Bab 10 SEMBILAN - THE BOY IN NEED
by Veedrya
10:40,May 01,2021
Hafid's
“Terus kamu gimana? Bunda nggak mau kamu dilangkahi sama adekmu, le. Walaupun kamu itu cowok. Sebentar lagi umurmu 26. Sudah pantes kamu buat nikah. Masa belum ada calon?”
Lagi-lagi pertanyaan itu. Dan lag I -lagi untuk keberapa kalinya sejak telpon berlangsung, dia teringat Ida.
“Ya nggak papa, tho, Bun. Hana duluan aja.”
“Kalo kamu belum nikah, Hana nunggu dulu. Ayah juga setuju sama Bunda. Lagian Hana juga belum genam 23, kok. Kalo nggak mau nunggu biar cowoknya cari yang lain!”
Lho lho lho!
“Ya nggak gitu dong, Bun. Hana kan udah ketemu jodohnya, masa mau ditunda-tunda. Nanti malah kejadian yang nggak-nggak, repot.”
“Ndak. Pokoknya Bunda sama Ayah udah sepakat bulat. Kamu dulu, baru adek-adekmu. Nggak boleh langkah-langkahan. Pamali! Bikin seret jodoh.”
Aih, Bunda dan Ayah yang masih percaya tahayul ini. Dulu pacar Mbah Hanif pernah ditolak mentah-mentah oleh mereka hanya gara-gara anak pertama. Kata mereka, anak pertama nggak boleh nikah sama anak pertama juga, pamali! Nggak langgeng.
“Nah terus kalo Hafid lama dapetnya? Kasian mereka, Bun.” Hafid masih berusaha membela diri.
“Makanya kamu cari! Masa nggak ada gitu disana cewek yang mau sama anak Bunda?” Bunda melanjutkan berapi - api. “Yang cantik,” Ida cantik. Banget. “Kalem,” nggak kalem banget, sih, tapi sifat keibuannya nggak perlu diragukan. “Pinter masak,” Masakan Ida enak! “Yang mau diajak berjuang gitu, le!” Ida.
Dia memaki dalam hati karena selama Bundanya bicara, otaknya malah sibuk memunculkan visual Ida. Ida yang lagi senyum, Ida yang tertawa lepas, Ida yang selalu terlihat anggun apapun yang dipakainya, Ida yang menatapnya dengan mata sembab penuh air mata.
“Le?”
“Ya, Bun?”
“Malah ngelamun? Jangan - jangan aslinya udah ada calon tapi diem - diem aja? Bunda nggak dikenalin?”
“Bunda apaan, sih. Nanti kalo ada Hafid kenalin deh, Bun.” Bunda udah kenal orangnya, hati kecilnya menyahut. Menyulut pertengkaran batin di dalam dirinya. Apaan, woy! Kaya udah fix bakal sama Ida aja. Fix in aja lah, bro. Mumpung ada alasan kuat nih.
“Iya, Bunda tunggu. Pokoknya, yang penting kamu nggak dilangkahi. Bunda tutup dulu, ya. Bunda mau balik ke kamar Mbakmu. Kamu subuh terus olahraga sana.”
***
Hafid semakin pusing. Saat pekerjaannya mengalami puncak deadline dan reputasinya dipertaruhkan, dia malah luar biasa susah untuk fokus. Dan ida… gadis itu belum terlihat di manapun akhir - akhir ini. Dan dia juga belum mencoba datang ke rumahnya lagi. Karena memang belum sempat.
Hari ini dia akan bertemu lagi dengan Azra, sebelum sahabatnya itu pulang ke Singapore lusa. Dia butuh banget third person point of view tapi sungguh, dia belum siap dihakimi oleh siapapun atas perbuatannya.
“Dul, gue udah mau jalan, ini.” Katanya di telpon, saat berhenti di lampu merah dekat kantornya. “Udah sampe? Oke deh. Tunggu sana, yak.”
Begitulah. Percakapan cowok memang selalu singkat. Padat. Jelas. Tidak bertele-tele. Dan mereka sudah terlalu paham satu sama lain bahkan tanpa kata. Mereka berdua hampir selalu sama-sama dari kecil, kecuali saat Azra pindah ke Jakarta kelas dua SD dan kembali lagi ke Jogja saat kelas dua SMP. Selain konfliknya karena sahabatnya Icha, mereka berdua masih besties sampai sekarang.
Dia berhenti lagi di lampu merah berikutnya, dan masih akan banyak lagi sebelum dia sampai di tempat janjian. Tapi untungnya hari ini nggak terlalu macet, jadi dia nggak akan terlalu terlambat. Dia senang memikirkan perjalanannya yang tidak terlalu terhambat, saat matanya menangkap sosok yang dia kenal.
“Ida?”
Yap! Itu Ida. dia nggak tahu kenapa Ida bisa sampai daerah sini, apakah karena tempat kerjanya dekat sini, atau dia habis dari mana? Tanpa sadar, dia malah mengikuti laju motor gadis itu saat lampu berubah hijau.
Hafid terlalu fokus pada motor matic merah itu. Untungnya dia tidak menabrak atau menyerempet sesuatu! Teledor banget, kan?! Dia menepi dan berhenti tepat waktu saat motor matic merah itu berbelok masuk ke salah satu rumah sakit ternama di Jakarta Pusat.
Dering ponsel yang mengagetkannya membuyarkan semua asumsi yang hampir terbentuk di kepalanya. Sial, Azra nelpon! Gue lupa!
“Dul, sori, mecet….macet. Bentar lagi sampe.”
Dia bergegas melanjutkan perjalanannya sebelum Raden Bagus Azra tumbuh tanduknya.
***
Dia sampai di tempat janjian lima belas menit kemudian, dengan disambut wajah kecut Azra. Dia lucky, karena ternyata rumah sakit yang Ida tuju tidak masih tidak terlalu jauh dari tempat mereka janjian.
“Ngaretnya nggak kira-kira, Dul!”
“Sori lah, macet kan human error, nggak bisa diprediksi.” Dia ngeles kayak bajaj. Dia membaca buku menu yang tadi di taruh Azra di depannya sementara Azra membantu memanggilkan waiters untuknya.
Dia menyebutkan pesanannya dan mengembalikan buku menu kepada waiters sebelum mereka berbincang berdua.
“Jam berapa besok pesawat lo?”
“Siang jam dua an.”
“Kok lo nggak ikut apa itu, kata si Icha, training itu di Malaysia? Ngomong - ngomong lo tau kan, kalo dia kerja di perusahaan nyokap?”
“Gue tau, dia yang nggak tau. Biar aja, Dul. Gue nggak ikut aja, banyak yang mesti gue kelarin di sini dan disono. Mungkin tahun depan atau tahun depannya lagi.”
“Kalian masi nggak ada perkembangan? Lo bilang mau minta maaf sama dia.” Dia agak sebel karena Azra terus mengulur janjinya untuk berbaikan dan meluruskan kesalahpahamannya dengan sahabat kecilnya.
“Ya sabar. Ini gue lagi usaha.”
“Usaha apaan.”
“Ya kan nggak mungkin gue baekan sama dia trus nggak aada apa-apa, Dul.” Azra gemas. Hafid mengernyitkan dahinya heran. Baikan ya baikan aja, tho? Emang abis itu mau ngapain? Azra yang bisa membaca semua pertanyaan itu dari raut mukanya menggeleng. “Amatir, lo! Gue kan udah lama suka sama dia.”
Itu yang dia nggak habis pikir. Orang suka, bukannya dia kejar, diperjuangin, malah ditinggal, disakiti! “Terus? Hubungannya sama perjuangan lo sekarang apa? Yang gue liat lo masih betah aja main kucing-kucingan sama dia.”
Azra berdecak keras. Harus rela menahan jawabannya karena waiters datang mengantarkan pesanan mereka. “Tumben nggak pesen kopi.” Azra gagal fokus melihat minuman Hafid.
“Lagi pengen teh-teh herbal gitu.”
“Kaya Ida aja, lo. Dia kan hobi ngeringin daun ama bunga buat dibikin teh.” Azra tertawa mengingat kelakuan unik Ida yang nggak biasa menurut orang jawa.
Hafid juga mau nggak mau jadi ikutan nostalgia. Ida pernah cerita dulu waktu kecil dia sering dirawat sama neneknya yang di Manado, yang memang asli orang Yunan, China. Seingatnya, itu satu - satunya orang selain Maminya yang pernah dia ceritakan kepada mereka. Ida sangat tertutup tentang keluarganya.
“Apa kabar coba dia sekarang.” Agak aneh mendengarnya karena Azra dan Ida bagaikan Tom & Jerry di kelompoknya.
“Dia satu gedung sama gue.” Azra nyaris tersedak minumannya. “Gue baru tau baru - baru ini.”
“Terus kamu gimana? Bunda nggak mau kamu dilangkahi sama adekmu, le. Walaupun kamu itu cowok. Sebentar lagi umurmu 26. Sudah pantes kamu buat nikah. Masa belum ada calon?”
Lagi-lagi pertanyaan itu. Dan lag I -lagi untuk keberapa kalinya sejak telpon berlangsung, dia teringat Ida.
“Ya nggak papa, tho, Bun. Hana duluan aja.”
“Kalo kamu belum nikah, Hana nunggu dulu. Ayah juga setuju sama Bunda. Lagian Hana juga belum genam 23, kok. Kalo nggak mau nunggu biar cowoknya cari yang lain!”
Lho lho lho!
“Ya nggak gitu dong, Bun. Hana kan udah ketemu jodohnya, masa mau ditunda-tunda. Nanti malah kejadian yang nggak-nggak, repot.”
“Ndak. Pokoknya Bunda sama Ayah udah sepakat bulat. Kamu dulu, baru adek-adekmu. Nggak boleh langkah-langkahan. Pamali! Bikin seret jodoh.”
Aih, Bunda dan Ayah yang masih percaya tahayul ini. Dulu pacar Mbah Hanif pernah ditolak mentah-mentah oleh mereka hanya gara-gara anak pertama. Kata mereka, anak pertama nggak boleh nikah sama anak pertama juga, pamali! Nggak langgeng.
“Nah terus kalo Hafid lama dapetnya? Kasian mereka, Bun.” Hafid masih berusaha membela diri.
“Makanya kamu cari! Masa nggak ada gitu disana cewek yang mau sama anak Bunda?” Bunda melanjutkan berapi - api. “Yang cantik,” Ida cantik. Banget. “Kalem,” nggak kalem banget, sih, tapi sifat keibuannya nggak perlu diragukan. “Pinter masak,” Masakan Ida enak! “Yang mau diajak berjuang gitu, le!” Ida.
Dia memaki dalam hati karena selama Bundanya bicara, otaknya malah sibuk memunculkan visual Ida. Ida yang lagi senyum, Ida yang tertawa lepas, Ida yang selalu terlihat anggun apapun yang dipakainya, Ida yang menatapnya dengan mata sembab penuh air mata.
“Le?”
“Ya, Bun?”
“Malah ngelamun? Jangan - jangan aslinya udah ada calon tapi diem - diem aja? Bunda nggak dikenalin?”
“Bunda apaan, sih. Nanti kalo ada Hafid kenalin deh, Bun.” Bunda udah kenal orangnya, hati kecilnya menyahut. Menyulut pertengkaran batin di dalam dirinya. Apaan, woy! Kaya udah fix bakal sama Ida aja. Fix in aja lah, bro. Mumpung ada alasan kuat nih.
“Iya, Bunda tunggu. Pokoknya, yang penting kamu nggak dilangkahi. Bunda tutup dulu, ya. Bunda mau balik ke kamar Mbakmu. Kamu subuh terus olahraga sana.”
***
Hafid semakin pusing. Saat pekerjaannya mengalami puncak deadline dan reputasinya dipertaruhkan, dia malah luar biasa susah untuk fokus. Dan ida… gadis itu belum terlihat di manapun akhir - akhir ini. Dan dia juga belum mencoba datang ke rumahnya lagi. Karena memang belum sempat.
Hari ini dia akan bertemu lagi dengan Azra, sebelum sahabatnya itu pulang ke Singapore lusa. Dia butuh banget third person point of view tapi sungguh, dia belum siap dihakimi oleh siapapun atas perbuatannya.
“Dul, gue udah mau jalan, ini.” Katanya di telpon, saat berhenti di lampu merah dekat kantornya. “Udah sampe? Oke deh. Tunggu sana, yak.”
Begitulah. Percakapan cowok memang selalu singkat. Padat. Jelas. Tidak bertele-tele. Dan mereka sudah terlalu paham satu sama lain bahkan tanpa kata. Mereka berdua hampir selalu sama-sama dari kecil, kecuali saat Azra pindah ke Jakarta kelas dua SD dan kembali lagi ke Jogja saat kelas dua SMP. Selain konfliknya karena sahabatnya Icha, mereka berdua masih besties sampai sekarang.
Dia berhenti lagi di lampu merah berikutnya, dan masih akan banyak lagi sebelum dia sampai di tempat janjian. Tapi untungnya hari ini nggak terlalu macet, jadi dia nggak akan terlalu terlambat. Dia senang memikirkan perjalanannya yang tidak terlalu terhambat, saat matanya menangkap sosok yang dia kenal.
“Ida?”
Yap! Itu Ida. dia nggak tahu kenapa Ida bisa sampai daerah sini, apakah karena tempat kerjanya dekat sini, atau dia habis dari mana? Tanpa sadar, dia malah mengikuti laju motor gadis itu saat lampu berubah hijau.
Hafid terlalu fokus pada motor matic merah itu. Untungnya dia tidak menabrak atau menyerempet sesuatu! Teledor banget, kan?! Dia menepi dan berhenti tepat waktu saat motor matic merah itu berbelok masuk ke salah satu rumah sakit ternama di Jakarta Pusat.
Dering ponsel yang mengagetkannya membuyarkan semua asumsi yang hampir terbentuk di kepalanya. Sial, Azra nelpon! Gue lupa!
“Dul, sori, mecet….macet. Bentar lagi sampe.”
Dia bergegas melanjutkan perjalanannya sebelum Raden Bagus Azra tumbuh tanduknya.
***
Dia sampai di tempat janjian lima belas menit kemudian, dengan disambut wajah kecut Azra. Dia lucky, karena ternyata rumah sakit yang Ida tuju tidak masih tidak terlalu jauh dari tempat mereka janjian.
“Ngaretnya nggak kira-kira, Dul!”
“Sori lah, macet kan human error, nggak bisa diprediksi.” Dia ngeles kayak bajaj. Dia membaca buku menu yang tadi di taruh Azra di depannya sementara Azra membantu memanggilkan waiters untuknya.
Dia menyebutkan pesanannya dan mengembalikan buku menu kepada waiters sebelum mereka berbincang berdua.
“Jam berapa besok pesawat lo?”
“Siang jam dua an.”
“Kok lo nggak ikut apa itu, kata si Icha, training itu di Malaysia? Ngomong - ngomong lo tau kan, kalo dia kerja di perusahaan nyokap?”
“Gue tau, dia yang nggak tau. Biar aja, Dul. Gue nggak ikut aja, banyak yang mesti gue kelarin di sini dan disono. Mungkin tahun depan atau tahun depannya lagi.”
“Kalian masi nggak ada perkembangan? Lo bilang mau minta maaf sama dia.” Dia agak sebel karena Azra terus mengulur janjinya untuk berbaikan dan meluruskan kesalahpahamannya dengan sahabat kecilnya.
“Ya sabar. Ini gue lagi usaha.”
“Usaha apaan.”
“Ya kan nggak mungkin gue baekan sama dia trus nggak aada apa-apa, Dul.” Azra gemas. Hafid mengernyitkan dahinya heran. Baikan ya baikan aja, tho? Emang abis itu mau ngapain? Azra yang bisa membaca semua pertanyaan itu dari raut mukanya menggeleng. “Amatir, lo! Gue kan udah lama suka sama dia.”
Itu yang dia nggak habis pikir. Orang suka, bukannya dia kejar, diperjuangin, malah ditinggal, disakiti! “Terus? Hubungannya sama perjuangan lo sekarang apa? Yang gue liat lo masih betah aja main kucing-kucingan sama dia.”
Azra berdecak keras. Harus rela menahan jawabannya karena waiters datang mengantarkan pesanan mereka. “Tumben nggak pesen kopi.” Azra gagal fokus melihat minuman Hafid.
“Lagi pengen teh-teh herbal gitu.”
“Kaya Ida aja, lo. Dia kan hobi ngeringin daun ama bunga buat dibikin teh.” Azra tertawa mengingat kelakuan unik Ida yang nggak biasa menurut orang jawa.
Hafid juga mau nggak mau jadi ikutan nostalgia. Ida pernah cerita dulu waktu kecil dia sering dirawat sama neneknya yang di Manado, yang memang asli orang Yunan, China. Seingatnya, itu satu - satunya orang selain Maminya yang pernah dia ceritakan kepada mereka. Ida sangat tertutup tentang keluarganya.
“Apa kabar coba dia sekarang.” Agak aneh mendengarnya karena Azra dan Ida bagaikan Tom & Jerry di kelompoknya.
“Dia satu gedung sama gue.” Azra nyaris tersedak minumannya. “Gue baru tau baru - baru ini.”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved