Bab 2 Bisakah Kamu Tidak Pergi?
by Dunica Andrea
17:41,Feb 08,2022
Sebelum aku sempat memikirkannya, pintu kamar telah terbuka. Tubuhnya basah dan tanpa memandangku, dia langsung masuk ke kamar mandi. Setelah itu, aku mendengar suara air sedang mengalir.
Karena kedatangannya ini, aku sudah tidak bisa tidur lagi. Jadi aku bangun dan mengenakan pakaianku, lalu aku mengeluarkan baju tidurnya dari lemari baju dan meletakkannya di depan pintu kamar mandi. Setelah itu, aku menuju ke teras.
Sekarang sudah memasuki musim hujan. Di luar sedang gerimis kecil. Hari sudah gelap, tapi aku samar-samar masih bisa mendengar suara rintikan hujan yang mengenai batu.
Begitu mendengar ada pergerakan di belakangku, aku menoleh dan melihat Fariz sudah siap mandi. Bagian bawah tubuhnya ditutupi dengan handuk. Rambutnya basah dan tetesan air jatuh ke tubuhnya yang kekar. Inilah cara pria merayu wanita.
Mungkin karena menyadari bahwa aku sedang menatapnya, dia memandangku dan mengerutkan alisnya. "Kemari!" katanya dengan datar.
Karena aku patuh jadi aku berjalan ke arahnya dan melihat dia melemparkan handuk di tangannya kepadaku, lalu berkata dengan suaranya yang berat, "Bantu aku keringkan."
Dia selalu begini dan aku juga sudah terbiasa dengannya. Lalu dia duduk di tepi ranjang dan aku naik ke atas ranjang, lalu berlutut di belakangnya dan mengeringkan rambutnya.
"Besok adalah hari pemakaman kakek. Kita harus pergi ke rumah lama lebih awal." kataku. Bukan karena aku sengaja untuk berbicara dengannya, tapi karena dia terus memikirkan Esther, jadi aku khawatir dia akan melupakan hal ini jika aku tidak mengingatkannya.
"Yah." Dia memberiku sebuah respon kecil dan tidak mengatakan apapun lagi.
Aku tahu dia tidak ingin berbicara denganku, jadi aku tidak banyak bicara juga. Setelah mengeringkan rambutnya, aku berbaring kembali ke atas tempat tidur dan bersiap untuk tidur.
Mungkin karena sedang hamil, aku merasa sangat ngantuk. Biasanya setelah Fariz selesai mandi, dia pasti akan pergi ke ruang kerjanya hingga tengah malam. Tapi entah kenapa hari ini dia langsung mengganti baju tidur dan berbaring.
Meskipun aneh, aku juga tidak banyak bertanya. Hanya saja, dia tiba-tiba memelukku dan menarikku ke dalam pelukannya. Lalu dia menciumku dengan lembut.
Baju tidurku telah dia lepaskan. Aku menjadi panik dan langsung menahan tangannya yang menuju ke arah sana, lalu aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan hati-hati.
" Fariz, aku..."
"Tidak mau?" tanya dia. Sepasang matanya, yang gelap bagaikan malam, terlihat tajam dan liar.
Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku memang tidak ingin melakukannya, tapi bukan aku yang bisa memutuskan hal ini.
"Bisa lebih pelan kah?" Anak baru berusia enam minggu saja, jadi bisa bahaya jika tidak berhati-hati.
Dia mengerutkan alisnya, lalu membalikkan tubuhnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kemudian dia memulai semua ini dengan kasar. Aku merasa kesakitan hingga memutar tubuhku sendiri. Diriku hanya bisa berusaha semampu mungkin untuk melindungi anak ini agar tidak terluka.
Hujan di luar jendela semakin deras seiring dengan keganasannya. Sesaat kemudian, ada petir menyambar dan setelah sekian lama, dia bangkit berdiri dan pergi ke kamar mandi.
Aku kesakitan hingga berkeringat dingin. Awalnya diriku ingin bangun dan meminum beberapa obat penahan sakit. Tapi karena teringat pada anak, aku mengurungkan niatku.
"Nggg..." Ponsel di sebelah tempat tidur berdering. Itu adalah ponsel milik Fariz. Aku mengangkat kepala dan memandang jam di dinding. Sudah jam sebelas malam.
Hanya Esther yang bisa menelepon Fariz di jam segini.
Suara air di kamar mandi berhenti dan Fariz keluar dari kamar mandi, lalu dia menerima panggilannya. Aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakan di ujung telepon,
Terlihat Fariz mengerutkan alisnya dan berkata, " Esther, jangan konyol!"
Setelah selesai bicara, dia langsung mematikan panggilannya, lalu mengganti pakaiannya dan bersiap untuk pergi. Dulu aku mungkin akan berpura-pura untuk tidak melihatnya, tapi saat ini, aku tiba-tiba menghentikannya dan memohonnya dengan lembut, "Bisakah kamu tidak pergi malam ini?"
Fariz mengerutkan alisnya. Wajahnya yang tampan menunjukkan ekspresi dingin dan tidak senang, "Mulai lancang gara-gara baru dapat sedikit keuntungan?"
Kata-kata ini sungguh dingin dan ironis.
Aku tertegun sejenak. Untuk sesaat, aku merasa sangat lucu. Aku menatapnya dan berkata, "Besok adalah hari pemakaman kakek. Meskipun kamu tidak bisa merelakannya, tapi bukankah kamu harus tahu diri?"
"Apakah ini sebuah ancaman?" Dia memicingkan matanya dan memegang rahangku dengan kasar, lalu berkata dengan suara dingin, " Difa, kamu merasa hebat ya."
Karena kedatangannya ini, aku sudah tidak bisa tidur lagi. Jadi aku bangun dan mengenakan pakaianku, lalu aku mengeluarkan baju tidurnya dari lemari baju dan meletakkannya di depan pintu kamar mandi. Setelah itu, aku menuju ke teras.
Sekarang sudah memasuki musim hujan. Di luar sedang gerimis kecil. Hari sudah gelap, tapi aku samar-samar masih bisa mendengar suara rintikan hujan yang mengenai batu.
Begitu mendengar ada pergerakan di belakangku, aku menoleh dan melihat Fariz sudah siap mandi. Bagian bawah tubuhnya ditutupi dengan handuk. Rambutnya basah dan tetesan air jatuh ke tubuhnya yang kekar. Inilah cara pria merayu wanita.
Mungkin karena menyadari bahwa aku sedang menatapnya, dia memandangku dan mengerutkan alisnya. "Kemari!" katanya dengan datar.
Karena aku patuh jadi aku berjalan ke arahnya dan melihat dia melemparkan handuk di tangannya kepadaku, lalu berkata dengan suaranya yang berat, "Bantu aku keringkan."
Dia selalu begini dan aku juga sudah terbiasa dengannya. Lalu dia duduk di tepi ranjang dan aku naik ke atas ranjang, lalu berlutut di belakangnya dan mengeringkan rambutnya.
"Besok adalah hari pemakaman kakek. Kita harus pergi ke rumah lama lebih awal." kataku. Bukan karena aku sengaja untuk berbicara dengannya, tapi karena dia terus memikirkan Esther, jadi aku khawatir dia akan melupakan hal ini jika aku tidak mengingatkannya.
"Yah." Dia memberiku sebuah respon kecil dan tidak mengatakan apapun lagi.
Aku tahu dia tidak ingin berbicara denganku, jadi aku tidak banyak bicara juga. Setelah mengeringkan rambutnya, aku berbaring kembali ke atas tempat tidur dan bersiap untuk tidur.
Mungkin karena sedang hamil, aku merasa sangat ngantuk. Biasanya setelah Fariz selesai mandi, dia pasti akan pergi ke ruang kerjanya hingga tengah malam. Tapi entah kenapa hari ini dia langsung mengganti baju tidur dan berbaring.
Meskipun aneh, aku juga tidak banyak bertanya. Hanya saja, dia tiba-tiba memelukku dan menarikku ke dalam pelukannya. Lalu dia menciumku dengan lembut.
Baju tidurku telah dia lepaskan. Aku menjadi panik dan langsung menahan tangannya yang menuju ke arah sana, lalu aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan hati-hati.
" Fariz, aku..."
"Tidak mau?" tanya dia. Sepasang matanya, yang gelap bagaikan malam, terlihat tajam dan liar.
Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku memang tidak ingin melakukannya, tapi bukan aku yang bisa memutuskan hal ini.
"Bisa lebih pelan kah?" Anak baru berusia enam minggu saja, jadi bisa bahaya jika tidak berhati-hati.
Dia mengerutkan alisnya, lalu membalikkan tubuhnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kemudian dia memulai semua ini dengan kasar. Aku merasa kesakitan hingga memutar tubuhku sendiri. Diriku hanya bisa berusaha semampu mungkin untuk melindungi anak ini agar tidak terluka.
Hujan di luar jendela semakin deras seiring dengan keganasannya. Sesaat kemudian, ada petir menyambar dan setelah sekian lama, dia bangkit berdiri dan pergi ke kamar mandi.
Aku kesakitan hingga berkeringat dingin. Awalnya diriku ingin bangun dan meminum beberapa obat penahan sakit. Tapi karena teringat pada anak, aku mengurungkan niatku.
"Nggg..." Ponsel di sebelah tempat tidur berdering. Itu adalah ponsel milik Fariz. Aku mengangkat kepala dan memandang jam di dinding. Sudah jam sebelas malam.
Hanya Esther yang bisa menelepon Fariz di jam segini.
Suara air di kamar mandi berhenti dan Fariz keluar dari kamar mandi, lalu dia menerima panggilannya. Aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakan di ujung telepon,
Terlihat Fariz mengerutkan alisnya dan berkata, " Esther, jangan konyol!"
Setelah selesai bicara, dia langsung mematikan panggilannya, lalu mengganti pakaiannya dan bersiap untuk pergi. Dulu aku mungkin akan berpura-pura untuk tidak melihatnya, tapi saat ini, aku tiba-tiba menghentikannya dan memohonnya dengan lembut, "Bisakah kamu tidak pergi malam ini?"
Fariz mengerutkan alisnya. Wajahnya yang tampan menunjukkan ekspresi dingin dan tidak senang, "Mulai lancang gara-gara baru dapat sedikit keuntungan?"
Kata-kata ini sungguh dingin dan ironis.
Aku tertegun sejenak. Untuk sesaat, aku merasa sangat lucu. Aku menatapnya dan berkata, "Besok adalah hari pemakaman kakek. Meskipun kamu tidak bisa merelakannya, tapi bukankah kamu harus tahu diri?"
"Apakah ini sebuah ancaman?" Dia memicingkan matanya dan memegang rahangku dengan kasar, lalu berkata dengan suara dingin, " Difa, kamu merasa hebat ya."
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved