Bab 4 Tidak Punya Pekerjaan

by Sarangheo 14:52,Aug 04,2023

Clara masih demam tinggi, terus selama satu bulan, baru setelah itu sedikit membaik.

Setalah sakitnya membaik, hal pertama yang dia lakukan adalah, mencari kartu nama, menelepon Rudy Sutedja.

Pagi menelepon, malam hari Rudy baru tiba di rumah sakit.

Mereka berdua duduk berhadapan.

Clara terlihat lemah dan pucat, tapi matanya masih bersinar, sepertinya yang lemah hanya tubuhnya saja.

Pandangan matanya yang tenang tertuju pada Rudy, ini pertama kalinya Clara benar-benar melihat wajah Rudy dengan seksama.


Rudy mengenakan kemeja berwarna biru gelap, bahunya lebar, kakinya jenjang, tidak tahu apa karena efek pencahayaan, Rudy yang duduk disana, terlihat tinggi besar.

Kancing jasnya terkait dengan rapi, pergelangan tangan kirinya mengenakan arloji model lama.

Arloji laki-laki sama seperti tas perempuan, simbol dari status seseorang.

Clara menebak, status ekonomi keluarga Rudy sepertinya tidak terlalu baik.

"Kamu umur berapa?" Clara terlebih dahulu membuka suara.

"28 tahun." Rudy menjawab.

"Kerja apa?" Clara bertanya kembali.

"Sensus penduduk?" Rudy mengerutkan alis, jawaban yang datar membuat orang tidak bisa menebak suasana hatinya.

"Apa aku tidak punya hak untuk mengetahui kondisi ayah dari anakku ini?" Clara berkata dengan wajah yang serius.


"Bekerja sama dengan teman menjalankan sebuah bisnis kecil." Rudy menjawab, menganggukkan kepala menandakan Clara boleh melanjutkan.

Clara mengerutkan alis, berpikir: Biasanya orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap suka mengatakan dirinya menjalankan bisnis. Clara sama sekali tidak tertarik dengan jawaban dia.

"Kamu sekarang punya tempat tinggal tetap?"

"Tidak punya." Rudy menjawab jujur.

Rumah atas nama dia banyak sekali, dia benar-benar tidak tinggal di satu rumah yang tetap.

Alis Clara kembali mengerut, benar tebakan Clara. Kesan Clara terhadap Rudy adalah: Laki-laki tampan yang tidak memiliki pekerjaan tetap yang cuma tahu menghabiskan waktu dengan bersenang-senang.


"Kalau kamu tidak keberatan, aku bisa bawa anak kita kembali ke rumah papa mamaku." Rudy kembali berbicara.

Keluarga Sutedja merupakan keluarga yang kekayaannya diwariskan turun temurun, bagian barat kota separuhnya milik keluarga Sutedja. Tempat tinggal leluhur keluarga Sutedja ada disana, dengan kebun seluas 700.000 meter persegi, seperti istana.

Clara kesal menghadapi laki-laki yang ada di depannya ini, menopang kening dengan tangannya.

"Pertanyaanmu, sudah selesai kamu tanyakan?" Rudy menyipitkan mata.

"Ehm, sementara itu dulu." Clara menjawab dengan nada kesal. Kenapa sekarang banyak sekali berkeliaran orang seperti ini?

Rudy melihat tidak ada yang dikatakan Clara lagi, menyodorkan dua rangkap surat perjanjian.


Satu rangkap surat perjanjian sebelum menikah, yang satu rangkap lagi surat perjanjian hak asuh anak.

Clara belum melihat surat perjanjian sebelum menikah itu, langsung menyobek, memasukkan ke dalam tong sampah di samping kakinya.

Rudy melihat apa yang dilakukan Clara, sama sekali tidak berkata apa-apa. Sepertinya keputusan Clara sama sekali tidak ada hubungan dengannya.

Clara membuka surat perjanjian hak asuh anak yang ada diatas meja, tidak melihat isinya, langsung menandatangani surat itu.

Jadi, Clara sama sekali tidak jelas isi dari surat perjanjian itu, termasuk kompensasi untuknya, diantaranya ada rumah, saham, dan perusahaan kecil.

Rudy tidak mempedulikan uang dan aset, perempuan yang melahirkan anak untuknya tentu tidak akan rugi.

Rudy masih dengan posisinya, juga tidak ada keinginan untuk mengingatkan Clara melihat isi surat perjanjian itu.

"Anggap aku yang sial." Selesai Clara menandatangani surat itu, dia mengembalikan ke Rudy, menyerahkan beberapa kunci dan kartu ATM.

"Di Jalan Gatot Subroto aku punya sebuah apartemen, setelah anak kita berusia satu bulan, kalian tinggal disana, setiap bulan aku akan kirimkan sejumlah uang untuk biaya anak kita, kalau tidak boros, seharusnya cukup untuk biaya hidup kalian berdua."

Rudy terpaku, raut wajahnya berubah, seperti mau tertawa juga tidak, kebingungan.

Setelah Clara dan Rudy mencapai kesepakatan, seorang wanita berusia tiga puluh tahun masuk, penampilannya sangat rapi, bersih, seorang baby sitter profesional, namanya Sus Rani.

Clara mengerti, meminta seorang laki-laki sendirian mengurus bayi yang baru genap berumur satu bulan tidak mungkin, membutuhkan baby sitter. Tapi, dengar-dengar gaji untuk seorang baby sitter sangat tinggi, laki-laki ini tidak punya uang, semua biaya Clara yang menanggung sendirian, memikirkannya membuat Clara sedikit sedih.

Tanpa sadar Clara melirik ke arah Rudy, sedangkan Rudy yang dilihat Clara seperti itu merasa aneh.


"Anak lucu, sini sus gendong." Sus Rani berjalan ke samping kasur, tersenyum dan mengulurkan tangan.

Namun, Clara segera menggendong erat-erat anaknya, matanya tiba-tiba merah. Dia tidak rela, tiba-tiba merasa menyesal.

Suasana di ruangan itu tiba-tiba menjadi hening.

Rudy melihat dia dan berkata, "Bukan berpisah karena mati, kamu masih punya hak menjenguk anak kita."

"Bayi kita, belum punya nama." Clara berkata dengan suara pelan.

"Kamu beri dia nama." Rudy berkata.

"Aku belum terpikir." Otak Clara masih tidak karuan.

"Kalau begitu sekarang pikirkan." Rudy dengan sangat sabar menunggu.

Clara mengerutkan alis, memikirkan dengan sangat serius, berkata, "Wilson, bagaimana?"


"Boleh." Rudy menganggukkan kepala, setuju dengan usul Clara.

Kemudian, Sus Rina mengambil Wilson dari dekapan Clara.

Clara dibawah asuhan mama Wulan, dari kecil hingga besar.

Diluar rumah sakit sedang hujan, matanya juga basah.

"Non kalau tidak rela, kenapa bayinya tidak ditinggal saja?" Wulan bertanya.

Clara menggelengkan kepala tersenyum pahit, "Tidak bisa membawa dia pulang ke rumah keluarga Santoso."

"Sejak Nyonya bercerai, rumah sekarang tidak seperti rumah lagi, tidak perlu kembali ke rumah itu juga tidak apa." Wulan menghela nafas panjang.

Tatapan Clara menjadi dingin, kedua tangannya mengepal dengan erat, "Aku harus pulang, mengambil kembali apa yang menjadi bagianku."

……

Hari itu Clara keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah, cuacanya mendung.

Mobil perlahan masuk ke halaman rumah, berhenti di depan villa.


Diluar villa ada sebuah kebun kecil, dulu kebun ini ditumbuhi rumput dan berbagai macam bunga, bunga-bunga ini ibunya yang menanam sendiri, sekarang ibunya tidak disini, kebun ini dibiarkan kosong, tidak ada lagi keindahan bunga-bunga.

Clara menarik koper yang sangat berat, berjalan selangkah demi selangkah, masuk ke dalam villa.

Kebun di villa ini dulu khusus dibuat saat ayahnya akan menikah dengan ibunya, tapi sekarang ayahnya sudah bersama dengan wanita lain, dipikir-pikir benar-benar sebuah ironi.

Ayah Clara, Yanto Santoso, dulu sebenarnya hanya seorang PNS biasa, kemudian menikah dengan ibunya, Evi yang berasal dari keluarga kaya, dengan bantuan ekonomi dari keluarga Evi, Yanto bisa naik pangkat, sampai saat ini bisa menjadi wakil walikota di Kota A, kepala bagian pajak.

Clara masuk ke dalam villa, tidak ada orang yang menjemput dia, lebih tidak ada orang yang menyambut dia, seperti yang dia bayangkan.


Di ruang tamu, Yanto bersama dengan Elaine dan ibunya, Rina sedang duduk diatas sofa, mereka bertiga saling berbincang ada canda tawa, terlihat penuh dengan kehangatan.

Kedatangan Clara seakan merusak suasana, dia barusan kehujanan, seluruh tubuhnya basah, lusuh, terlihat seperti bukan bagian dari keluarga ini. Dari awal dia sudah menjadi orang luar.

"Clara kamu kembali." Rina yang pertama kali berdiri, menyapa.

Rina melakukan perawatan tubuh, usia 45 tahun, masih terlihat seperti umur 30-an.

"Tante Rina." Suara Clara datar.

Clara teringat saat ayahnya pertama kali membawa Rina dan Elaine pulang ke rumah.

"Clara, ini Tante Rina, dia teman ayah. Dia membawa dua kakak perempuan, sementara ini mereka akan tinggal di rumah kita." Saat itu, Yanto berbicara seperti itu kepadanya.

Tinggal sementara, ternyata sudah tinggal sementara selama lebih dari sepuluh tahun.

Clara berjalan sampai di depan Yanto, masih dengan hormat memanggil, "Ayah."

"Kamu masih tahu kembali, memalukan keluarga Santoso!" Senyuman hilang dari wajah Yanto, saat melihat Clara, senyuman itu tergantikan dengan kemarahan, tamparan mendarat di wajah Clara.

"Maksud ayah, sudah tidak mengakui aku sebagai anak lagi?" Clara sama sekali tidak terkejut, bertanya dengan datar.

Yanto melihat dia dengan emosi, tapi tidak berkata apa-apa.

Ayah dan anak perempuan putus hubungan seperti ini, Yanto tidak bisa melakukannya. Sebagai orang yang bekerja di pemerintahan, yang paling penting adalah nama baik.


"Lihat kalian berdua ayah dan anak, kenapa seperti musuh. Yanto, redakan emosi, anakmu mau kembali bukannya itu bagus." Rina berbicara, sambil tersenyum berjalan ke samping Clara, memegang tangannya, wajahnya penuh dengan perhatian.

"Clara, kenapa kamu pulang sendirian, mana anak kamu? Meskipun melahirkan tanpa suami, kalau kedengaran di luar juga tidak enak di dengar. Tapi bagaimanapun juga itu anak kandungmu, cucu kandung ayahmu, kamu bawa pulang, kami juga bisa bantu kamu merawatnya."

Senyumnya menusuk seperti pisau, ini cara yang selalu digunakan Rina. Dulu, Clara masih kecil tidak mengerti, setiap kali Rina melindungi, dia merasa senang. Kemudian Clara menyadari, setiap kali setelah Rina "melindungi" dia, kemarahan Yanto malah menjadi berlipat-lipat.

Benar saja, setelah Rina selesai berbicara, raut wajah Yanto semakin tidak enak dilihat.


Clara menghempaskan tangan Rina, senyumnya manis, "Terima kasih perhatian tante. Tapi, urusanku tante tidak perlu memikirkannya. Lebih banyak perhatikan kakak saja, dia sudah keguguran beberapa kali tidak baik untuknya, takutnya kalau keseringan nanti jadi tidak bisa hamil lagi, kan repot."

Dulu Elaine pernah berpacaran dengan anak tunggal bos property, setelah itu baru tahu kalau laki-laki itu pernah kecanduan narkoba. Dipaksa putus, dan diam-diam menggugurkan bayi yang ada dalam perutnya.

Hal ini meskipun ditutup rapat-rapat oleh Elaine, tapi di dunia ini tidak ada rahasia yang tidak bisa bocor, hanya Yanto yang dibutakan sampai tidak mengetahui masalah itu.

"Elaine keguguran? Sebenarnya apa yang terjadi!" Emosi Yanto meledak lagi.

Saat Yanto sedang dalam kemarahannya, Clara menarik kopernya, naik ke lantai atas. Bagaimana menjelaskan ke Yanto, itu urusan Rina sebagai ibunya.


Kamar Clara ada di lantai 3 paling ujung, kamar yang paling besar dan paling mewah di villa ini.

Clara membuka pintu kamar, semua yang ada di dalam ruangan tidak ada yang berubah, tapi yang ada diatas kasurnya bukan lagi boneka dia, lemari bajunya penuh dengan baju Elaine, meja riasnya dipenuhi dengan foto prewedding Elaine dengan Marco.

Clara berdiri di tengah kamar, menarik kopernya ke samping, memanggil Wulan.

"Bi Wulan, tolong buang semua barang yang bukan milikku, oh, tolong bersihkan dulu kamar mandi, aku mau mandi."

"Baik, non."

Bi Wulan bekerja dengan sangat cepat, saat Clara keluar dari kamar mandi, semua barang Elaine sudah dibuang keluar, bahkan sampai tirai dan sprei sudah diganti yang baru.

Clara duduk di kursi meja rias menyisir rambut, perempuan yang ada di cermin sangat cantik.


Saat ini pintu tiba-tiba dibuka, Elaine bergegas masuk.

"Clara, siapa yang memperbolehkan kamu menyentuh kamarku!"

Clara melihat dia dari dalam cermin, melihat sikap Elaine seperti itu, Clara memandang rendah ibu dan anak yang sangat tidak tahu malu itu.

Clara meletakkan handuk yang ada di tangannya, perlahan berdiri, melihat Elaine dia tertawa, "Kakak, aku sudah merelakan Marco untukmu, kamar ini, kamu mau merebut juga?"

"Kamu sendiri yang tidak mampu mempertahankan laki-laki, wajar saja kamu ditinggalkan, jangan salahkan aku." Nada suara Elaine penuh dengan ejekan.

Clara tersenyum dan menganggukkan kepala, "Aku memang tidak sepintar kakak, Marco mengatakan akan bertanggung jawab, jangan bilang kamu mengatakan kepadanya kalau kamu masih perawan? Kalau dia tahu kamu pernah aborsi anak orang lain, kamu tebak bagaimana reaksi dia?"

Elaine mendengar Clara berbicara seperti ini, wajahnya menjadi pucat, terlihat jelas Elaine ketakutan.

Unduh App untuk lanjut membaca