Bab 17 Bunga-bunga indah
by Nayya_Phrustazie
14:00,Jan 03,2021
Sudah beberapa hari belakangan, Alea boleh diizinkan keluar oleh Darel meskipun ada seseorang yang bertugas mengawasinya. Pria itu masih belum percaya jika Alea tidak akan kabur.
Sepanjang hari Maria akan menemani Alea berkeliling di area villa. Hingga berakhir di sebelah rumah kaca. Alea kini sudah tidak takut lagi jika bertemu dengan orang meskipun belum dikenalnya.
"Bibi, apakah tidak boleh kita masuk ke sana?" ujar Alea. Ingin sekali merawat bunga-bunga yang sangat cantik itu.
"Sebaiknya tidak usah, Nona. Jangan sampai masuk ke sana karena tuan Darel pasti akan marah besar jika ada yang menyentuh bunga-bunga itu," ujar Maria. Hampir setiap hari Alea berkeinginan untuk masuk tapi Maria selalu melarangnya karena ini demi kebaikannya.
"Bibi, lihatlah ada pot bunga yang terjatuh. Jika tidak segera diganti maka bunga itu akan layu." Alea bisa melihat satu pot bunga mawar kuning terjatuh.
"Nanti akan kupanggil paman Frans untuk merapikannya kembali," ujar Maria.
"Sebaiknya sekarang saja, Bibi. Sangat disayangkan jika bunga itu sampai mati," ujar Alea dengan mata berkaca-kaca. Kesukaannya terhadap bunga membuatnya tidak sabar ingin merapikannya.
"Baiklah, tetaplah disini. Aku akan memanggil Frans." Maria segera meninggalkan Alea tepat di depan pintu rumah kaca.
Bagi seorang yang tidak menyukai bunga mungkin itu sangat berlebihan. Namun bagi penyuka bunga seperti Alea akan merasa kasihan.
Cukup lama Alea menunggu Maria tapi tidak kunjung datang. Padahal matahari sudah mulai naik, jika dibiarkan terlalu lama maka bunga mawar itu akan mati.
Alea mengedarkan pandangannya ke sekarang. Tidak ada siapapun di sana. Sepertinya aman jika dirinya masuk secara diam-diam. Dengan pelan, Alea mulai menjalankan kursi roda yang dinaikinya lebih mendekat pintu masuk.
Setelah memastikan benar-benar tidak ada orang yang melihatnya, terutama Darel akhirnya Alea memberanikan mendorong pintu.
Harum semerbak bunga mawar langsung masuk ke Indra penciumannya. Matanya membulat sempurna karena ternyata bunga-bunga itu jauh lebih indah jika dilihat dari dekat.
Wajah Alea langsung berbinar dengan seulas senyum yang selalu terukir di bibirnya.
"Esme, izinkan aku membantumu merawat bunga-bunga ini," ujar Alea untuk meminta izin pada pemilik rumah kaca itu.
Alea benar-benar sangat bahagia karena akhirnya bisa masuk. Sudah sejak pertama dikurung di sana ingin sekali melihat lebih dekat.
Alea terus menggerakkan kursi rodanya untuk berkeliling melihat seisi rumah kaca.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Darel yang sedang duduk di ruang kerjanya dengan bersandar pada sandaran kursi. Pandangannya tanpa sengaja menangkap pintu rumah kaca yang terbuka.
Seketika Darel langsung bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah jendela. Dari ruang kerjanya memang terlihat sangat jelas rumah kaca itu. Sengaja agar jika lelah bisa melihat bunga-bunga yang ditanam oleh Esme.
Rahangnya langsung mengeras dengan mata yang menggelap ketika melihat siapa yang tengah di dalam sana.
"Beraninya dia masuk ke sana!" umpat Darel dengan geram. Dadanya naik turun menahan amarahnya yang semakin menggebu ketika melihat Alea seperti sedang menghirup aroma bunga di sana. Darel tidak rela karena bunga-bunga itu hanya boleh disentuh oleh Esme bersama tukang kebun khusus yang merawat.
Dengan langkah lebar Darel keluar dari ruangannya. Menutup pintunya dengan sangat keras. Bahkan para pelayan menunduk takut ketika berpapasan dengannya.
"Mau kemana, Tuan?" tanya Erick yang kebetulan sekali ingin memberikan laporan perusahaan.
Darel tidak menyahut apalagi melirik Erick. Yang ada di pikirannya saat ini adalah ingin membuat perhitungan pada Alea.
Menyadari sesuatu yang tidak beres terjadi pada bosnya, Erick segera mengikuti langkah Darel menuju rumah kaca.
"Beraninya kau masuk ke sini?" teriak Darel dengan sorot mata tajam memandang Alea.
Alea langsung menarik tangannya ketika mendengar suara yang cukup nyaring di telinganya. Padahal baru saja hendak meraih pot yang tadi terjatuh.
"Aku … aku hanya ingin merapikan bunga yang terjatuh," ujar Alea dengan terbata. Meneguk salivanya karena sorot mata Darel seperti hendak membakarnya hidup-hidup.
Emosi Darel semakin tidak terkendali ketika melihat salah satu bunga kesayangan Esme sudah tergeletak di tanah.
"Beraninya kau menjatuhkannya! Dasar wanita murahan!" umpat Darel dengan nafas yang memburu. Amarahnya kali ini benar-benar sudah membuncah.
"Aku mengizinkanmu keluar dari kamar tapi bukan berarti aku mengizinkan kau memasuki rumah kaca ini apalagi sampai menyentuh tanaman yang ada di sini." Darel mengepalkan tangannya dengan erat.
"Aku tidak menjatuhkannya, justru aku kemari ingin mengambilnya." Alea memberanikan diri untuk menjawab meski tubuhnya gemetar.
"Sudah ketahuan tapi tetap saja berkilah."
Darel mendorong kursi roda yang dinaiki oleh Alea secara paksa keluar dari rumah kaca tersebut. Keadaan jalan sedikit miring sehingga membuat Alea kesulitan untuk menghentikan kursi rodanya.
Para pelayan yang melihat kejadian itu berteriak histeris karena tepat di bawah terdapat kayu dan bebatuan. Di sana masih berserakan karena rencananya akan dibuat kolam ikan.
Darel hanya melihat dengan seringai mengerikan yang terukir di sudut bibirnya. Ia sama sekali tidak peduli dengan keselamatan Alea. Bahkan jika harus mati, dia tidak akan menolongnya.
Pria itu justru kembali masuk ke dalam rumah kaca. Berjongkok kemudian mengambilnya pot bunga yang sudah pecah.
"Esme, cepatlah bangun. Bungamu sudah tumbuh dengan sangat subur," ucap Darel dengan nada sendu.
Brakk…
Setelah cukup lama melaju pada jalan yang agak miring, kursi roda itu berhenti setelah terhalang oleh batu yang berada di tengah jalan.
"Arghhh!" Alea meringis kesakitan karena ada kayu yang menancap di dekat pergelangan kakinya yang terluka. Itu rasanya lebih sakit dari apapun. Alea bahkan sampai menggigit bibir bawahnya hingga berdarah karena tak kuat menahan rasa sakit itu.
Bahkan kepala Alea juga terbentur batu. Ia semakin histeris ketika meraba dahinya dengan tangan. Ada darah yang tertinggal di tangannya. Ini seperti kejadian beberapa bulan lalu.
Erick yang mengetahui hal itu segera berlari ke arah Alea. Matanya langsung terbelalak lebar ketika melihat kaki Alea yang mengeluarkan darah cukup banyak.
Wajah Alea juga terlihat pucat dengan dahi yang mengeluarkan darah.
Tanpa pikir panjang, Erick lantas membopong tubuh Alea.
"Bertahanlah, kita akan pergi ke rumah sakit," ujar Erick. Tidak peduli jika bos-nya akan marah karena sudah lancang membawa Alea ke rumah sakit. Menurutnya kali ini bosnya sangat berlebihan. Hanya karena satu pot bunga yang jatuh. Hampir saja membuat Alea celaka.
Maria yang baru saja mengetahui hal itu tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia tadi pergi ke dalam rumah sebentar untuk mengambil sesuatu.
"Erick, kemana kau akan membawa Alea?" tanya Maria.
"Aku akan membawanya ke rumah sakit. Sebaiknya Bibi di rumah saja. Jika nanti ada sesuatu pasti aku akan memberitahu," ujar Erick dengan langkah cepat agar segera menuju mobil.
Sepanjang hari Maria akan menemani Alea berkeliling di area villa. Hingga berakhir di sebelah rumah kaca. Alea kini sudah tidak takut lagi jika bertemu dengan orang meskipun belum dikenalnya.
"Bibi, apakah tidak boleh kita masuk ke sana?" ujar Alea. Ingin sekali merawat bunga-bunga yang sangat cantik itu.
"Sebaiknya tidak usah, Nona. Jangan sampai masuk ke sana karena tuan Darel pasti akan marah besar jika ada yang menyentuh bunga-bunga itu," ujar Maria. Hampir setiap hari Alea berkeinginan untuk masuk tapi Maria selalu melarangnya karena ini demi kebaikannya.
"Bibi, lihatlah ada pot bunga yang terjatuh. Jika tidak segera diganti maka bunga itu akan layu." Alea bisa melihat satu pot bunga mawar kuning terjatuh.
"Nanti akan kupanggil paman Frans untuk merapikannya kembali," ujar Maria.
"Sebaiknya sekarang saja, Bibi. Sangat disayangkan jika bunga itu sampai mati," ujar Alea dengan mata berkaca-kaca. Kesukaannya terhadap bunga membuatnya tidak sabar ingin merapikannya.
"Baiklah, tetaplah disini. Aku akan memanggil Frans." Maria segera meninggalkan Alea tepat di depan pintu rumah kaca.
Bagi seorang yang tidak menyukai bunga mungkin itu sangat berlebihan. Namun bagi penyuka bunga seperti Alea akan merasa kasihan.
Cukup lama Alea menunggu Maria tapi tidak kunjung datang. Padahal matahari sudah mulai naik, jika dibiarkan terlalu lama maka bunga mawar itu akan mati.
Alea mengedarkan pandangannya ke sekarang. Tidak ada siapapun di sana. Sepertinya aman jika dirinya masuk secara diam-diam. Dengan pelan, Alea mulai menjalankan kursi roda yang dinaikinya lebih mendekat pintu masuk.
Setelah memastikan benar-benar tidak ada orang yang melihatnya, terutama Darel akhirnya Alea memberanikan mendorong pintu.
Harum semerbak bunga mawar langsung masuk ke Indra penciumannya. Matanya membulat sempurna karena ternyata bunga-bunga itu jauh lebih indah jika dilihat dari dekat.
Wajah Alea langsung berbinar dengan seulas senyum yang selalu terukir di bibirnya.
"Esme, izinkan aku membantumu merawat bunga-bunga ini," ujar Alea untuk meminta izin pada pemilik rumah kaca itu.
Alea benar-benar sangat bahagia karena akhirnya bisa masuk. Sudah sejak pertama dikurung di sana ingin sekali melihat lebih dekat.
Alea terus menggerakkan kursi rodanya untuk berkeliling melihat seisi rumah kaca.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Darel yang sedang duduk di ruang kerjanya dengan bersandar pada sandaran kursi. Pandangannya tanpa sengaja menangkap pintu rumah kaca yang terbuka.
Seketika Darel langsung bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah jendela. Dari ruang kerjanya memang terlihat sangat jelas rumah kaca itu. Sengaja agar jika lelah bisa melihat bunga-bunga yang ditanam oleh Esme.
Rahangnya langsung mengeras dengan mata yang menggelap ketika melihat siapa yang tengah di dalam sana.
"Beraninya dia masuk ke sana!" umpat Darel dengan geram. Dadanya naik turun menahan amarahnya yang semakin menggebu ketika melihat Alea seperti sedang menghirup aroma bunga di sana. Darel tidak rela karena bunga-bunga itu hanya boleh disentuh oleh Esme bersama tukang kebun khusus yang merawat.
Dengan langkah lebar Darel keluar dari ruangannya. Menutup pintunya dengan sangat keras. Bahkan para pelayan menunduk takut ketika berpapasan dengannya.
"Mau kemana, Tuan?" tanya Erick yang kebetulan sekali ingin memberikan laporan perusahaan.
Darel tidak menyahut apalagi melirik Erick. Yang ada di pikirannya saat ini adalah ingin membuat perhitungan pada Alea.
Menyadari sesuatu yang tidak beres terjadi pada bosnya, Erick segera mengikuti langkah Darel menuju rumah kaca.
"Beraninya kau masuk ke sini?" teriak Darel dengan sorot mata tajam memandang Alea.
Alea langsung menarik tangannya ketika mendengar suara yang cukup nyaring di telinganya. Padahal baru saja hendak meraih pot yang tadi terjatuh.
"Aku … aku hanya ingin merapikan bunga yang terjatuh," ujar Alea dengan terbata. Meneguk salivanya karena sorot mata Darel seperti hendak membakarnya hidup-hidup.
Emosi Darel semakin tidak terkendali ketika melihat salah satu bunga kesayangan Esme sudah tergeletak di tanah.
"Beraninya kau menjatuhkannya! Dasar wanita murahan!" umpat Darel dengan nafas yang memburu. Amarahnya kali ini benar-benar sudah membuncah.
"Aku mengizinkanmu keluar dari kamar tapi bukan berarti aku mengizinkan kau memasuki rumah kaca ini apalagi sampai menyentuh tanaman yang ada di sini." Darel mengepalkan tangannya dengan erat.
"Aku tidak menjatuhkannya, justru aku kemari ingin mengambilnya." Alea memberanikan diri untuk menjawab meski tubuhnya gemetar.
"Sudah ketahuan tapi tetap saja berkilah."
Darel mendorong kursi roda yang dinaiki oleh Alea secara paksa keluar dari rumah kaca tersebut. Keadaan jalan sedikit miring sehingga membuat Alea kesulitan untuk menghentikan kursi rodanya.
Para pelayan yang melihat kejadian itu berteriak histeris karena tepat di bawah terdapat kayu dan bebatuan. Di sana masih berserakan karena rencananya akan dibuat kolam ikan.
Darel hanya melihat dengan seringai mengerikan yang terukir di sudut bibirnya. Ia sama sekali tidak peduli dengan keselamatan Alea. Bahkan jika harus mati, dia tidak akan menolongnya.
Pria itu justru kembali masuk ke dalam rumah kaca. Berjongkok kemudian mengambilnya pot bunga yang sudah pecah.
"Esme, cepatlah bangun. Bungamu sudah tumbuh dengan sangat subur," ucap Darel dengan nada sendu.
Brakk…
Setelah cukup lama melaju pada jalan yang agak miring, kursi roda itu berhenti setelah terhalang oleh batu yang berada di tengah jalan.
"Arghhh!" Alea meringis kesakitan karena ada kayu yang menancap di dekat pergelangan kakinya yang terluka. Itu rasanya lebih sakit dari apapun. Alea bahkan sampai menggigit bibir bawahnya hingga berdarah karena tak kuat menahan rasa sakit itu.
Bahkan kepala Alea juga terbentur batu. Ia semakin histeris ketika meraba dahinya dengan tangan. Ada darah yang tertinggal di tangannya. Ini seperti kejadian beberapa bulan lalu.
Erick yang mengetahui hal itu segera berlari ke arah Alea. Matanya langsung terbelalak lebar ketika melihat kaki Alea yang mengeluarkan darah cukup banyak.
Wajah Alea juga terlihat pucat dengan dahi yang mengeluarkan darah.
Tanpa pikir panjang, Erick lantas membopong tubuh Alea.
"Bertahanlah, kita akan pergi ke rumah sakit," ujar Erick. Tidak peduli jika bos-nya akan marah karena sudah lancang membawa Alea ke rumah sakit. Menurutnya kali ini bosnya sangat berlebihan. Hanya karena satu pot bunga yang jatuh. Hampir saja membuat Alea celaka.
Maria yang baru saja mengetahui hal itu tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia tadi pergi ke dalam rumah sebentar untuk mengambil sesuatu.
"Erick, kemana kau akan membawa Alea?" tanya Maria.
"Aku akan membawanya ke rumah sakit. Sebaiknya Bibi di rumah saja. Jika nanti ada sesuatu pasti aku akan memberitahu," ujar Erick dengan langkah cepat agar segera menuju mobil.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved