Bab 19 Jangan Sampai Menyesal
by Mia Chelsey
18:53,Feb 18,2020
Meskipun tidak berharap bisa kembali berada di sisinya, tapi juga tidak ingin melihat diri sendiri sampai seperti ini, ini sebuah hinaan bagi dia.
air mata tanpa suara tidak berhenti jatuh ke bawah, jatuh bersamaan dengan air yang juga mengalir ke bawah, mata yang kabur, makin membasahi hati ini.
Tangan kecil menggosok seluruh tubuh, kalimatnya terus terngiang di dalam otak, dia menggigit bibirnya memaksa dirinya sendiri untuk tidak memikirkannya.
Steven bukan manusia, dia monster, untuk apa memikirkan perkataannya.
"Peng peng peng!" Steven mengetuk pintu kamar mandi, sangat terburu-buru, terlihat sangat tidak sabar.
"Buka pintu! Aku mau mandi!" Steven berkata dengan dingin.
Amelia mematikan air, Steven berdiri di depan pintu, melihat Amelia dari atas ke bawah berulang beberapa kali. Tidak apa-apa, dikira Amelia akan melakukan hal yang aneh-aneh.
Steven tidak membawa baju ganti, untuk apa buru-buru mengetuk pintu? Orang ini memang sakit!
"Kenapa kamu tidak memakai baju tidur yang aku belikan untukmu?" Steven mengerutkan alis, bertanya dengan tidak senang.
"Aku tidak akan menggunakan barang milikmu." Selesai mengucapkan kalimat ini, berjalan melewati dia, ingin keluar.
"Sayang, aku sedang mengungkapkan isi hatiku. Kamu tahu tidak, berpisah begini lama aku sangat merindukan……" Steven menarik Amelia.
“Laura bagus dalam segalanya, hanya saja tubuhnya tidak semenarik tubuhmu。”
“Kamu sangat memalukan! Lepaskan aku!"
Yang Steven katakan seperti bukan perkataan manusia, Amelia menggertakkan gigi benci sekali dengannya, tapi masih tidak bisa lepas darinya.
Kebenciannya membuat Amelia lupa siapa Steven, juga tidak takut lagi dengannya, dengan kasar menggigit lengannya.
"Sih" Steven melepaskan dia.
"Kamu tidak boleh mempermalukan Laura!"
"Aku tidak mempermalukan dia, yang aku katakan itu yang sebenarnya, apa kamu tidak tahu dadanya rata?" Berkata dengan wajah polos, sengaja membuat Amelia marah.
Tidak suka melihat ekspresi Amelia yang dingin, seperti patung yang tidak memiliki jiwa, masih lebih baik melihat dia marah, paling tidak membuktikan dia bisa mempengaruhi suasana hati Amelia.
"Seharusnya aku merekam perkataanmu ini, biar Laura mendengarkan, agar dia tahu siapa kamu sebenarnya."
"Ayo, sayang, aku bantu kamu." Selesai berbicara, menggendong dia, dengan langkah besar berjalan menuju kamar tidur.
"Turunkan aku! Jangan sentuh aku!"
"Tidak mau!"
Amelia berusaha menendang-nendang tapi masih tidak bisa menghalangi langkah kakinya, meletakkan Amelia diatas kasur, dia mengeluarkan telepon genggam dari saku jasnya, menekan beberapa tombol.
"Sayang, aku sudah buka rekaman suaranya, kamu minta aku mengatakan apa aku akan menurut, selesai merekam kamu kirim ke dia."
"Kamu……" Amelia tidak menyangka dia bisa memalukan sampai tahap ini, jelas-jelas tahu Amelia tidak akan mengirim, sengaja? Memaksa agar dirinya marah, tidak boleh karena perkataannya menjadi marah seperti ini, harus tetap tenang.
Bangkit dan duduk di kasur, menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, ternyata bisa lebih baik, baru bisa berkata dengan tenang.
"Tidak takut Laura mengetahui hubungan kita? Tidak takut topengmu yang memalukan itu terbuka, membuat dia membencimu, meninggalkanmu?"
"Kalau Laura seperti kamu begini bagaimana bisa menjadi istriku? Percaya denganku, toleransi dia sangat besar dari yang kamu bayangkan. Kalau seandainya dia tahu hubungan kita, dia juga akan membujuk kamu agar menjadi istri keduaku. Kalau kamu tidak percaya, aku sekarang menelepon memberitahu dia.
"Tidak mungkin! Sejak kecil Laura memiliki imajinasi yang tinggi terhadap cinta, sama sekali tidak mungkin dia bisa toleransi." Amelia berkata dengan semangat.
"Sepertinya kamu benar-benar tidak percaya, aku buktikan ke kamu."
Steven membuka kontak di telepon genggamnya, mencari kontak dengan nama "Istriku Tersayang" kemudian meneleponnya.
"Jangan telepon! Jangan telepon dia!" Amelia cemas, menarik lengannya, tapi sudah terlambat.
Loudspeaker di telepon genggamnya sudah terdengar suara Laura: "Suamiku tersayang!"
"Laura, aku di luar……" ada perempuan lain.
Steven melihat Amelia, dia sekuat tenaga menggelengkan kepala, wajahnya dipenuhi dengan rasa memohon. Terlihat jelas sedang memohon kepadanya, jangan memberitahu Laura, mohon padamu.
Tatapan matanya menyedihkan, tangan kecilnya yang memegang pergelangan tangan Steven terus digerakkan, air matanya sudah hampir menetes.
"Di luar ya? Nanti makan malam di rumah tidak?" Laura bertanya.
"Aku……" Steven hanya mengeluarkan satu kata, Amelia menutup matanya, air matanya menetes. Mulai saat ini dan seterusnya, sahabat baiknya akan selamanya membenci dia.
Steven sama sekali tidak bermaksud memberitahu Laura, hanya ingin menakuti Amelia, melihat Amelia benar-benar ketakutan, sudut mulut Steven naik.
"Tidak pulang, makan di rumah teman, sampai jumpa sayang!" Steven berkata dengan suara yang lembut.
"Sampai jumpa, suamiku tersayang!" Laura berkata dengan manis, menutup telepon.
Amelia menghela nafas lega, melepaskan pergelangan tangannya, seperti baru saja bertarung dengan hebat, tidak bertenaga kembali berbaring.
"Ingat, kamu berhutang padaku. Lain kali jangan main-main denganku, kalau tidak aku kebebasanmu akan lebih berkurang lagi." Steven melemparkan telepon genggamnya ke samping, membalikkan badan berbicara sambil melihat dia.
"Sesuatu yang kecil, aku akan terus menerus mengontrol kamu, selamanya kamu tidak bisa melawan aku." Steven menekan dagu Amelia, memaksa Amelia melihat matanya, dengan perasaan sangat puas mengucapkan kata-kata itu.
"Jangan terlalu percaya diri, langit tidak akan melepaskan orang sepertimu. Saat pembalasan itu tiba, jangan sampai menyesal!" Amelia menatap dia, berkata dengan dingin, Tidak ada rasa hormat, rasa terima kasih dan kelembutan di matanya.
Tatapan mata Steven dingin, sudut bibirnya terangkat.
"Kalau begitu sebelum pembalasan itu datang biarkan aku menikmatimu dulu……"
Kembali menindih tubuh Amelia yang lemah.
Beraninya Amelia mengutuki dia agar mendapat pembalasan, wanita brengsek, harus dengan kasar menyiksa dia.
Amelia mulai menutup mata. Dia tahu Steven sedang menghukum dia, tanpa alasan menghukum dia, seharusnya yang perlu dihukum itu Steven.
Langit tidak adil, terus membiarkan monster seperti dia hidup.
"Masih berani menantang aku?" Steven berkata dengan dingin di telinganya.
"Kalau masih ada cara menyiksa orang cepat gunakan, kalau aku mengerutkan alis, jangan panggil aku Amelia!" Menatap Steven dengan penuh kebencian, dia menjawab dengan lemah.
"Kamu yang mengatakan, jangan menyesal!"
Steven tidak lagi menanyakan apakah dia akan menyerah, karena ekspresinya sangat sombong dan menantang.
"Baru seperti ini sudah selesai? Benar-benar membuat aku kecewa, aku kira masih bisa bertahan lebih lama." Meskipun kesakitan itu begitu panjang, setiap dia menahan satu menit sakitnya luar biasa, Amelia sekarang masih ingin menantang dia.
air mata tanpa suara tidak berhenti jatuh ke bawah, jatuh bersamaan dengan air yang juga mengalir ke bawah, mata yang kabur, makin membasahi hati ini.
Tangan kecil menggosok seluruh tubuh, kalimatnya terus terngiang di dalam otak, dia menggigit bibirnya memaksa dirinya sendiri untuk tidak memikirkannya.
Steven bukan manusia, dia monster, untuk apa memikirkan perkataannya.
"Peng peng peng!" Steven mengetuk pintu kamar mandi, sangat terburu-buru, terlihat sangat tidak sabar.
"Buka pintu! Aku mau mandi!" Steven berkata dengan dingin.
Amelia mematikan air, Steven berdiri di depan pintu, melihat Amelia dari atas ke bawah berulang beberapa kali. Tidak apa-apa, dikira Amelia akan melakukan hal yang aneh-aneh.
Steven tidak membawa baju ganti, untuk apa buru-buru mengetuk pintu? Orang ini memang sakit!
"Kenapa kamu tidak memakai baju tidur yang aku belikan untukmu?" Steven mengerutkan alis, bertanya dengan tidak senang.
"Aku tidak akan menggunakan barang milikmu." Selesai mengucapkan kalimat ini, berjalan melewati dia, ingin keluar.
"Sayang, aku sedang mengungkapkan isi hatiku. Kamu tahu tidak, berpisah begini lama aku sangat merindukan……" Steven menarik Amelia.
“Laura bagus dalam segalanya, hanya saja tubuhnya tidak semenarik tubuhmu。”
“Kamu sangat memalukan! Lepaskan aku!"
Yang Steven katakan seperti bukan perkataan manusia, Amelia menggertakkan gigi benci sekali dengannya, tapi masih tidak bisa lepas darinya.
Kebenciannya membuat Amelia lupa siapa Steven, juga tidak takut lagi dengannya, dengan kasar menggigit lengannya.
"Sih" Steven melepaskan dia.
"Kamu tidak boleh mempermalukan Laura!"
"Aku tidak mempermalukan dia, yang aku katakan itu yang sebenarnya, apa kamu tidak tahu dadanya rata?" Berkata dengan wajah polos, sengaja membuat Amelia marah.
Tidak suka melihat ekspresi Amelia yang dingin, seperti patung yang tidak memiliki jiwa, masih lebih baik melihat dia marah, paling tidak membuktikan dia bisa mempengaruhi suasana hati Amelia.
"Seharusnya aku merekam perkataanmu ini, biar Laura mendengarkan, agar dia tahu siapa kamu sebenarnya."
"Ayo, sayang, aku bantu kamu." Selesai berbicara, menggendong dia, dengan langkah besar berjalan menuju kamar tidur.
"Turunkan aku! Jangan sentuh aku!"
"Tidak mau!"
Amelia berusaha menendang-nendang tapi masih tidak bisa menghalangi langkah kakinya, meletakkan Amelia diatas kasur, dia mengeluarkan telepon genggam dari saku jasnya, menekan beberapa tombol.
"Sayang, aku sudah buka rekaman suaranya, kamu minta aku mengatakan apa aku akan menurut, selesai merekam kamu kirim ke dia."
"Kamu……" Amelia tidak menyangka dia bisa memalukan sampai tahap ini, jelas-jelas tahu Amelia tidak akan mengirim, sengaja? Memaksa agar dirinya marah, tidak boleh karena perkataannya menjadi marah seperti ini, harus tetap tenang.
Bangkit dan duduk di kasur, menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, ternyata bisa lebih baik, baru bisa berkata dengan tenang.
"Tidak takut Laura mengetahui hubungan kita? Tidak takut topengmu yang memalukan itu terbuka, membuat dia membencimu, meninggalkanmu?"
"Kalau Laura seperti kamu begini bagaimana bisa menjadi istriku? Percaya denganku, toleransi dia sangat besar dari yang kamu bayangkan. Kalau seandainya dia tahu hubungan kita, dia juga akan membujuk kamu agar menjadi istri keduaku. Kalau kamu tidak percaya, aku sekarang menelepon memberitahu dia.
"Tidak mungkin! Sejak kecil Laura memiliki imajinasi yang tinggi terhadap cinta, sama sekali tidak mungkin dia bisa toleransi." Amelia berkata dengan semangat.
"Sepertinya kamu benar-benar tidak percaya, aku buktikan ke kamu."
Steven membuka kontak di telepon genggamnya, mencari kontak dengan nama "Istriku Tersayang" kemudian meneleponnya.
"Jangan telepon! Jangan telepon dia!" Amelia cemas, menarik lengannya, tapi sudah terlambat.
Loudspeaker di telepon genggamnya sudah terdengar suara Laura: "Suamiku tersayang!"
"Laura, aku di luar……" ada perempuan lain.
Steven melihat Amelia, dia sekuat tenaga menggelengkan kepala, wajahnya dipenuhi dengan rasa memohon. Terlihat jelas sedang memohon kepadanya, jangan memberitahu Laura, mohon padamu.
Tatapan matanya menyedihkan, tangan kecilnya yang memegang pergelangan tangan Steven terus digerakkan, air matanya sudah hampir menetes.
"Di luar ya? Nanti makan malam di rumah tidak?" Laura bertanya.
"Aku……" Steven hanya mengeluarkan satu kata, Amelia menutup matanya, air matanya menetes. Mulai saat ini dan seterusnya, sahabat baiknya akan selamanya membenci dia.
Steven sama sekali tidak bermaksud memberitahu Laura, hanya ingin menakuti Amelia, melihat Amelia benar-benar ketakutan, sudut mulut Steven naik.
"Tidak pulang, makan di rumah teman, sampai jumpa sayang!" Steven berkata dengan suara yang lembut.
"Sampai jumpa, suamiku tersayang!" Laura berkata dengan manis, menutup telepon.
Amelia menghela nafas lega, melepaskan pergelangan tangannya, seperti baru saja bertarung dengan hebat, tidak bertenaga kembali berbaring.
"Ingat, kamu berhutang padaku. Lain kali jangan main-main denganku, kalau tidak aku kebebasanmu akan lebih berkurang lagi." Steven melemparkan telepon genggamnya ke samping, membalikkan badan berbicara sambil melihat dia.
"Sesuatu yang kecil, aku akan terus menerus mengontrol kamu, selamanya kamu tidak bisa melawan aku." Steven menekan dagu Amelia, memaksa Amelia melihat matanya, dengan perasaan sangat puas mengucapkan kata-kata itu.
"Jangan terlalu percaya diri, langit tidak akan melepaskan orang sepertimu. Saat pembalasan itu tiba, jangan sampai menyesal!" Amelia menatap dia, berkata dengan dingin, Tidak ada rasa hormat, rasa terima kasih dan kelembutan di matanya.
Tatapan mata Steven dingin, sudut bibirnya terangkat.
"Kalau begitu sebelum pembalasan itu datang biarkan aku menikmatimu dulu……"
Kembali menindih tubuh Amelia yang lemah.
Beraninya Amelia mengutuki dia agar mendapat pembalasan, wanita brengsek, harus dengan kasar menyiksa dia.
Amelia mulai menutup mata. Dia tahu Steven sedang menghukum dia, tanpa alasan menghukum dia, seharusnya yang perlu dihukum itu Steven.
Langit tidak adil, terus membiarkan monster seperti dia hidup.
"Masih berani menantang aku?" Steven berkata dengan dingin di telinganya.
"Kalau masih ada cara menyiksa orang cepat gunakan, kalau aku mengerutkan alis, jangan panggil aku Amelia!" Menatap Steven dengan penuh kebencian, dia menjawab dengan lemah.
"Kamu yang mengatakan, jangan menyesal!"
Steven tidak lagi menanyakan apakah dia akan menyerah, karena ekspresinya sangat sombong dan menantang.
"Baru seperti ini sudah selesai? Benar-benar membuat aku kecewa, aku kira masih bisa bertahan lebih lama." Meskipun kesakitan itu begitu panjang, setiap dia menahan satu menit sakitnya luar biasa, Amelia sekarang masih ingin menantang dia.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved