Bab 6 LIMA - AN ADVICE FROM A FRIEND

by Veedrya 10:08,May 01,2021
Hari ini dia ada janji ketemu sama sahabatnya Azra. Mumpung dia lagi di Jakarta. Apesnya, dia datang terlalu dini ke tempat janjian. Bukan terlalu dini, tapi Azra belum sampai karena masih ketahan kerjaan. Mereka janjian di warkop di tengah - tengah karena jarak rumah mereka tidak saling berdekatan. Dia langsung kesini pulang kerja tadi. Entah kenapa dia agak enggan pulang ke apartemen. Padahal biasanya dia paling suka ndekem sendirian di rumahnya.
“Udah, ini dulu , Mas. Buku menunya tinggal sini satu, ya. Saya masih nunggu temen.”
“Baik, Pak. Ditunggu.”
Dia sendirian lagi setelah waiters pergi untuk memproses pesanannya. Sendirian membuat pikirannya langsung bekerja mengeluarkan semua hal yang seharian tadi berusaha dia singkirkan dari sana. Apalagi kalau bukan Ida dan kejadian semalam?
Kejadian semalam? Semalam bahkan nggak terjadi apa - apa! Maunya dia seperti itu, yah memang seperti itu, karena setelah Ida membenarkan dalam diam kecurigaannya tentang mimpinya yang terus berlangsung dua bulan ini, dia langsung beranjak pergi meninggalkan cewek itu. Kabur.
Yap! Dengan pengecutnya, dia meninggalkan Ida yang berdiri mematung dengan wajah tanpa warna di tengah dapurnya, tanpa penjelasan, tanpa pamitan.
Dia butuh waktu, karena ternyata dia lebih kaget dari siapapun saat mengetahui kenyataannya. Gila! Seumur hidupnya, dia belajar ngaji, diajarin akhlak sama ustadznya, diajari norma bagus dan buruk sama Ayah Bundanya, dan yang dilakukan disini adalah main ke kelab malam! Cuma gara - gara nggak enak sama temannya karena terus - terusan menolak. Nggak cuma itu, dia mabok! Gara - gara dia nggak ati-ati dan asal tenggak minuman temannya juga! Seolah itu belum cukup, dia nyasar ke apartemen mantan ceweknya, dan…dia…
Hafid mengusap wajahnya gemas. Dia bingung harus bagaimana. Melihat reaksi Ida, sepertinya dia yang pertama. Dia kembali menyumpahi dirinya. Tentu saja dia yang pertama! Dia kenal sahabat - sahabatnya, walaupun mungkin mereka sering gonta ganti pasangan dulu, tapi dia yakin, mereka nggak semurahan itu buat nyerahin diri mereka ke orang yang nggak jelas!
Kalau Ida sampai hamil…. Kenapa Ida nggak bilang apa - apa? Dia mabok, dan pasti dia nggak pakai pengaman malam itu. Dia bukan tipe womanizer yang kemana – mana bawa kondom juga. Bahkan pagi harinya Ida juga masih nggak bilang apa - apa! Dia hanya menyuruhnya keramas. Hafid mendengus keras, membuat mas - mas waiters yang mengantar pesanannya sempat terlonjak kaget.
“Pesanannya, Mas. Silakan.”
“Makasih.”
Hafid kembali tenggelam dalam kepalanya setelah waiters itu berlalu. Jadi, sebenarnya Ida sudah memberinya clue? Dengan keramas? Yang bener aja, Idaaa.
“Woy, Dul!” Azra menyapa, membuatnya agak kaget.
“Woy, udah dateng aja. Macet?”
“Biasa lah, malam sabtu, gini.” Dia duduk, lalu melambai memanggil waiters. “Udah pesen makan? Laper banget gue, gila akhir tahun emang sibuk-sibuknya ya.”
“Lo pesen, deh. Pesenan gue baru dibikin. Apa kabar, lo? Masih betah di Singapore?”
“Hahaha February kalo nggak Maret, sih, gue baru pindah ke Indo. Ini masih training aja sama menejer lama, mumpung orangnya masih ada.” Jawabnya sambil menyebutkan pesanannya pada waiters yang menghampiri. “Kenapa lo? Muka kek keset aja, kucel.”
“Gue abis dicurhatin temen gue. Ikutan bingung gue.” Dia berkilah.
“Curhat apaan dia sampe bikin lo ikut mikir gini, Dul?”
Hafid mempertimbangkan sejenak keputusannya untuk sharing dengan Azra. Sejujurnya, dia belum tahu harus bagaimana selain merasa bersalah. Tapi dia juga tidak ingin lantas menghindari Ida jika kemungkinan buruk terjadi.
“Jadi temen gue ini tadi cerita. Dia punya mantan, kan, nah jadi tiba - tiba mantannya ini dateng ke rumah dia pas mabok. Terus, taulah, gituan. Nah, jeleknya, tuh cowok nggak inget apa – apaan paginya, ngapain aja mereka semalem sama sekali dia nggak inget. Temen gue yang cewek ini, sama aja, rada - rada. Bukannya ngebilangin salahnya dimana, malah dibilangin aja trus ngehindar gitu. Sampe akhirnya semalem mereka ketemu lagi dan si cowok udah inget semuanya kejadiannya. Trus dia bingung kudu ngapain.”
“Aih, ati - ati lo, Dul. Jakarta keras! Nggak ati - ati jaga diri bisa ikutan rusak, lo.” Azra menjeda saat waiters datang. “Disini buat ikut gaya hidup orang sini gampang banget.”
Hafid mencebik. “Gue nggak minta ceramah, Dul! Gue tau yang begituan. Tiga tahun disini masih anteng gue!” Sampai dua bulan yang lalu. “Paling main ke kelab malam, tapi nggak sampe mabok, kok. Bisa lah, gue jaga diri.”Dia meyakinkan.
“Bagus, deh. Inget-inget aja yang kaya gitu. Walaupun kegoda, amit-amit, jangan sampe kebablasen dah! Mabok, maen cewek.” Azra bergidik.
“Terus temen gue tadi gimana?” Hafid mengingatkan.
“Ya seharusnya dia nggak menghindar, sih. Kan mereka ngelakuin berdua, dosa ditanggung berdua, beban moral juga berdua lah. Jangan dia doang yang stress. Trus dia tek dung? Mau minta pertanggung jawaban si cowok?”
“Nah, dia masih bingung harus gimana. Kayanya si nggak sampe hamil, Dul, ceritanya nggak sampe sana.”
“Kalo orang sini sih, hubungan kek gitu, apalagi nggak ada jejaknya, pada dilupain langsung, Dul. Dibilang lebay kalo diungkit - ungkit. Tapi misal gara - gara itu trus mereka jadi mau balikan lagi, pacaran lagi gitu, biar ada ikatan, gue nggak setuju.”
Hafid mengernyit. “Lah kenapa?”
“Kecuali mereka nikah, Dul. Sekarang gini, ini menurut gue tapi ya, standard orang beda - beda soalnya. Misal mereka nggak nikah, tapi balikan punya hubungan lagi, walaupun temen lo nggak tek dung, emang ada jaminan mereka nggak ngelakuin itu lagi? Apalagi sekarang ada alasan, segelnya udah ilang. Dengan jaman yang makin bebas kaya gini, pula.” Hafid mengangguk - angguk. Sampai sini penjelasan Azra masuk akal, sih. “Kalau mereka sama - sama mau tanggung jawab, nikah misalnya, kan nggak bikin dosa baru lagi.”
“Nikah bukannya agak…. Apalagi kalau kepaksa.”
Walaupun Bunda sudah sering memaksanya untuk menikah, dan menagihnya untuk dikenalkan pada calon mantu bayangan Bundanya, tapi dia belum pernah berpikir serius ke arah sana.
“Ya itu tergantung mereka, sih. Cuma kalo kata gue, mereka udah pernah ngejalanin hubungan, selama mereka putusnya baek - baek, nggak akan susah buat saling cinta dan ngehargain lagi. Inget tuh, kata Om Didi Kempot, witing trisno jalaran soko kulino (cinta itu datang dari kebiasaan). Asal sama - sama buka hati aja, sih.”
Itu masalahnya, mereka nggak putus secara baik - baik dan jadi saling dendam. Seenggaknya, dia mengira, dia masih mendendam pada Ida dan keputusan yang di buatnya tujuh tahun lalu. Mereka memang masih saling bertemu, hanya untuk menjaga perasaan sahabat – sahabatnya, tapi saat bertemu, mereka belih sering mengabaikan keberadaan satu sama lain.
Dia membenci perempuan itu. Amat sangat! Menjalin hubungan kembali dengan Ida? Hell no!

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

132