Bab 18 Karena sebatang pohon

by Nayya_Phrustazie 14:01,Jan 03,2021
Rumah Sakit Beaujon, Paris

Erick membawa ke rumah sakit dimana Esme juga dirawat. Di sana ada dokter Brian jika Darel memprotes karena Alea maka akan ada yang bisa melawannya.

Para perawat lantas membantu Erick membaringkan tubuh Alea di atas brankar. Mereka membawa Alea ke dalam perawatan.

Kebetulan sekali Dokter Brian baru saja keluar dari ruangannya. Sehingga Erick langsung bergegas menghampirinya agar segera melakukan pertolongan pada Alea.

"Dokter, cepat tolong Alea. Dia baru saja terluka," ujar Erick dengan nafas terengah-engah.

"Dimana dia sekarang?"

"Perawat membawanya masuk ke ruang nomor 50," sahut Erick.

Mereka segera berlari menuju ke ruangan 50 yang berada di lantai dua. Dokter Brian segera masuk untuk memeriksa keadaan Alea. Sedangkan Erick menunggu di luar sambil berjalan mondar-mandir. Kepalanya pusing memikirkan bosnya yang terlalu berlebihan.

Cukup lama Dokter Brian memeriksa Alea karena harus melakukan pemeriksaan pada dua luka di tempat yang berbeda. Namun menurutnya ini adalah kesempatan melakukan operasi kembali pada kaki Alea selagi berada di rumah sakit. Namun agar tidak disalahkan dokter itu memikirkan beberapa cara.

Erick langsung bergegas menghampiri Brian ketika melihatnya sudah keluar di ruang perawatan Alea.
"Dokter, bagaimana keadaannya?" tanya Erick dengan sedikit perasaan cemas.

"Dia hanya sedikit mengalami pendarahan tapi tidak apa-apa. Sebenarnya apa yang terjadi kenapa Alea bisa seperti itu?" tanya Brian penasaran. Meskipun sudah bisa menebak kemungkinan yang terjadi.

"Hmm, Tuan Darel mendorongnya karena marah mengetahui Alea masuk ke dalam rumah kaca milik Esme," sahut Erick.

"Apa? Hanya gara-gara hal sekecil itu Darel tega mendorong Alea hingga terluka?" Brian memijat pelipisnya. Sungguh baginya ini sangat keterlaluan.

"Ada pot bunga yang terjatuh, gak itu membuat Tuan Darel semakin murka. Selama ini memang tidak ada yang diizinkan masuk selain tukang kebun," terang Erick.

"Sungguh hatinya entah sudah terbuat dari apa sehingga begitu tega padahal hanya karena sebatang pohon." Brian merasa sangat geram kali ini.
"Mungkin besok aku akan meminta Dokter spesialis tulang untuk mengoperasi kakinya. Dia harus sembuh agar bisa melawan Darel," lanjut Brian dengan penuh tekad.

"Tapi bagaimana jika tuan Darel tidak setuju?"

"Nanti aku yang akan berbicara padanya terlebih dahulu. Sudah banyak penderitaannya selama tinggal di rumah itu. Padahal ia baru saja sembuh dari rasa traumanya. Sekarang Darel justru melakukannya lagi." Brian menggelengkan kepalanya memikirkan sahabatnya yang sudah sangat berubah semenjak Esme Koma.

"Apakah belum ada perkembangan dari nona Esme?" tanya Erick.

Brian mendesah panjang lalu menggelengkan kepalanya. Bahkan sepertinya harapan untuk Esme terbangun sangat kecil.

============================

Villa La Tulipe,

Darel uring-uringan hingga memarahi semua pelayan yang bekerja di rumahnya. Pria itu sangat marah karena ada yang masuk padahal sudah ratusan kali mengatakan jika siapa saja di marang masuk.

"Maafkan aku, Tuan. Tadi Alea hanya ingin membetulkan pot yang terjatuh karena takut jika bunganya layu," ujar Maria dengan tubuh gemetar. Ia merasa harus menjelaskan semuanya meskipun Darel mungkin tidak akan percaya dengan perkataannya.

"Bagaimana mungkin pot itu bisa terjatuh? Itu pasti alasannya saja memang sengaja ingin merusak tanaman bunga Esme," ijar Darel dengan nada tinggi. Sudah hampir hilang kesabarannya kali ini.

"Sungguh, Tuan. Aku baru saja hendak memanggil Frans tapi belum sempat aku kembali Alea sudah masuk terlebih dahulu," ujar Maria. Sebisa mungkin ingin mengatakan yang sesungguhnya meskipun Darel tidak akan setuju.

"Omong kosong. Bibi pasti hanya ingin membelanya saja."

"Tidak, Tuan. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," tukas Maria dengan mata berkaca-kaca. Menyesal karena tadi sudah meninggalkan Alea terlalu lama.

"Sekali lagi ada yang masuk tanpa seizinku maka kalian akan mendapatkan hukuman," Darel lantas melangkah pergi meninggalkan villa.

Hatinya merasa sangat marah dan ingin menghabisi Alea sekarang juga.

Darel mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi melewati jalanan di tengah kota Paris yang sedang sibuk.

Tidak butuh baginya sampai. Setengah jam saja sudah sampai di rumah sakit.

"Siapa yang menyuruhmu membawanya ke rumah sakit ini?" Sentak Darel pada Erick yang sedang berada di depan kamar dimana Alea dirawat.

Erick hanya tertunduk takut. Menjawab atau tidak menjawab semuanya serba salah. Karena Darel hanya akan bertindak sesuka hatinya saja.

"Dimana sekarang dia?" tanya Darel dengan nada dingin.

"Dia ada di dalam, Tuan." Erick terpaksa mengatakannya karena Darel pasti akan mencari tahu sendiri.

Dengan sangat kuat Darel membuka pintu hingga menyebabkan suara yang cukup keras. Namun tak membangunkan Alea. Ia baru saja diberi obat untuk meredakan rasa sakit hingga tertidur.

Pandangan Darel tidak teralihkan dari Alea yang terbaring di ranjang. Hingga kini berdiri tepat di sisi ranjang sembari berkacak pinggang.

Wajah Alea terlihat damai ketika tertidur. Terlihat perban membalut dahinya dengan noda darah yang masih terlihat transparan.

"Esme," gumam Darel tanpa sadar. Melihat Alea yang terpejam tiba-tiba saja mengingatkannya pada Esme. Hatinya sedikit bergetar merasa kasihan. Tidak seharusnya berbuat kasar hanya karena sebatang bunga. Bahkan jika Esme tahu pasti tidak akan marah.

"Untuk apa aku kasihan? Memang pantas dia mendapatkan semua itu," ujar Darel lagi sembari berdecak.

Brian mengikuti Darel masuk untuk memastikan jika pria itu tidak berbuat macam-macam kepada Alea.

"Kebetulan sekali kau berada di sini. Aku hanya ingin memberitahukan jika besok dilakukan operasi pada kaki Alea. Kuharap kau tidak keberatan karena semua itu juga ulahmu," ujar Brian sembari mendekati Darel.

"Beraninya kau mengambil keputusan sendiri? Dia tawananku sehingga aku yang akan memutuskan," tolak Darel dengan tegas.

"Apakah kau ingin kakinya membusuk dan menyusahkanmu karena tidak bisa berjalan? Kakinya terluka cukup dalam dan akan mengalami infeksi jika tidak segera dioperasi," terang Brian.

"Biarkan saja, itu lebih baik daripada aku harus menyiksanya dengan tanganku sendiri," ujar Darel dengan santai.

"Kau memang pria tidak punya hati! Jika Esme terbangun dan Alea tidak terbukti bersalah. Aku sangat yakin jika Esme akan pergi meninggalkanmu. Apakah kau lupa jika Esme bersedia menikah denganmu dengan syarat meninggalkan kehidupan kelam dan menjadi orang baik?" Brian mencoba mengingatkan semuanya agar tersadar.

Darel terdiam merenungi perkataan Brian. Memang benar Esme sangat melarang keras dan pernah akan meninggalkannya ketika ketahuan Darel membunuh orang.

"Baiklah, sepertinya kau memang ingin Esme meninggalkanmu," ujar Brian sambil mendengus.

"Cukup! Tutup mulutmu!" umpat Darel dengan nada naik turun.

"Aki tidak akan tutup mulut sebelum kau tersadar."

"Baiklah, lakukan apapun yang kau inginkan. Tapi jangan pernah mengatakan pada Esme ketika terbangun." Darel mencengkram kerah baju Brian kemudian menghempaskannya dengan kasar.

"Kau tidak usah khawatir soal itu," ujar Brian. Merasa senang akhirnya berhasil membuat Darel setuju.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

106