Bab 3 DUA - TRYING TO FIX THE DESTINY

by Veedrya 09:52,May 01,2021
Dia kesiangan! Dia mengunci unit apartemennya dengan terburu - buru dan berlari menuju lift tepat saat benda kotak itu berada dua lantai di atasnya dan sedang dalam perjalanan turun. Baguslah! Dia nggak harus pakai lift yang satunya yang memang agak lama pergerakannya.
Pintu lift terbuka di depannya. Dia sudah siap melangkah saat dia melihat orang yang paling dihindarinya di muka bumi ini. Setelah sebulan berhasil menghindarinya, kenapa harus hari ini?! Hari penting ini?! Dan saat dia sudah amat terlambat??
“Mau masuk nggak?” Suara dinginnya menyentakkan Ida.
“Eh, iya.” Dia terpaksa ikut masuk. Dia sudah terlambat. Kalau turun pakai tangga…. Ini lantai enam, dan motornya di basement, bisa kekar duluan betisnya.
Dia masuk, dan melihat basement sudah dipencet lebih dulu, jadi dia menyingkir ke pojokan. Berusaha sejauh mungkin dan tidak membuat interaksi apapun dengan teman seperjalanannya, satu-satunya ini. Dan Hafid juga sepertinya berpikir lebih baik seperti ini. Dan lagi, tidak ada hal yang perlu di bicarakan di antara mereka. Dia tersenyum kecut.
Seremeh itu harga dirinya. Keberadaannya. Sampai kapan dia bisa terbiasa kalau hafid udah nggak peduli lagi sama dia? Mungkin sampai dia juga bisa nggak peduli lagi sama Hafid.
Keheningan di antara mereka terpecahkan oleh dering ponsel Ida. Buru - buru dia mengangkatnya saat nama Mami muncul di layar.
“Iya, Ida lagi mau berangkat dari apartemen. Sori, Mi, tadi kesiangan ehehehehe. Okay. See you there.”
Mereka berpisah saat keluar dari lift di basement. Ida menuju parkir khusus motor, dan Hafid ke bagian seberangnya.
Dulu Papinya membelikannya mobil. Sepaket dengan apartemen seisinya dan uang kuliah. Tapi saat merintis usahanya empat tahun lalu, dia menjual mobilnya untuk membeli ruko patungan dengan Safira dan membeli motor matic sebagai ganti alat transport nya.
Usahanya di bidang desain perhiasan dan hiasan dinding berjalan lumayan ramai. Tidak sampai membuatnya kaya raya, tapi, dia jadi punya simpanan untuk hidupnya walaupun tidak banyak. Untungnya, ruko dan isinya sudah milik sendiri, bukan lagi sewa. Operasionalnya hanya membeli bahan baku dan menggaji tiga karyawannya.
Seperti biasa, jalanan Jakarta amat lumayan macet pada jam sepuluh pagi. Tapi terimakasih pada penemu motor, dia bisa selap selip dan menghemat waktu lebih banyak, sehingga tidak sampai satu setengah jam kemudian dia sudah sampai di lobby rumah sakit.
Dia sudah sering kesini, sehingga hafal kemana tujuannya. Ruang Radioterapi.
“Mami?”
“Udah sampai?” Wajah pucat itu sumringah melihat putri semata wayangnya. Ida menghambur memeluk tubuh yang kian hari kian mengurus itu. “Maaf, ya. Mami bikin kamu capek bolak balik.”
“Mami yang capek bolak balik Jogja Jakarta begini.” Ida mengusap rambut Maminya yang kian menipis. “Udah jamnya. Kok belum di panggil?”
“Dokternya belum dateng. Ada operasi katanya.”
Maminya divonis mengidap kanker saat Ida kelas satu SMP. Tepat sebelum sidang percerain Papi Maminya di sahkan dan mereka pindah ke Jawa. Mami terus diam hingga saat ini. Ida tau saat membongkar barang-barang Maminya karena membersihkan kamar. Awalnya Mami mengelak, tapi setelah Ida mengacungkan bukti vonis dokter, semua cerita akhirnya terkuak.
Mereka menangis berdua saat itu. Perceraian Mami Papinya bukan perceraian yang mudah. Papi selingkuh. Apalagi saat itu Papinya langsung mendapatkan kasus, membuat mereka stress dan jadi buah bibir tetangga. Dan setelah dinyatakan bersih, dengan santainya Papi menggelar pernikahan dengan sekertarisnya, selingkuhannya, sepupu jauh yang sudah dianggap Mami layaknya adik sendiri.
Belum lagi Eyang yang malah mengusir Mami dari rumah utama saat mereka pulang ke Jogja karena bercerai. Mengatai Mami bodoh karena bercerai dari Papi yang anggota dewan, mapan dan terpandang. Mami hanya diam menerima semuanya. Berusaha dari nol dan memberikan selayak yang dia bisa pada Ida. seperti dulu saat Papinya masih ada.
“Bu Elly? Sudah siap?” Suster memanggil namanya.
Ida membantu Mami pindah dari ranjang ke kursi roda, dan mendorongnya menuju ruang radiotherapy. Kali ini pun, Mami tenang luar biasa, dan Ida gugup setengah mati. Hal ini selalu berulang setiap kali Mami menjalani pemeriksaan.
Alasannya menabung berpuluh juta adalah untuk Maminya. Dia yang memaksa Mami untuk mau di terapy saat gejala kankernya sudah amat kentara. Sekarang dia punya uang. Berapapun akan dia berikan untuk Maminya, walaupun dia harus mengemis. Orang yang lebih berharga dari hidupnya sendiri.
Sengaja mereka melakukan pengobatan di luar Jogja karena tidak ingin ada yang tahu tentang hal ini. Mami tidak ingin di bicarakan lagi. Om nya dokter, dan tiga sepupunya masing - masing bidan dan perawat. Selain itu, tidak banyak rumah sakit yang menyediakan fasilitas radioterapi untuk kanker disana.
“Mami, Ida sayang Mami. Cepet sembuh.” Bisiknya mengecup dahi Maminya sebelum kursi rodanya diambil alih oleh suster dan mereka menghilang di balik pintu.
***
Maminya masih akan disini seminggu kedepan. Masih banyak pemeriksaan rutin yang harus dilakukan Mami. Dia tidak bisa membawanya pulang ke apartemen karena Papi secara pribadi mengenal pemilik dan menejer apartemen dan setiap saat secara bebas bisa meminta informasi siapa saja yang bertamu ke tempatnya.
Tidak ada larangan khusus untuknya dalam berteman. Hanya saja, apartemennya terlarang untuk Maminya. Jadi, karena hal itu, dia memutuskan Mami lebih baik menginap di rumah sakit selama masa perawatannya. Dengan begitu, dia bisa tenang saat meninggalkan Mami untuk bekerja saat tidak menungguinya.
Mami didiagnosa menderita kanker rahim stadium dua saat umurnya sebelas tahun. Tahun yang sama Mami menggugat cerai Papi. Tidak ada yang tahu persis keadaan Mami saat itu. Saat semua orang menyalahkan Mami dan sibuk menghujat serta menolak kehadiran janda dengan satu anak perempuan, Mami tetap tegar untuk Ida.
“Mami banyak minum air putih, ya.” Ida memberikan tumbler berisi air bening yang selalu dibawanya.
“Nduk, Mami biar baik kemo aja lagi, ya. Radioterapi mahal. Sayang uangmu”.
Ida mendesah. Lagi - lagi ini. Dia memilih pengobatan ini untuk Mami setelah berkonsultasi dengan dokter, karena efek kemoterapi yang sebelumnya dijalani Mami membuat keadannya semakin buruk. Mami kesakitan luar biasa saat kemo berlangsung, dan sering pingsan karena lemas. Lalu setelah kemo badannya juga jadi bengkak dan sakit. Membuat Ida tidak tega melihatnya.
Kombinasi Radioterapi dan Kemoterapi membuat rasa sakit Maminya lebih manusiawi. Dan hasilnya cepat terlihat. Walaupun biaya yang harus dia siapkan perbulan selalu membuatnya pusing saking mahalnya. Kadang, jika dia tidak bisa mengumpulkan uang bulan itu, terpaksa pengobatannya di rapel bulan depan dan hanya mengambil kemoterapi saja yang bisa ditanggungnya. Dokter sudah menegur, tapi dompet tak bisa berbohong. Dia amat berkecukupan, tapi untuk menyisihkan 35 - 50 juta perbulannya, dia amat kesulitan. Yang kaya kan Papi, bukan gue, batin Ida selalu untuk menenangkan diri.
Mami sengaja tidak diberitahu detail biaya pastinya. Tapi sepertinya informasi yang didapat Maminya sudah lebih advance.
“Mi, pengobatan ini lebih efektif daripada cuma kemo aja. Dokter juga bilang gitu.”
“Tapi kamu jadi nggak bisa nabung karena uangnya buat Mami terus.”
Ida melambaikan tangan, meremehkan. “Kan kamar Mami di tanggung BPJS. Ida cuma bayarin brobatnya aja ehehehe.”
Kali ini pun, Mami kalah, dan akhirnya terdiam pasrah.
“Mami istirahat ya, lusa ada jadwal kemo, kan. Ida mau ketemu dokter Awan dulu.”
Ruang kelas dua itu hanya diisi Maminya sendiri. Ida memastikan semua kebutuhan Maminya dapat dijangkau sebelum meninggalkan kamar dan pergi ke ruang dokter Awan.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk! Oh, Ida.Duduk, duduk.”
Ida tersenyum pada dokter muda akhir tiga puluhan yang menangani Maminya.
“Apa kabar? Udah dua bulan nggak nongol.” Sapanya basa basi dan sedikit menyindir.
Ida meringis. “Baik, dok. Uangnya belom mau dikumpulin, masih bandel kemana - mana aja kemaren ehehehe. Gimana keadaan Mami, Dok?”
Dokter Awan meluruskan duduknya. Mendadak perasaan Ida jadi tidak enak. “Diagnosa awal kanker rahim, 13 tahun lalu, stadium dua. Diangkat dua tahun kemudian, lalu muncul gejala kanker lain di payudara tujuh tahun lalu..”
Ida mengangguk. Dia tidak akan lupa bahwa rahim Maminya diangkat sejak saat itu, membuat Mami menjadi bulan-bulanan mantan suami dan keluarga besar karena tidak bisa melahirkan lagi, terutama anak laki-laki.
Bagi keturunan chinese seperti Papi dan Mami, memiliki keturunan laki-laki adalah segalanya. Ironis, karena wanita hamil tidak bisa memilih jenis kelamin bayinya, dan bayi yang dikandung juga tidak bisa menentukan akan jadi apa kelak mereka saat lahir. Gender should be a gift, not a curse. Dia membenci keluarganya, terutama Papinya karena itu. Alasan alain adalah karena anak-anak Papinya sekarang adalah kembar laki-laki.
“Boleh saya katakan kalau pengobatan Mami kamu lambat?”
Ida tidak punya pilihan. Memang jadwal pengobatan Maminya selama ini dipengaruhi oleh jumlah tabungannya. Dan pengobatannya baru dimulai tiga tahun lalu, saat dia sudah bisa menabung dan menghasilkan uang sendiri. Dia amat bersyukur karena sampai saat ini Maminya masih bisa hidup normal, tidak menjadi pesakitan dan terpenjara dalam tubuh yang sakit.
Dokter Awan melanjutkan. “Selama masa absen dari terapi, kami menemukan beberapa kejadian positif dan negatif.”
“Okay.” Ida mempersiapkan diri.
“Sel kanker di payudaranya sudah hilang. Dua - duanya. Tapi seperti yang kita diskusikan dua bulan lalu,” itu tanggal terakhir Maminya mendapat perawatan. Walaupun seharusnya tindakan dilakukan berkala setiap bulan, karena keterbatasan biaya, Ida harus rela menabung dulu. Meskipun begitu, dia hanya memberi jeda pada dirinya sendiri untuk absen maksimal tiga bulan. “Ada sel kanker yang ternyata tumbuh di lambung Mamimu. Belum sepenuhnya hilang saat ini, tapi sudah berkurang karena radioterapi. Dan kemungkinan kemoterapi lusa juga akan berlangsung baik kalau kondisi Mami masih stabil seperti sekarang.”
Dokter Awan kembali diam. Ida tidak berani menyela. Yang dikatakan tadi, walaupun bukan kabar bahagia banget, sudah pasti merupakan berita positifnya.
“Berita buruknya, ada sel kanker baru terdeteksi di tulang panggul.” Dia menyalakan layar untuk membaca Scan MRI Mami yang diambil pagi ini dan menunjuk gumpalan putih di panggul kanan Mami. “Kita tau bahwa kanker Mamimu ganas sekali. Jadi penyebarannya amat sangat cepat. Stress dan kadar basa dalam tubuh juga mempengaruhi perkembangannya. Alternatifnya, adalah operasi. Operasi pengangkatan kanker disini. Mamimu harus rela kehilangan tulang panggulnya.”
Ida mencoba tegar sejak tadi. Digigitnya pipi bagian dalamnya untuk menahan agar air matanya tidak jatuh.
“Mami nggak bisa jalan, dong, Dok?”
“Saya sudah bertanya pada spesialis tulang siang ini. Bisa dibuatkan panggul penopang dari gipsum atau platina. Tapi tentu saja akan ada efek samping seperti nyeri dan ngilu berlebihan.”
“Kemungkinan berhasilnya?”
“40 %.” Ida suka dengan cara penyampaian dokter Awan. Tidak bertele - tele, dan dia menyampaikan semuanya apa adanya. Tidak mencoba memberikan harapan. Hanya menyampaikan realita saja. “Kamu bisa tanya rincian biayanya di bagian administrasi jika kamu mau mempertimbangkan pilihan ini.”
“Terimakasih, dok. Saya pamit dulu.”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

132