu sengaja menggunakan cara ini ingin menghalangi mereka pergi berbulan madu, sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali bagimu." Apa? Amelia yang masih demam terpaku sebentar baru mengerti maksud ucapan ini.
Pantas saja sikapnya begitu buruk, ternyata ini yang sedang dia pikirkan. Tidak perlu dikatakan, atasannya pasti juga berpikir seperti itu.
Masih berharap dia datang dan memberikan perhatian? Sungguh sebuah lelucon, Amelia menertawakan dirinya sendiri.
Dia tidak ingin menjelaskan, lebih baik Steven mengira dia orang yang buruk, agar dia lebih merasa Laura imut.
Bibir pecah yang tertutup, Amelia terdiam. Memejamkan mata, mengingat potongan memori dalam otaknya, sebenarnya siapa lelaki yang berbaring diatas lapangan rumput itu? Area villa...... Apa itu area villa di selatan kota yang Kak Harry katakan? Berpikir sampai disini, kepalanya kembali sakit, dia hanya bisa berhenti memikirkannya.
Suara langkah kaki makin mendekat dari kejauhan, dia membuka mata dengan secuil penantian, tapi yang dia lihat seorang ibu setengah baya berjalan sampai ke sampingnya, membungkukkan badan melihat dia.
"Kamu siapa?" Amelia bertanya, orang ini, tidak pernah dilihatnya.
Ibu setengah baya itu tersenyum memiringkan alis, terkejut dan berkata: "Nona Amelia, akhirnya kamu sadar, tuan Steven......"
"Uhuk uhuk!" Sonny tiba-tiba batuk, ibu setengah baya terkejut, mengganti topik.
"Bagus kalau kamu sudah sadar, ingin makan apa?"
"Kamu siapa?"
"Dia orang yang diutus direktur Steven untuk menjagamu, namanya Bibi Lena, kalau kamu sudah sembuh nanti, dia akan ikut pulang ke apartemen. Direktur Steven meminta aku menyampaikan kepadamu, jangan mengira dia berbuat seperti ini karena perhatian takut kamu sakit, hanya ingin ada orang yang menjagamu, agar kamu tidak merepotkan dia."
Amelia diam-diam melirik Sonny, ekspresinya datar, membuka mulut dengan datar.
"Bantu aku juga, sampaikan ke Steven, aku sama sekali tidak pernah merasa dia perhatian padaku. Statusku apa, aku sendiri tahu dengan jelas."
Bibi Lena menaikkan alis, tidak mengerti kenapa tuan Steven bisa berkata seperti ini. Aduh, mungkin masalah orang kaya memang susah dimengerti, dia juga tidak mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, lebih baik diam dan banyak bekerja.
"Baguslah kalau tahu!" Sonny juga dengan dingin menjawabnya, nada suaranya sama dengan Steven.
Setengah bulan berikutnya, Sonny dan Bibi Lena terus berada di rumah sakit menjaga Amelia. Dia karena demam terlalu lama, terkena radang paru-paru yang parah, dokter mengatakan, kalau terlambat sedikit maka nyawanya akan melayang.
Amelia berpikir, dia sepertinya sudah cukup menerima hukuman, mulai sekarang akan hidup dengan baik demi orangtuanya.
Bibi Lena orang yang teliti, cekatan, makanan yang dimasak juga enak.
Setiap hari, Amelia memaksa dirinya makan sedikit, setengah bulan kemudian dia sembuh dan kembali ke apartemen, Sonny tidak lagi menemani.
Amelia berpikir, Sonny mungkin pergi menyusul Steven, biasanya dia jarang tidak berada di sisi Steven.
Setelah kembali ke apartemen, mengisi batere telepon, ada banyak notifikasi, dari keluarganya.
Di kotak masuk ada beberapa pesan belum dibaca, semuanya pesan yang dikirim Laura, setiap pesan ada foto bersama dia dan Steven.
Selain pergi ke Maldives, mereka masih pergi ke tempat yang lain, pasti sangat senang.
Melihat foto mereka sekian lama, tiba-tiba teringat, tidak boleh menghabiskan waktu dan tenaga, di depan matanya bukankah foto Steven?
Berpikir sampai disini, Amelia bangun beranjak dari kasur merapikan diri, menelepon kak Harry dan mengajaknya bertemu.
"Nona Amelia, nona mau pergi kemana? Masih belum sembuh betul, lebih baik jangan pergi keluar." Bibi Lena bertanya.
"Bosan sudah lama disini, bibi Lena, kalau Steven atau Sonny menanyakan aku, bilang aku pulang ke rumah, mamaku sangat mengkhawatirkan aku."
"Baik, kapan kamu akan kembali?"
"Aku kembali setelah makan malam di rumah mamaku, kamu juga sudah capek menjagaku sekian lama, pulang saja dulu." Amelia tahu bibi Lena diperintah mengawasi dia, merasa tidak bebas, ingin mencari kesempatan keluar mencari angin.
"Aku tidak bisa pulang, nanti dipotong gaji." Bibi Lena berkata dengan suara kecil.
"Aku akan membantumu bicara pada Steven, kamu pulang saja."
"Jangan jangan, kamu jangan bilang, aku tidak ingin dipecat karena pulang ke rumah."
"Baiklah, tunggu saat dia kembali aku akan bicara padanya memberimu libur." Amelia tidak berani menjamin apa yang akan Steven lakukan, tidak ingin karena tindakannya membuat bibi Lena dipecat.
Keluar dari rumah lalu menelepon mamanya memberi kabar kalau dia baik-baik saja, karena tidak ada Sonny yang ikut, saat kembali ke rumah dia kembali menerima berbagai pertanyaan, hanya bisa menjawab Sonny tidak bisa ikut pulang.
Amelia bertemu dengan kak Harry di tempat yang sudah mereka tentukan, mengeluarkan foto Steven dan Laura untuk diperlihatkan padanya.
"Kak Harry, saat hari aku kecelakaan mobil, apa lelaki ini yang memanggilku Amel?"
Selesai bertanya, hati Amelia menjadi sangat tegang, menatap mata kak Harry, rasanya seperti lupa bernafas.
"Bukan!" Kak Harry melihat dengan teliti, berkata dengan yakin.
"Kamu lihat lagi dengan teliti, tidak ada alasan bukan dia!"
"Aku tidak mungkin salah melihat, pasti bukan! Orang itu tidak setampan dirinya, matanya juga lebih besar." Kak Harry kembali mengingat.
Amelia berusaha mencari bayangan orang yang digambarkan Kak Harry dalam pikirannya, namun tidak peduli bagaimana juga dia tidak ingat.
Lagipula orang itu bukan poin penting yang dia inginkan, yang paling dia ingin tahu, antara Steven dan dirinya dulu sebenarnya ada kesalahpahaman apa.
"Kak Harry, apa kamu ingat menabrak aku di area villa selatan kota bagian mana? Disekitarnya apa ada sebuah lapangan rumput besar? Sebuah bukit, diatasnya ada lapangan rumput?"
"Bagaimana kamu bisa tahu?" Kak Harry terkejut dan bertanya.
"Kamu sudah ingat semuanya?"
Tidak tahu berapa lama, telinganya kembali mendengar suara pertanyaan yang panik.
"Dia bagaimana?"
"Sebenarnya bagaimana keadaan dia?"
"Apa sangat bahaya? Cepat katakan!"
Pertanyaan demi pertanyaan terdengar sangat panik sekali, dalam keadaan setengah sadar dia dapat mengenali itu suara Steven.
Apa Steven sudah kembali? Dia bertanya dengan begitu panik, takut Amelia dalam masalah, mempedulikan Amelia?
"Kamu bangun! Kamu cepat bangun! Kenapa masih tidak bangun?" Amelia merasa tangannya dipegang oleh sepasang tangan yang lembut dan hangat, seperti menghilangkan kedinginan dari seluruh tubuhnya.
Steven tidak mungkin bersikap lembut seperti ini terhadapnya, itu pasti tangan Jefferson, hanya Jefferson yang begitu memperhatikan dia, pasti. Dengan berpikir seperti ini, sepertinya punggungnya juga ikut terasa hangat, seperti sedang dipeluk.
Amelia belum mati, benarkah? Dunia setelah mati pasti lebih dingin lebih hitam, sedangkan dia dapat merasakan kehangatan.
Tidak tahu sudah berlalu berapa lama, dalam ketidaksadarannya, langit seperti kembali hitam, dia sedang berusaha berlari di sebuah area villa. Kemudian, dia melihat seorang lelaki, lelaki itu berbaring diatas rumput, tidak bergerak.
Siapa lelaki itu? Apa ini mimpi? Bukan, dia merasa bukan, ini nyata...... Sakit kepala, sakitnya seperti mau meledak.
"Kamu sudah sadar?" Amelia mendengar suara laki-laki, perlahan membuka mata, melihat diatas kepalanya tergantung infus.
Membalikkan kepala, melihat Sonny duduk di samping ranjang.
Dia berusaha sekuat tenaga melihat ke seluruh ruangan, bahkan dirinya sendiri juga tidak tahu sedang mencari apa.
"Hanya ada aku sendiri disini, direktur Steven belum kembali. Sekarang apa kamu merasa lebih baik?" Nada suara Sonny sedikit dingin, Amelia tidak tahu kenapa dia bersikap seperti itu.
"Oh!" Di dalam hatinya sepertinya sedikit kecewa.
"Ini rumah sakit? Kenapa aku bisa ada disini?" Amelia bertanya, suaranya masih serak.
"Mamamu menelepon aku, aku baru tahu kamu sakit, aku yang membawamu kesini." Sonny menjelaskan, menaikkan alis, Amelia dapat dengan jelas merasakan dia tidak sabar.
"Maaf, sudah merepotkan kamu."
"Aku sebenarnya tidak takut repot, tapi kenapa kamu sengaja menggunakan cara ini ingin menghalangi mereka pergi berbulan madu, sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali bagimu." Apa? Amelia yang masih demam terpaku sebentar baru mengerti maksud ucapan ini.
Pantas saja sikapnya begitu buruk, ternyata ini yang sedang dia pikirkan. Tidak perlu dikatakan, atasannya pasti juga berpikir seperti itu.
Masih berharap dia datang dan memberikan perhatian? Sungguh sebuah lelucon, Amelia menertawakan dirinya sendiri.
Dia tidak ingin menjelaskan, lebih baik Steven mengira dia orang yang buruk, agar dia lebih merasa Laura imut.
Bibir pecah yang tertutup, Amelia terdiam. Memejamkan mata, mengingat potongan memori dalam otaknya, sebenarnya siapa lelaki yang berbaring diatas lapangan rumput itu? Area villa...... Apa itu area villa di selatan kota yang Kak Harry katakan? Berpikir sampai disini, kepalanya kembali sakit, dia hanya bisa berhenti memikirkannya.
Suara langkah kaki makin mendekat dari kejauhan, dia membuka mata dengan secuil penantian, tapi yang dia lihat seorang ibu setengah baya berjalan sampai ke sampingnya, membungkukkan badan melihat dia.
"Kamu siapa?" Amelia bertanya, orang ini, tidak pernah dilihatnya.
Ibu setengah baya itu tersenyum memiringkan alis, terkejut dan berkata: "Nona Amelia, akhirnya kamu sadar, tuan Steven......"
"Uhuk uhuk!" Sonny tiba-tiba batuk, ibu setengah baya terkejut, mengganti topik.
"Bagus kalau kamu sudah sadar, ingin makan apa?"
"Kamu siapa?"
"Dia orang yang diutus direktur Steven untuk menjagamu, namanya Bibi Lena, kalau kamu sudah sembuh nanti, dia akan ikut pulang ke apartemen. Direktur Steven meminta aku menyampaikan kepadamu, jangan mengira dia berbuat seperti ini karena perhatian takut kamu sakit, hanya ingin ada orang yang menjagamu, agar kamu tidak merepotkan dia."
Amelia diam-diam melirik Sonny, ekspresinya datar, membuka mulut dengan datar.
"Bantu aku juga, sampaikan ke Steven, aku sama sekali tidak pernah merasa dia perhatian padaku. Statusku apa, aku sendiri tahu dengan jelas."
Bibi Lena menaikkan alis, tidak mengerti kenapa tuan Steven bisa berkata seperti ini. Aduh, mungkin masalah orang kaya memang susah dimengerti, dia juga tidak mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, lebih baik diam dan banyak bekerja.
"Baguslah kalau tahu!" Sonny juga dengan dingin menjawabnya, nada suaranya sama dengan Steven.
Setengah bulan berikutnya, Sonny dan Bibi Lena terus berada di rumah sakit menjaga Amelia. Dia karena demam terlalu lama, terkena radang paru-paru yang parah, dokter mengatakan, kalau terlambat sedikit maka nyawanya akan melayang.
Amelia berpikir, dia sepertinya sudah cukup menerima hukuman, mulai sekarang akan hidup dengan baik demi orangtuanya.
Bibi Lena orang yang teliti, cekatan, makanan yang dimasak juga enak.
Setiap hari, Amelia memaksa dirinya makan sedikit, setengah bulan kemudian dia sembuh dan kembali ke apartemen, Sonny tidak lagi menemani.
Amelia berpikir, Sonny mungkin pergi menyusul Steven, biasanya dia jarang tidak berada di sisi Steven.
Setelah kembali ke apartemen, mengisi batere telepon, ada banyak notifikasi, dari keluarganya.
Di kotak masuk ada beberapa pesan belum dibaca, semuanya pesan yang dikirim Laura, setiap pesan ada foto bersama dia dan Steven.
Selain pergi ke Maldives, mereka masih pergi ke tempat yang lain, pasti sangat senang.
Melihat foto mereka sekian lama, tiba-tiba teringat, tidak boleh menghabiskan waktu dan tenaga, di depan matanya bukankah foto Steven?
Berpikir sampai disini, Amelia bangun beranjak dari kasur merapikan diri, menelepon kak Harry dan mengajaknya bertemu.
"Nona Amelia, nona mau pergi kemana? Masih belum sembuh betul, lebih baik jangan pergi keluar." Bibi Lena bertanya.
"Bosan sudah lama disini, bibi Lena, kalau Steven atau Sonny menanyakan aku, bilang aku pulang ke rumah, mamaku sangat mengkhawatirkan aku."
"Baik, kapan kamu akan kembali?"
"Aku kembali setelah makan malam di rumah mamaku, kamu juga sudah capek menjagaku sekian lama, pulang saja dulu." Amelia tahu bibi Lena diperintah mengawasi dia, merasa tidak bebas, ingin mencari kesempatan keluar mencari angin.
"Aku tidak bisa pulang, nanti dipotong gaji." Bibi Lena berkata dengan suara kecil.
"Aku akan membantumu bicara pada Steven, kamu pulang saja."
"Jangan jangan, kamu jangan bilang, aku tidak ingin dipecat karena pulang ke rumah."
"Baiklah, tunggu saat dia kembali aku akan bicara padanya memberimu libur." Amelia tidak berani menjamin apa yang akan Steven lakukan, tidak ingin karena tindakannya membuat bibi Lena dipecat.
Keluar dari rumah lalu menelepon mamanya memberi kabar kalau dia baik-baik saja, karena tidak ada Sonny yang ikut, saat kembali ke rumah dia kembali menerima berbagai pertanyaan, hanya bisa menjawab Sonny tidak bisa ikut pulang.
Amelia bertemu dengan kak Harry di tempat yang sudah mereka tentukan, mengeluarkan foto Steven dan Laura untuk diperlihatkan padanya.
"Kak Harry, saat hari aku kecelakaan mobil, apa lelaki ini yang memanggilku Amel?"
Selesai bertanya, hati Amelia menjadi sangat tegang, menatap mata kak Harry, rasanya seperti lupa bernafas.
"Bukan!" Kak Harry melihat dengan teliti, berkata dengan yakin.
"Kamu lihat lagi dengan teliti, tidak ada alasan bukan dia!"
"Aku tidak mungkin salah melihat, pasti bukan! Orang itu tidak setampan dirinya, matanya juga lebih besar." Kak Harry kembali mengingat.
Amelia berusaha mencari bayangan orang yang digambarkan Kak Harry dalam pikirannya, namun tidak peduli bagaimana juga dia tidak ingat.
Lagipula orang itu bukan poin penting yang dia inginkan, yang paling dia ingin tahu, antara Steven dan dirinya dulu sebenarnya ada kesalahpahaman apa.
"Kak Harry, apa kamu ingat menabrak aku di area villa selatan kota bagian mana? Disekitarnya apa ada sebuah lapangan rumput besar? Sebuah bukit, diatasnya ada lapangan rumput?"
"Bagaimana kamu bisa tahu?" Kak Harry terkejut dan bertanya.
"Kamu sudah ingat semuanya?"
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved