Bab 7 ENAM - HER COMFORT ZONE
by Veedrya
10:16,May 01,2021
Ida’s
“Da, liatin sini, dong. Udah bener gini nggak sih, maunya customer Karenina?” Safi memanggilnya.
Dia beranjak menghampiri partnernya dan memperhatikan desain yang dia kerjakan. Bisnis mereka bergerak dibidang fashion non clothing, pernak pernik perhiasan dan dekorasi rumah. Pesanan yang sedang dikerjakan Safi adalah custom tote bag yang dipesan oleh repeater mereka. Biasanya, Ida yang negerjakan desain untuk tas dan hiasan dinding, sedangkan Safi berfokus pada perhiasan dan aksesoris. Tapi karena pesanan Ida lebih banyak dan semua desain Safi sudah dikerjakan oleh pegawai mereka, dia membantu Ida mengerjakannya agar lebih cepat selesai. Sekalian belajar.
“Ini kelebaran, Saf. Kurangin dikit ya, jadiin 30 aja, trus dia suka modelnya ramping tapi panjang gitu. Jadi tingginya udah bener. Oh, Talinya lebarin, ya. Minta bikin yang agak tebel biar nggak nekuk kalo di pake.”
Safira mengacungkan jempolnya pada Ida saat cewek itu kembali ke mejanya. Minggu ini mereka luar biasa sibuk. Banyak pesanan masuk. Ida senang - senang saja. Dia menikmati waktu sibuknya karena itu berarti lebih banyak pemasukan, lebih banyak uang untuk ditabung, dan lebih banyak waktu yang tidak terbuang percuma untuk memikirkan Hafid.
“Da,”
“Hmm?”
“Lo jadi gantiin gue sampe tutup, kan hari ini?”
Ah! Dia hampir lupa kalo Safi memintanya berganti jadwal jaga hingga tutup toko hari ini. “Iya, gue gantiin hari ini. Lo langsung ke bandara?”
Hari ini cowoknya Safi pulang dari Belanda. Bukan, dia nggak pacaran sama bule, kebetulan aja cowoknya sedang kuliah sambil kerja di Belanda, dan sedang ambil libur musim dingin.
“Mau pulang dulu, lah. Bebersih, touch up dikit, biar nggak kusem. Lo juga harusnya touch up tuh, biar banyak yang ngelirik.”
Ida memutar matanya jengah. “Gue nggak dandan aja yang naksir udah banyak kali, ya nggak?” Dia bertanya pada pegawainya yang sedang serius mengerjakan pesanan. Mereka kompak mengacungkan jempol.
“Ya udah kalo banyak naksir lo nya jangan galak - galak! Pada kabur semua, kan!”
“Ini emang sengaja tau! Buat seleksi alam, biar yang ngedeket yang bener - bener niat!”
“Yeee alesan mulu!”
Ida menjulurkan lidahnya dan kembali fokus pada desainnya. Workshopnya buka sampai jam delapan malam. Tapi dari jam lima hingga jam delapan, hanya ada dua orang saja yang berjaga. Ida dan Safira bergantian menemani pegawainya berjaga disana hingga waktu tutup.
Biasanya, saat malam, mereka akan customer servicing dan fokus pada mereka yang memesan lewat media sosial atau pasar daring yang mereka kelola. Semua direkap dan di kerjakan esok paginya. Ida senang dengan pekerjaannya. Pekerjaan yang diciptakan dan dipilihnya dan tentu saja dinikmatinya. Dan kebetulan dia mendapat partner yang sehati dan pegawai - pegawai yang setia yang sudah ikut mereka dari awal berdiri.
Getar notifikasi dari ponselnya mengalihkan perhatiannya pada monitor di depannya. Mami?
MamiElly: Ida Sayang, Mami minggu depan nggak ke Jakarta dulu, ya, Mami ada pesanan lumayan banyak. Sayang kalau nggak dikerjain. Dirapel bulan depan aja, ya
Ida menghembuskan nafasnya berat. Walaupun dia sudah bisa menanggung kehidupan Maminya, meski tidak seberapa, tapi Maminya kekeh tidak mau nganggur. Dia masih ingin punya kesibukan agar tidak stress katanya. Jadilah dia masih sibuk dengan usaha catering kecilnya.
FaridaZein: Minggu depannya lagi bisa Mi?
MamiElly: Masih belum bisa, Sayang. Banyak yang ngadain reuni dan kebeneran mereka pesen di Mami. Mami sudah fullybook sampe akhir Januari, nih.
Ida melirik kalender. Sekarang akhir November. Seharusnya awal Desember, yaitu minggu depan, adalah jadwal Mami terapi. Tapi malah Mami minta absen sampai akhir januari.
FaridaZein: Mami, luangin seminggu buat kesini bulan desember, please.
FaridaZein: Mami harus sehat juga biar bisa bikin pesanan banyak.
FaridaZein: Budhe Atik bisa bantu kan, selama Mami nggak ada? Ada Nur juga.
Pesannya hanya berakhir sebagai centang biru di layar ponselnya, tanpa ada jawaban dari Maminya. Ida mendesah pelan. Dia sudah mengecek biaya operasi yang harus dia keluarkan jika Mami bersedia di operasi.
Operasi kanker 70 juta, biaya pemasangan pen pada tulang panggul dan biaya pemulihan sekitar 80 juta. Belum jika Mami memerlukan terapi tambahan dan suplemen penunjang. Tentu saja beberapa biaya akan di cover oleh BPJS, tetapi kemungkinan besar biaya yang di cover tidak akan lebih dari 30 persen mengingat Mami tidak menggunakan rujukan darimanapun.
Seratus lima puluh juta untuk operasi, dan masih ada beberapa sesi terapi yang harus dijalani sebelum uangnya terkumpul. Memikirkannya saja sudah membuat Ida patah semangat. Tapi dia nggak boleh nyerah, kan? Ini Maminya! Dia bakal lakukan apapun agar Maminya sembuh.
Itu janjinya!
***
“Halo, cantiiik.” Suara Nisya yang cempreng menggema di workshopnya yang sepi. Di ujung lain, Icha cekikikan, mungkin dia juga heran dengan Nisya yang bisa bersuara secempreng itu.
“Jangan kenceng - kenceng! Gue nggak bawa headset, tau!” Ida menegur. Meringis meminta maaf pada pegawainya yang sempat kaget tadi.
Di layar ponselnya, gambar Nisya bergerak - gerak heboh karena tertawa tanpa suara. Di sampingnya, ada Icha yang meringis geli, dia sepertinya baru selesai acara dan sedang membersihkan mukanya.
“Lo dimana, Nis? Udah pulang?” Disandarkannya ponselnya di layar PC nya dan melanjutkan bekerja.
“Aku tadi praktek di kota, sih, jadi pulangnya nggak malem banget.”
“Aku yang baru kelar, nih. Tapi seru!” Icha berseru girang. Ini pertama kalinya dia ke luar negeri. Dia ditugaskan untuk mengikuti pelatihan di Malaysia selama tiga minggu. Ini baru minggu pertamanya.
“Hahahaha salam buat Upin Ipin, ya.”
“Yeee.”
“Da, kamu kok sekarang kurus banget, tho?” Nisya tiba - tiba bertanya lembut.
Icha juga ikut memperhatikannya. “Iya, lho.”
Hari ini dia memakai loose sweater yang agak lebar bagian lehernya sehingga hampir semua tulang selangkanya terlihat. “Ini efek baju, kali.”
“Tapi terakhir kali ketemu tuh, kamu nggak sekurus ini. Kita kan selalu satu ukuran, Idaaaa.” Icha merajuk, membuat Ida dan Nisya tertawa.
“Gampang mah, kalau naikin aja. Yang susah kan kalau niatnya diet tapi BB malah naik mulu.”
Mereka melanjutkan obrolannya. Mereka memang sering seperti itu. Rutin menemani jika salah satu dari mereka harus lembur. Kecuali Nisya, karena dia psikolog, jadi sewaktu kerja hanya boleh ada dia dan pasiennya.
Mereka tau kapan harus diam saat ada customer datang atau saat ada telepon masuk dan Ida harus menjawabnya. Pegawai Ida pun tidak merasa keberatan karena hanya saat dia bertelpon dengan dua cewek itu, dia terlihat tidak terlalu galak.
“Mbak, sudah jam delapan lewat sepuluh, udah boleh pulang, ya.”
“Oh, iya! Duluan aja. Makasih ya. Sampe besok.” Ida melambai pada pegawainya yang menghilang di balik pintu. Dia mengikutinya untuk menutup sebagian rolling door dan membalik sign yang menandakan bahwa toko sudah tutup.
“Spill it already! You’ve been holding in too long now.” Nisya dalam mode psikolognya.
Ida mengangkat tangan menyerah. Dia tidak bisa menyembunyikan apapun dalam waktu lama pada sahabat - sahabatnya ini.
“Hafid pindah ke gedung apartemen gue.”
“Udah?” Icha seperti kecewa.
Ida tertawa mendengarnya. “Yap, Itu doang. Gue juga baru tau.” Baru tau dua bulan yang lalu dan, parahnya dia udah… ah, sudahlah. Hafid masih sahabat mereka, dia tidak ingin membuat sahabat - sahabatnya ikut membenci tindakan Hafid padanya, apalagi saat orang yang bersangkutan tidak ada disana untuk membela diri.
“Kalian masih pada berantem, ya? Pamer - pameran mantan?”
Ida tertawa lagi. Pamer mantan dari Hongkong! Dia belum pernah pacaran lagi sejak Hafid! Yap, that’s the fact she’s been hiding from everyone. Foto - foto yang di share di group bersama sahabat - sahabatnya yang ada Hafidnya, itu adalah foto customernya. Repeater dan langganan yang sudah lumayan akrab karena sering order.
“Gue nggak, sih. Pengen sendiri dulu. Nggak tau kalo dia.”
“Kalian saling sapa?”
“Menurut kalian?”
“Ya, aku tau kalian nggak bakal saling sapa, sih. Tapi masa, sih kalian betah banget sok jaim gitu? Trus anehnya, kalian kompak sok baik - baik aja di depan kami. Kalian udah dewasa, lho.” Nisya menembak tepat sasaran.
Karena lebih dewasa itu, Nisya, jadi banyak hal yang seharusnya tidak dilakukan, jadi banyak alasan untuk menghindar. Bukan Ida kalau tidak mendapatkan alasan untuk ngeles. Tapi dia sekarang sudah lebih pandai mengontrol mulutnya dan menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang belum perlu dikatakan.
“Ida,” Suara lembut Icha menariknya kembali pada percakapan mereka. “We were so closed before. I hope you guys can have a deep talk about it and make it up to you both. I mean it, sincerely.”
“Bener. Kalian udah terlalu lama salah paham. Udah saatnya kalian saling buka diri buat maafin satu sama lain.”
“Da, liatin sini, dong. Udah bener gini nggak sih, maunya customer Karenina?” Safi memanggilnya.
Dia beranjak menghampiri partnernya dan memperhatikan desain yang dia kerjakan. Bisnis mereka bergerak dibidang fashion non clothing, pernak pernik perhiasan dan dekorasi rumah. Pesanan yang sedang dikerjakan Safi adalah custom tote bag yang dipesan oleh repeater mereka. Biasanya, Ida yang negerjakan desain untuk tas dan hiasan dinding, sedangkan Safi berfokus pada perhiasan dan aksesoris. Tapi karena pesanan Ida lebih banyak dan semua desain Safi sudah dikerjakan oleh pegawai mereka, dia membantu Ida mengerjakannya agar lebih cepat selesai. Sekalian belajar.
“Ini kelebaran, Saf. Kurangin dikit ya, jadiin 30 aja, trus dia suka modelnya ramping tapi panjang gitu. Jadi tingginya udah bener. Oh, Talinya lebarin, ya. Minta bikin yang agak tebel biar nggak nekuk kalo di pake.”
Safira mengacungkan jempolnya pada Ida saat cewek itu kembali ke mejanya. Minggu ini mereka luar biasa sibuk. Banyak pesanan masuk. Ida senang - senang saja. Dia menikmati waktu sibuknya karena itu berarti lebih banyak pemasukan, lebih banyak uang untuk ditabung, dan lebih banyak waktu yang tidak terbuang percuma untuk memikirkan Hafid.
“Da,”
“Hmm?”
“Lo jadi gantiin gue sampe tutup, kan hari ini?”
Ah! Dia hampir lupa kalo Safi memintanya berganti jadwal jaga hingga tutup toko hari ini. “Iya, gue gantiin hari ini. Lo langsung ke bandara?”
Hari ini cowoknya Safi pulang dari Belanda. Bukan, dia nggak pacaran sama bule, kebetulan aja cowoknya sedang kuliah sambil kerja di Belanda, dan sedang ambil libur musim dingin.
“Mau pulang dulu, lah. Bebersih, touch up dikit, biar nggak kusem. Lo juga harusnya touch up tuh, biar banyak yang ngelirik.”
Ida memutar matanya jengah. “Gue nggak dandan aja yang naksir udah banyak kali, ya nggak?” Dia bertanya pada pegawainya yang sedang serius mengerjakan pesanan. Mereka kompak mengacungkan jempol.
“Ya udah kalo banyak naksir lo nya jangan galak - galak! Pada kabur semua, kan!”
“Ini emang sengaja tau! Buat seleksi alam, biar yang ngedeket yang bener - bener niat!”
“Yeee alesan mulu!”
Ida menjulurkan lidahnya dan kembali fokus pada desainnya. Workshopnya buka sampai jam delapan malam. Tapi dari jam lima hingga jam delapan, hanya ada dua orang saja yang berjaga. Ida dan Safira bergantian menemani pegawainya berjaga disana hingga waktu tutup.
Biasanya, saat malam, mereka akan customer servicing dan fokus pada mereka yang memesan lewat media sosial atau pasar daring yang mereka kelola. Semua direkap dan di kerjakan esok paginya. Ida senang dengan pekerjaannya. Pekerjaan yang diciptakan dan dipilihnya dan tentu saja dinikmatinya. Dan kebetulan dia mendapat partner yang sehati dan pegawai - pegawai yang setia yang sudah ikut mereka dari awal berdiri.
Getar notifikasi dari ponselnya mengalihkan perhatiannya pada monitor di depannya. Mami?
MamiElly: Ida Sayang, Mami minggu depan nggak ke Jakarta dulu, ya, Mami ada pesanan lumayan banyak. Sayang kalau nggak dikerjain. Dirapel bulan depan aja, ya
Ida menghembuskan nafasnya berat. Walaupun dia sudah bisa menanggung kehidupan Maminya, meski tidak seberapa, tapi Maminya kekeh tidak mau nganggur. Dia masih ingin punya kesibukan agar tidak stress katanya. Jadilah dia masih sibuk dengan usaha catering kecilnya.
FaridaZein: Minggu depannya lagi bisa Mi?
MamiElly: Masih belum bisa, Sayang. Banyak yang ngadain reuni dan kebeneran mereka pesen di Mami. Mami sudah fullybook sampe akhir Januari, nih.
Ida melirik kalender. Sekarang akhir November. Seharusnya awal Desember, yaitu minggu depan, adalah jadwal Mami terapi. Tapi malah Mami minta absen sampai akhir januari.
FaridaZein: Mami, luangin seminggu buat kesini bulan desember, please.
FaridaZein: Mami harus sehat juga biar bisa bikin pesanan banyak.
FaridaZein: Budhe Atik bisa bantu kan, selama Mami nggak ada? Ada Nur juga.
Pesannya hanya berakhir sebagai centang biru di layar ponselnya, tanpa ada jawaban dari Maminya. Ida mendesah pelan. Dia sudah mengecek biaya operasi yang harus dia keluarkan jika Mami bersedia di operasi.
Operasi kanker 70 juta, biaya pemasangan pen pada tulang panggul dan biaya pemulihan sekitar 80 juta. Belum jika Mami memerlukan terapi tambahan dan suplemen penunjang. Tentu saja beberapa biaya akan di cover oleh BPJS, tetapi kemungkinan besar biaya yang di cover tidak akan lebih dari 30 persen mengingat Mami tidak menggunakan rujukan darimanapun.
Seratus lima puluh juta untuk operasi, dan masih ada beberapa sesi terapi yang harus dijalani sebelum uangnya terkumpul. Memikirkannya saja sudah membuat Ida patah semangat. Tapi dia nggak boleh nyerah, kan? Ini Maminya! Dia bakal lakukan apapun agar Maminya sembuh.
Itu janjinya!
***
“Halo, cantiiik.” Suara Nisya yang cempreng menggema di workshopnya yang sepi. Di ujung lain, Icha cekikikan, mungkin dia juga heran dengan Nisya yang bisa bersuara secempreng itu.
“Jangan kenceng - kenceng! Gue nggak bawa headset, tau!” Ida menegur. Meringis meminta maaf pada pegawainya yang sempat kaget tadi.
Di layar ponselnya, gambar Nisya bergerak - gerak heboh karena tertawa tanpa suara. Di sampingnya, ada Icha yang meringis geli, dia sepertinya baru selesai acara dan sedang membersihkan mukanya.
“Lo dimana, Nis? Udah pulang?” Disandarkannya ponselnya di layar PC nya dan melanjutkan bekerja.
“Aku tadi praktek di kota, sih, jadi pulangnya nggak malem banget.”
“Aku yang baru kelar, nih. Tapi seru!” Icha berseru girang. Ini pertama kalinya dia ke luar negeri. Dia ditugaskan untuk mengikuti pelatihan di Malaysia selama tiga minggu. Ini baru minggu pertamanya.
“Hahahaha salam buat Upin Ipin, ya.”
“Yeee.”
“Da, kamu kok sekarang kurus banget, tho?” Nisya tiba - tiba bertanya lembut.
Icha juga ikut memperhatikannya. “Iya, lho.”
Hari ini dia memakai loose sweater yang agak lebar bagian lehernya sehingga hampir semua tulang selangkanya terlihat. “Ini efek baju, kali.”
“Tapi terakhir kali ketemu tuh, kamu nggak sekurus ini. Kita kan selalu satu ukuran, Idaaaa.” Icha merajuk, membuat Ida dan Nisya tertawa.
“Gampang mah, kalau naikin aja. Yang susah kan kalau niatnya diet tapi BB malah naik mulu.”
Mereka melanjutkan obrolannya. Mereka memang sering seperti itu. Rutin menemani jika salah satu dari mereka harus lembur. Kecuali Nisya, karena dia psikolog, jadi sewaktu kerja hanya boleh ada dia dan pasiennya.
Mereka tau kapan harus diam saat ada customer datang atau saat ada telepon masuk dan Ida harus menjawabnya. Pegawai Ida pun tidak merasa keberatan karena hanya saat dia bertelpon dengan dua cewek itu, dia terlihat tidak terlalu galak.
“Mbak, sudah jam delapan lewat sepuluh, udah boleh pulang, ya.”
“Oh, iya! Duluan aja. Makasih ya. Sampe besok.” Ida melambai pada pegawainya yang menghilang di balik pintu. Dia mengikutinya untuk menutup sebagian rolling door dan membalik sign yang menandakan bahwa toko sudah tutup.
“Spill it already! You’ve been holding in too long now.” Nisya dalam mode psikolognya.
Ida mengangkat tangan menyerah. Dia tidak bisa menyembunyikan apapun dalam waktu lama pada sahabat - sahabatnya ini.
“Hafid pindah ke gedung apartemen gue.”
“Udah?” Icha seperti kecewa.
Ida tertawa mendengarnya. “Yap, Itu doang. Gue juga baru tau.” Baru tau dua bulan yang lalu dan, parahnya dia udah… ah, sudahlah. Hafid masih sahabat mereka, dia tidak ingin membuat sahabat - sahabatnya ikut membenci tindakan Hafid padanya, apalagi saat orang yang bersangkutan tidak ada disana untuk membela diri.
“Kalian masih pada berantem, ya? Pamer - pameran mantan?”
Ida tertawa lagi. Pamer mantan dari Hongkong! Dia belum pernah pacaran lagi sejak Hafid! Yap, that’s the fact she’s been hiding from everyone. Foto - foto yang di share di group bersama sahabat - sahabatnya yang ada Hafidnya, itu adalah foto customernya. Repeater dan langganan yang sudah lumayan akrab karena sering order.
“Gue nggak, sih. Pengen sendiri dulu. Nggak tau kalo dia.”
“Kalian saling sapa?”
“Menurut kalian?”
“Ya, aku tau kalian nggak bakal saling sapa, sih. Tapi masa, sih kalian betah banget sok jaim gitu? Trus anehnya, kalian kompak sok baik - baik aja di depan kami. Kalian udah dewasa, lho.” Nisya menembak tepat sasaran.
Karena lebih dewasa itu, Nisya, jadi banyak hal yang seharusnya tidak dilakukan, jadi banyak alasan untuk menghindar. Bukan Ida kalau tidak mendapatkan alasan untuk ngeles. Tapi dia sekarang sudah lebih pandai mengontrol mulutnya dan menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang belum perlu dikatakan.
“Ida,” Suara lembut Icha menariknya kembali pada percakapan mereka. “We were so closed before. I hope you guys can have a deep talk about it and make it up to you both. I mean it, sincerely.”
“Bener. Kalian udah terlalu lama salah paham. Udah saatnya kalian saling buka diri buat maafin satu sama lain.”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved