Bab 1 PROLOG

by Veedrya 09:44,May 01,2021
Ida’s
Dia adalah cinta pertamanya. Cinta monyetnya. Cinta mati? Mungkin terlalu dini untuk dibilang cinta mati karena faktanya mereka berdua masih hidup. Satu - satunya laki - laki yang dia biarkan mengukir sejarah bersamanya selain Papinya. Tapi, seperti halnya Papinya juga, mereka pun berakhir mengenaskan. Membenci tapi membutuhkan. Mencintai tapi menyakiti.
Ida ingin pergi, menghilang, She did tried, tapi benang merah mereka sudah terlilit begitu rumit hingga nyaris tak bisa diputus tanpa menyakiti semua pihak. Sahabat - sahabatnya. Orang - orang terpenting dalam hidupnya selain Maminya. Pura-pura baik-baik saja bahkan setelah bertahun - tahun lamanya, hanya itulah yang bisa dia lakukan. Tujuh tahun lalu hingga sekarang.
Tapi seolah bersandiwara bahwa mereka baik - baik saja tidaklah cukup. Takdir membawa sosok itu kembali, sekarang, malam ini, ke depan pintu apartemennya.
“Hafid?!”
Dia nyaris berteriak di lorong apartemennya. Sosok itu bergeming. Tetap bersandar di kusen pintunya sambil nyengir bodoh. Ida mendekat dan mencium bau menyengat yang asing
yang langsung membuatnya mual seketika.
“Lo mabok ya?!” Tuduhnya! Dan melihat mata sayu dan absennya respons selain cengiran bodoh di wajah Hafid, dia menyimpulkan jawabannya adalah, iya.
“Heh, kalo kobam pulang ke rumah lo sendiri! Jangan ke sini!” Ida masih membentak. Perasaannya bercampur antara senang luar biasa, sedih, dan juga takut.
Mungkin karena suara Ida yang membentak-bentaknya, atau memang kesadarannya sedikit pulih, mata Hafid mendadak menatap langsung padanya. Tajam. Tak terbaca. Membuatnya menahan nafas dan tak berkutik. Debaran jantungnya untuk cowok ini masih sama seperti tujuh tahun lalu.
Sebelum dia bisa mengeluarkan sepatah kata pun, Hafid menerjang masuk dan memeluknya. Meninggalkan pintu terbanting di belakang mereka. Belum pulih dari kekagetannya, sepasang bibirnya sudah tertawan oleh bibir Hafid. Lembut, tapi menuntut. Keras, tapi manis..
“Hammph!” Dia mencoba berontak.
Tangannya terangkat manahan dada Hafid saat kesadarannya pulih, yang malah ditangkap dan ditahan di atas kepalanya oleh satu tangan Hafid.
Dia ingin memprotes, mulutnya sudah terbuka siap menyuarakan isi kepalanya, tapi suara erangan parau yang aneh malah terdengar dari tenggorokannya, karena saat itu lidah Hafid memutuskan untuk masuk dan mengobrak abrik isi mulutnya. Membelit, mengusap, mengelus, membuatnya gila, terengah dan menginginkan lebih! Ya, dia sudah gila!
“Ngghhh….Hah! Ahhhh…. Ha- ugh! Fid!”
Semuanya terasa tidak nyata. Manis, memabukkan dan menakutkan di saat yang sama. Dia sudah berhenti melawan. Dia lelah. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga cowok di depannya ini, meskipun dia sedang mabuk. Otaknya pun sudah berkabut dan tak ada logika tersisa di dalam kepalanya.
Dia bahkan tidak melawan saat Hafid mendorong tubuhnya jatuh ke atas sofa ruang tamunya. Dia takjub, bagaimana tangan dan mulut Hafid bisa terasa di mana saja di tubuhnya. Di bibirnya, di dadanya, di punggungnya, bahkan di antara kedua pahanya. Menyebar rasa panas dan getar gelenyar yang melenakan. Mengelus, membelai, meremas dan menggelitiknya dengan sensasi yang tak pernah dia tahu bisa tubuhnya rasakan.
Semuanya terasa indah, sampai dia merasakan sesuatu yang keras menusuknya pusatnya, dan rasa sakit yang menyesakkan itu datang, seiring dengan tubuh Hafid yang menyentak di atasnya, membuatnya menjerit, dan meronta. Hingga akhirnya rasa sakitnya kian tak tertahankan dan membawanya tenggelam dalam kegelapan.

***

Hafid’s
Dia terbangun dengan kepala pening dan badan pegal luar biasa. Dia melihat sofa dua orang yang ditidurinya dan mendengus, pantas saja! Untuk orang dengan tinggi 180 cm, sofa kecil seperti ini tentu saja tidak akan terasa nyaman!
Sebentar. Sepertinya dia nggak punya sofa hitam seperti ini di apartemennya. Dan di ruang tamunya juga nggak ada TV flat yang terpasang di tembok. Dia dimana, sih?
Dan jawaban itu datang seketika saat pintu depan terbuka. Mereka sama - sama terpaku. Bedanya, Hafid murni keterkejutan, dan ekspresi gadis di depannya lebih terlihat seperti…. Ketakutan? Tapi hanya sekilas saja sehingga dia berpikir bahwa dia pasti hanya membayangkannya. Kenapa Ida, mantan ceweknya, cinta monyetnya ini, harus takut sama dia? Nggak masuk akal banget!
“Oh, lo udah bangun. Buruan mandi gih, gue beliin soto ayam biar mabok lo ilang.” Katanya santai sambil berlalu ke dapur.
“Lo ngapain disini?” Tanyanya.
Ida menatapnya datar. See, dia punya tatapan yang bisa membekukan gurun sahara. Dan mulut setajam sniper, jadi, nggak ada kamusnya Ida takut sama orang. Orang - orang yang harus takut sama dia. Cewek ular ini bahaya.
“Ini rumah gue. Normalnya sih, gue akan selalu ada disini.” Jawabnya tanpa menatap Hafid. “Buruan mandi terus sarapan. Abis itu, silakan pulang ke tempat lo. Gue buru - buru mau ada urusan.”
Hafid menurut. Mengambil handuk yang sudah disiapkan Ida di lengan sofa dan berjalan menuju pintu kecil di samping dapur.
“Hafid.” Tangannya yang hendak menutup pintu berhenti. Ditatapnya punggung ramping cewek yang dulu amat dipujanya. Entah kenapa Ida dari tadi tidak mau menatapnya. “Keramas sekalian.” Hah? “Gue denger itu bisa ngurangin sakit kepala gara-gara kobam.”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

132