Bab 9 DELAPAN - SHOULD I OR SHOULDN'T I?
by Veedrya
10:33,May 01,2021
Ida's
“Lo ngapain disini?” Ida kaget menemukan Hafid berdiri di depan pintu apartemennya saat dia pulang.
Karena terlalu asyik ngobrol dengan sahabat - sahabat ceweknya, dia jadi lupa waktu dan pulang kemalaman. Sekarang sudah lewat jam sepuluh malam. Dia pengen istirahat. Bukan bertemu Hafid dan menghadapinya seperti tempo hari.
She’s so unprepared for this.
“Nungguin lo.”
“Ada apaan?” Dia berusaha mengabaikan Hafid, berjalan melewatinya dan membuka pintu apartemennya.
“Gue bawain buah. Gue liat kemaren lo pucet.” Katanya menyodorkan plastik yang dia bawa.
Ida menatap Hafid lama. Yang ditatap malah membalasnya dalam diam tanpa berkedip. Ida mendesah panjang sebelum meraih kantong kresek di tangan Hafid, yang malah menjauhkan plastik itu dari jangkauan Ida. Ida melotot nggak terima.
“Bukannya kita perlu bicara?” Kata Hafid.
“Bukannya nggak ada yang perlu dibicarain lagi? Makanya kemaren lo pergi?” Ida membalas sarkas.
“Gue serius, Ida.”
“Gue juga serius Hafid.” Hafid tetap mematung disana. “Terserah lo, deh. Gue mau masuk.” Katanya sambil menutup pintu di belakangnya.
Ida menyandarkan badannya di balik pintu yang tertutup. Menekan telapak tangannya kuat - kuat ke dada, berharap dengan begitu, debarannya bisa memelan dan kembali normal. Dia mengintip dari lubang pintunya dan heran saat Hafid masih berdiri disana.
“Ih, maunya apa, sih?” Ida berbisik gelisah. Dia bimbang harus bagaimana. Dari kapan Hafid menunggunya disana? Sampai kapan? Haruskah dia mengajaknya masuk?
Dua kali dia mengajak Hafid masuk ke rumahnya, dua kali pula kejadian tidak mengenakkan terjadi. Walaupun yang terakhir, dia lebih suka seperti itu, karena berarti tidak terjadi apa - apa setelahnya. Dia mendesah keras sebelum membuka pintunya lagi. Hafid tersenyum saat melihatnya.
“Lima menit! Nggak lebih nggak kurang!.” katanya membuka lebar pintunya, mempersilahkan Hafid masuk.
Hafid melangkah masuk sambil tersenyum menang. Di letakkannya plastik bungkusan buahnya di meja ruang tamu yang sekaligus juga ruang TV Ida, lalu duduk di sofa. Sofa tempat mereka…. Aaaah,udah! Ida memarahi dirinya sendiri karena mengingat malam itu, membuat wajahnya mererah.
“Gue mau ngobrolin soal malam itu.”
Dia nyaris terjengkang dalam usahanya duduk di sofa single di ujung lain ruang tamunya. Apa yang mau diobrolin?!
“Gue udah inget kejadian malem itu.” Hafid melanjutkan saat dia diam saja. “Lo..... Apa abis itu…. Lo…”
“Nggak.”
“Huh?
“Gue nggak hamil.”
“Serius?” Kok dia malah kedengeran kecewa sih, Ida membatin.
“Gue tau itu nggak disengaja. Jadi paginya gue ke apotik beli morning after pill. Lo tenang aja.”
“Morni… what? Tau dari mana sih, yang begituan.”
“Yang jelas gue tau, walaupun gue nggak pernah bayangin bakal beli dan pake sendiri.” Dia menjawab ketus.
“Sori.”
What? Dia tau kegiatan mereka berdua dulu itu nggak seharunya terjadi dan nggak sengaja, tapi menerima permintaan maaf pendek seperti tanpa niat begitu, baginya malah hanya memperparah keadaan. Akan lebih baik kalau Hafid diam saja dan mereka melupakannya. Move on dengan hidup masing - masing.
“Lo… yakin pil itu efektif?”
“Maksud lo?”
Hafid berdehem. Seperti agak gugup. “Maksud gue, kalo ternyata ada…”
“Nggak ada Hafid. Aman. Gue udah dapet tamu bulanan gue awal bulan kemaren! Its been five minutes, you should go.”
***
Hafid’s
Ini nggak bagus! Sama sekali nggak bagus!
Dia kurang persiapan, dan dia gugup luar biasa. Semua kata-katanya dibalikin sama Ida.
“It's been five minutes, you should go.”
Dia bergeming. Nggak mau! Dia udah nekad dateng kesini buat uji nyali trus mau diusir gitu aja? Nggak segampang itu Marimar!
Tapi kenyataannya, memang nyaris segampang itu untuk pergi keluar dari rumah Ida. Butuh pengendalian diri yang kuat agar dia tetap duduk tenang.
“Kenapa masih disitu?” Ida menatapnya heran.
“Gue belum ngomong apapun. Jadi gue bakal tetep disini sampe lo dengerin omongan gue.” Katanya mantap dan tenang.
Cewek di depannya mendesah keras. “Hafid, please. Nggak ada yang perlu diomongin!”
“Ada. Banyak. Misalnya, kenapa lo nggak bilang langsung ama gue apa yang terjadi malem itu paginya?” Ya, benar! Alih - alih mengonfrontasinya secara langsung seperti gaya Ida biasanya, dia malah seperti menghindar.
Ida bergerak tak nyaman di kursinya. Walaupun dia masih sekuat tenaga mempertahankan wajah gaharnya, yang menurut Hafid malah terlihat cute itu.
“Nggak ada alasan khusus.”
Hafid mendengus. “Da, ini tuh serius. Gue nggak tau gimana pergaulan lo selama ini disini gimana, tapi kemaren itu yang pertama buat gue, and i’m taking this seriously.”
Ida menoleh cepat dengan mata menyala marah. Salah ngomong gue, kayaknya. Hafid membatin kecut.
“Jadi menurut lo, gue udah sering ngelakuin yang begituan? Dan hal ini sama sekali nggak serius buat gue?!”
Nah, kan! “Nggak gitu, Da. Maksud gue.”
“This conversation is getting absurd! Gue nggak mau lanjutin lagi! Ngomong - ngomong lima menit lo udah abis dari tadi.” Dia beranjak ke pintu dan membukanya lebar. Isyarat keras bagi Hafid untuk pergi.
Hafid mendesah antara pasrah dan dongkol luar biasa. Memang seharusnya dia lebih prepared kalau mau ngomong sama cewek bar - bar ini.
“Da,” Dia mencoba lagi, tapi Ida malah memalingkan wajahnya, nggak mau menatap sama sekali, membuat Hafid ingin salto saja, rasanya.
“Buruan! Gue capek, mau rehat!” Ida sedikit membentak saat Hafid masih saja anteng berdiri di tengah pintunya.
Hafid nggak ingin membuat mereka menjadi tontonan, apalagi ini sudah malam. Tetangga bisa melaporkannya ke security dan masalah bakal jadi sampai kemana - mana. Yang sekarang ini dihindarinya tentu saja. Akhirnya dengan berat hati dia keluar. Ida langsung menutup pintunya keras, membuatnya terlonjak dan menyumpah kecil karena kaget.
“Dasar Mak Lampir! Untung aja gue nggak jadi ngajakin dia nikah! Bisa kaya di neraka hidup gue kalo tiap hari ketemu dia!” Dia menggerutu sebal, berbalik pulang ke unitnya di lantai sembilan.
***
Yang Hafid heran, meskipun dia sekarang tahu bahwa mimpinya bukan sekedar mimpi, tapi kilas bayang yang diingat oleh alam bawah sadarnya, dia tidak merasa lega sama sekali. Malah lebih parah! Dulu dia hanya memimpikannya, dan terbangun karena mimpi basah. Setidaknya dia mendapatkan jatah tidur yang layak walaupun harus keramas nyaris setiap pagi.
Tapi sekarang, dia malah sering terbangun tengah malah dengan tubuh panas mendamba. Seperti malam ini. Dia terbangun jam setengah tiga pagi dan tidak bisa tidur lagi karena merasa tidak nyaman di bawah sana. Dia memutuskan untuk mandi air dingin agar hasratnya reda. Tapi setelahnya pun, matanya masih nyalang enggan terpejam.
“Apaan, sih! Gue kek perjaka mesum sumpah!” Dia menjambaki rambut lembabnya. Merutuki reaksi badannya.
Dia bisa menahan dirinya saat bersama Ida. Secara sadar. Seperti tempo hari saat dia nekat ke apartemen gadis itu untuk mengajaknya bicara. He survived many times! He’s a man with a logic. Tapi sepertinya tubuh dan alam bawah sadarnya berpikir lain. Dia menginginkannya, sampai terasa sesak dan sakit.
Dia selalu berdebar saat bertemu Ida. Itu hal yang tidak pernah berubah sejak mereka pertama kali bertemu. Sensasi sayap kupu - kupu yang berkepak di perutnya dan bola yang menekan dadanya, semua masih terasa sama saat bertemu dengan Ida. Tapi sekarang ada perasaan lain.
Rasa marah karena Ida berbohong padanya dan meninggalkannya tujuh tahun lalu. Perasaan itu begitu dominan hingga membuat perasaan lainnya terkubur dan terlupakan. Bukan. Bukan terlupakan, tapi sengaja dilupakan dengan dalih move on.
Makanya, sekarang dia merasa aneh dengan reaksi tubuhnya yang selalu mendamba dan seperti tak pernah puas. Apa dia harus mencoba melakukannya dengan perempuan lain? Membuktikan bahwa ini hanya hormon saja? Yang akan hilang setelah dia mendapatkan pelampiasan?
“Amit-amit.” Baru memikirkannya saja sudah membuatnya bergidik.
Karena nggak bisa tidur lagi, Hafid memutuskan untuk mengecek kerjaannya hari ini. Dia nggak suka waktunya terbuang percuma. Apalagi untuk memikirkan Ida dan tete bengek perasaannya. Terlalu complicated! Deretan angka dan data serta neraca lebih mudah dipahaminya daripada labirin perasaannya sendiri.
Dia pernah amat mencintai Ida, tapi dia tidak pernah amat membenci Ida. Lebih ke… marah? Sebal? Mungkin seperti itu. Dia ingin Ida meminta maaf karena membuatnya sakit dan merasa bodoh dulu. Bodoh karena terlalu percaya hingga bersedia melakukan apa saja untuk gadis itu.
Ponsel di nakasnya berbunyi, dia buru-buru mengambilnya dan melihat siapa yang menelpon subuh-subuh begini. Cepat-cepat digesernya layar ponselnya saat membaca nama Bunda disana.
“Assalamu’alaikum, Bunda.”
“Waalaikumsalam, le. Tumben udah bangun jam segini.” Hafid melirik jam mejanya. Belum genap setengah lima. “Udah sholat?”
“Eh belum, Bun. Abis ini deh. Bunda tumben telpon subuh - subuh? Sehat - sehat kan, semua?”
“Bunda di rumah sakit ini. Mbakmu barusan mbabar (lahiran). Cowok, le.”
“Alhamdulillah…. Ponakan baru, nih! Nanti Hafid dikirim fotonya ya, Bun.” cepat - cepat dia menjawab karena sedetik tadi pikirannya malah kembali ke Ida. Beneran dia nggak hamil? Dia bohong nggak, ya?
“Le, minggu depan adekmu Hana lamaran. Kamu mau dateng?”
“Kok ndadak, Bun?”
“Nggak ndadak. Bunda udah pernah bilang, kok. Hana mau di lamar. Hanan nggak bisa pulang katanya, tugas lagi banyak - banyaknya. Kamu gimana?”
Hana dan Hanan adalah adik kembarnya. Sepasang cowok cewek. Adiknya yang cewek bekerja menjadi perawat setelah menyelesaikan D3 keperawatannya di Jogja, sedangkan Hanan, yang cowok, kulian di PTN dii Surabaya sambil bekerja. Sekarang dia sedang menyusun skripsi.
“Hafid belum bisa pulang awal tahun ini, Bun.” Jawabnya.
“Terus kamu gimana? Bunda nggak mau kamu dilangkahi sama adekmu, Le. Walaupun kamu itu cowok. Sebentar lagi umurmu 26. Sudah pantes kamu buat nikah. Masa belum ada calon?”
“Lo ngapain disini?” Ida kaget menemukan Hafid berdiri di depan pintu apartemennya saat dia pulang.
Karena terlalu asyik ngobrol dengan sahabat - sahabat ceweknya, dia jadi lupa waktu dan pulang kemalaman. Sekarang sudah lewat jam sepuluh malam. Dia pengen istirahat. Bukan bertemu Hafid dan menghadapinya seperti tempo hari.
She’s so unprepared for this.
“Nungguin lo.”
“Ada apaan?” Dia berusaha mengabaikan Hafid, berjalan melewatinya dan membuka pintu apartemennya.
“Gue bawain buah. Gue liat kemaren lo pucet.” Katanya menyodorkan plastik yang dia bawa.
Ida menatap Hafid lama. Yang ditatap malah membalasnya dalam diam tanpa berkedip. Ida mendesah panjang sebelum meraih kantong kresek di tangan Hafid, yang malah menjauhkan plastik itu dari jangkauan Ida. Ida melotot nggak terima.
“Bukannya kita perlu bicara?” Kata Hafid.
“Bukannya nggak ada yang perlu dibicarain lagi? Makanya kemaren lo pergi?” Ida membalas sarkas.
“Gue serius, Ida.”
“Gue juga serius Hafid.” Hafid tetap mematung disana. “Terserah lo, deh. Gue mau masuk.” Katanya sambil menutup pintu di belakangnya.
Ida menyandarkan badannya di balik pintu yang tertutup. Menekan telapak tangannya kuat - kuat ke dada, berharap dengan begitu, debarannya bisa memelan dan kembali normal. Dia mengintip dari lubang pintunya dan heran saat Hafid masih berdiri disana.
“Ih, maunya apa, sih?” Ida berbisik gelisah. Dia bimbang harus bagaimana. Dari kapan Hafid menunggunya disana? Sampai kapan? Haruskah dia mengajaknya masuk?
Dua kali dia mengajak Hafid masuk ke rumahnya, dua kali pula kejadian tidak mengenakkan terjadi. Walaupun yang terakhir, dia lebih suka seperti itu, karena berarti tidak terjadi apa - apa setelahnya. Dia mendesah keras sebelum membuka pintunya lagi. Hafid tersenyum saat melihatnya.
“Lima menit! Nggak lebih nggak kurang!.” katanya membuka lebar pintunya, mempersilahkan Hafid masuk.
Hafid melangkah masuk sambil tersenyum menang. Di letakkannya plastik bungkusan buahnya di meja ruang tamu yang sekaligus juga ruang TV Ida, lalu duduk di sofa. Sofa tempat mereka…. Aaaah,udah! Ida memarahi dirinya sendiri karena mengingat malam itu, membuat wajahnya mererah.
“Gue mau ngobrolin soal malam itu.”
Dia nyaris terjengkang dalam usahanya duduk di sofa single di ujung lain ruang tamunya. Apa yang mau diobrolin?!
“Gue udah inget kejadian malem itu.” Hafid melanjutkan saat dia diam saja. “Lo..... Apa abis itu…. Lo…”
“Nggak.”
“Huh?
“Gue nggak hamil.”
“Serius?” Kok dia malah kedengeran kecewa sih, Ida membatin.
“Gue tau itu nggak disengaja. Jadi paginya gue ke apotik beli morning after pill. Lo tenang aja.”
“Morni… what? Tau dari mana sih, yang begituan.”
“Yang jelas gue tau, walaupun gue nggak pernah bayangin bakal beli dan pake sendiri.” Dia menjawab ketus.
“Sori.”
What? Dia tau kegiatan mereka berdua dulu itu nggak seharunya terjadi dan nggak sengaja, tapi menerima permintaan maaf pendek seperti tanpa niat begitu, baginya malah hanya memperparah keadaan. Akan lebih baik kalau Hafid diam saja dan mereka melupakannya. Move on dengan hidup masing - masing.
“Lo… yakin pil itu efektif?”
“Maksud lo?”
Hafid berdehem. Seperti agak gugup. “Maksud gue, kalo ternyata ada…”
“Nggak ada Hafid. Aman. Gue udah dapet tamu bulanan gue awal bulan kemaren! Its been five minutes, you should go.”
***
Hafid’s
Ini nggak bagus! Sama sekali nggak bagus!
Dia kurang persiapan, dan dia gugup luar biasa. Semua kata-katanya dibalikin sama Ida.
“It's been five minutes, you should go.”
Dia bergeming. Nggak mau! Dia udah nekad dateng kesini buat uji nyali trus mau diusir gitu aja? Nggak segampang itu Marimar!
Tapi kenyataannya, memang nyaris segampang itu untuk pergi keluar dari rumah Ida. Butuh pengendalian diri yang kuat agar dia tetap duduk tenang.
“Kenapa masih disitu?” Ida menatapnya heran.
“Gue belum ngomong apapun. Jadi gue bakal tetep disini sampe lo dengerin omongan gue.” Katanya mantap dan tenang.
Cewek di depannya mendesah keras. “Hafid, please. Nggak ada yang perlu diomongin!”
“Ada. Banyak. Misalnya, kenapa lo nggak bilang langsung ama gue apa yang terjadi malem itu paginya?” Ya, benar! Alih - alih mengonfrontasinya secara langsung seperti gaya Ida biasanya, dia malah seperti menghindar.
Ida bergerak tak nyaman di kursinya. Walaupun dia masih sekuat tenaga mempertahankan wajah gaharnya, yang menurut Hafid malah terlihat cute itu.
“Nggak ada alasan khusus.”
Hafid mendengus. “Da, ini tuh serius. Gue nggak tau gimana pergaulan lo selama ini disini gimana, tapi kemaren itu yang pertama buat gue, and i’m taking this seriously.”
Ida menoleh cepat dengan mata menyala marah. Salah ngomong gue, kayaknya. Hafid membatin kecut.
“Jadi menurut lo, gue udah sering ngelakuin yang begituan? Dan hal ini sama sekali nggak serius buat gue?!”
Nah, kan! “Nggak gitu, Da. Maksud gue.”
“This conversation is getting absurd! Gue nggak mau lanjutin lagi! Ngomong - ngomong lima menit lo udah abis dari tadi.” Dia beranjak ke pintu dan membukanya lebar. Isyarat keras bagi Hafid untuk pergi.
Hafid mendesah antara pasrah dan dongkol luar biasa. Memang seharusnya dia lebih prepared kalau mau ngomong sama cewek bar - bar ini.
“Da,” Dia mencoba lagi, tapi Ida malah memalingkan wajahnya, nggak mau menatap sama sekali, membuat Hafid ingin salto saja, rasanya.
“Buruan! Gue capek, mau rehat!” Ida sedikit membentak saat Hafid masih saja anteng berdiri di tengah pintunya.
Hafid nggak ingin membuat mereka menjadi tontonan, apalagi ini sudah malam. Tetangga bisa melaporkannya ke security dan masalah bakal jadi sampai kemana - mana. Yang sekarang ini dihindarinya tentu saja. Akhirnya dengan berat hati dia keluar. Ida langsung menutup pintunya keras, membuatnya terlonjak dan menyumpah kecil karena kaget.
“Dasar Mak Lampir! Untung aja gue nggak jadi ngajakin dia nikah! Bisa kaya di neraka hidup gue kalo tiap hari ketemu dia!” Dia menggerutu sebal, berbalik pulang ke unitnya di lantai sembilan.
***
Yang Hafid heran, meskipun dia sekarang tahu bahwa mimpinya bukan sekedar mimpi, tapi kilas bayang yang diingat oleh alam bawah sadarnya, dia tidak merasa lega sama sekali. Malah lebih parah! Dulu dia hanya memimpikannya, dan terbangun karena mimpi basah. Setidaknya dia mendapatkan jatah tidur yang layak walaupun harus keramas nyaris setiap pagi.
Tapi sekarang, dia malah sering terbangun tengah malah dengan tubuh panas mendamba. Seperti malam ini. Dia terbangun jam setengah tiga pagi dan tidak bisa tidur lagi karena merasa tidak nyaman di bawah sana. Dia memutuskan untuk mandi air dingin agar hasratnya reda. Tapi setelahnya pun, matanya masih nyalang enggan terpejam.
“Apaan, sih! Gue kek perjaka mesum sumpah!” Dia menjambaki rambut lembabnya. Merutuki reaksi badannya.
Dia bisa menahan dirinya saat bersama Ida. Secara sadar. Seperti tempo hari saat dia nekat ke apartemen gadis itu untuk mengajaknya bicara. He survived many times! He’s a man with a logic. Tapi sepertinya tubuh dan alam bawah sadarnya berpikir lain. Dia menginginkannya, sampai terasa sesak dan sakit.
Dia selalu berdebar saat bertemu Ida. Itu hal yang tidak pernah berubah sejak mereka pertama kali bertemu. Sensasi sayap kupu - kupu yang berkepak di perutnya dan bola yang menekan dadanya, semua masih terasa sama saat bertemu dengan Ida. Tapi sekarang ada perasaan lain.
Rasa marah karena Ida berbohong padanya dan meninggalkannya tujuh tahun lalu. Perasaan itu begitu dominan hingga membuat perasaan lainnya terkubur dan terlupakan. Bukan. Bukan terlupakan, tapi sengaja dilupakan dengan dalih move on.
Makanya, sekarang dia merasa aneh dengan reaksi tubuhnya yang selalu mendamba dan seperti tak pernah puas. Apa dia harus mencoba melakukannya dengan perempuan lain? Membuktikan bahwa ini hanya hormon saja? Yang akan hilang setelah dia mendapatkan pelampiasan?
“Amit-amit.” Baru memikirkannya saja sudah membuatnya bergidik.
Karena nggak bisa tidur lagi, Hafid memutuskan untuk mengecek kerjaannya hari ini. Dia nggak suka waktunya terbuang percuma. Apalagi untuk memikirkan Ida dan tete bengek perasaannya. Terlalu complicated! Deretan angka dan data serta neraca lebih mudah dipahaminya daripada labirin perasaannya sendiri.
Dia pernah amat mencintai Ida, tapi dia tidak pernah amat membenci Ida. Lebih ke… marah? Sebal? Mungkin seperti itu. Dia ingin Ida meminta maaf karena membuatnya sakit dan merasa bodoh dulu. Bodoh karena terlalu percaya hingga bersedia melakukan apa saja untuk gadis itu.
Ponsel di nakasnya berbunyi, dia buru-buru mengambilnya dan melihat siapa yang menelpon subuh-subuh begini. Cepat-cepat digesernya layar ponselnya saat membaca nama Bunda disana.
“Assalamu’alaikum, Bunda.”
“Waalaikumsalam, le. Tumben udah bangun jam segini.” Hafid melirik jam mejanya. Belum genap setengah lima. “Udah sholat?”
“Eh belum, Bun. Abis ini deh. Bunda tumben telpon subuh - subuh? Sehat - sehat kan, semua?”
“Bunda di rumah sakit ini. Mbakmu barusan mbabar (lahiran). Cowok, le.”
“Alhamdulillah…. Ponakan baru, nih! Nanti Hafid dikirim fotonya ya, Bun.” cepat - cepat dia menjawab karena sedetik tadi pikirannya malah kembali ke Ida. Beneran dia nggak hamil? Dia bohong nggak, ya?
“Le, minggu depan adekmu Hana lamaran. Kamu mau dateng?”
“Kok ndadak, Bun?”
“Nggak ndadak. Bunda udah pernah bilang, kok. Hana mau di lamar. Hanan nggak bisa pulang katanya, tugas lagi banyak - banyaknya. Kamu gimana?”
Hana dan Hanan adalah adik kembarnya. Sepasang cowok cewek. Adiknya yang cewek bekerja menjadi perawat setelah menyelesaikan D3 keperawatannya di Jogja, sedangkan Hanan, yang cowok, kulian di PTN dii Surabaya sambil bekerja. Sekarang dia sedang menyusun skripsi.
“Hafid belum bisa pulang awal tahun ini, Bun.” Jawabnya.
“Terus kamu gimana? Bunda nggak mau kamu dilangkahi sama adekmu, Le. Walaupun kamu itu cowok. Sebentar lagi umurmu 26. Sudah pantes kamu buat nikah. Masa belum ada calon?”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved