Bab 2 Part 2
by Dinda Tirani
10:58,Apr 26,2024
Aku duduk di meja dengan perasaan tak karuan. Peristiwa di klinik tadi membuat pikiranku acak adut. Suara-suara itu, sampai akhirnya kesempatan untuk berbicara empat mata dengan dokter Ara. Akhirnya aku tau dari mulutnya sendiri kalau affair itu memang ada. Ia memiliki tujuan berbeda dari beberapa laki-laki yang affair dengannya.
Pak Manajer, selain karena ganteng, ia hanya menggunakannya sebagai alat untuk mengamankan posisinya. Beberapa kali memang orang-orang berniat mendepaknya dari perusahaan, tapi dengan cerdik ia dekati pak manajer untuk membuat posisinya aman. Sampai 5 tahun ini, tak ada yang mampu menggeser posisinya sebagai dokter di perusahaan. Ternyata licik juga dokter ini.
Lalu Mas Iwan. Pria berbadan tinggi dan tegap ini jelas memiliki kemampuan berbeda dengan pak manajer. Dokter Ara sedang menjalani long distance marriage dengan suaminya yang menempuh pendidikan di thailand. Sudah bisa ditebak kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi. Sayangnya, pak manajer tak bisa memenuhi kebutuhan biologisnya dengan baik. "Muka aja ganteng, tapi stamina amburadul," kata Dokter Ara waktu menceritakan kisahnya. Dari Mas Iwan lah kepuasan itu ia dapatkan. Sebagai atlet bulutangkis, tentu Mas Iwan memiliki fisik yang sempurna. "Tapi kontolnya terlalu besar buat aku," katanya ketika memasuki bagian itu. Ya. Dia menyebutnya dengan nama kontol, bukan penis, titit, atau kemaluan. Aku makin yakin dokter seksi ini punya libido yang tinggi, sesuai dengan penampilan fisiknya. Tidak ada yang sempurna memang. Beberapa affair sebelumnya lebih banyak ia lakukan untuk kepuasan materi. Bahkan ternyata hanya 3 orang yang berhasil menikmati tubuhnya. 2 orang tentu kalian tahu, seorang lagi ternyata Pak Hadi, atasanku. Ini yang membuatku syok. Meski hanya cinta 1 malam, ia mengatakan Pak Hadi lumayan dalam urusan ranjang. Mereka sepakat untuk tak mengulanginya karena tahu akan membuat masalah di kemudian hari. Dan Pak Hadi tahu benar risiko itu.
Kami bertemu sekali lagi secara pribadi setelah kejadian di klinik itu. Kami bertemu di kota sebelah, ia sengaja memilih itu agar tak ada seorang pun yang mengetahui kami. Bahaya. Aku jelas setuju. Itulah kenapa aku tahu semuanya. Pada pertemuan kedua itu dia menceritakan kepadaku. Ternyata, dokter juga butuh teman cerita. Itu yang tidak ia dapatkan dari siapapun. Tidak ada yang bisa ia percaya mendengarkan ceritanya. Aku sempat menduga ini hanya triknya mengelabui laki-laki, karena aku memegang rahasianya. Tapi kuputuskan menganggapnya tulus karena raut muka dan ada air mata yang sempat jatuh saat ia bercerita. Aku menepuk pundaknya saat itu. Sungguh, tidak ada syahwat seperti sebelumnya. Entah kenapa aku melihatnya tulus butuh teman bicara dan mendengarkan keluh kesahnya. Kusediakan diriku. Aku percaya, selalu ada sisi lain manusia yang tak pernah bisa ditebak.
Ah Dokter Ara ini memang aneh. Kadang dia bisa begitu menggoda, kadang juga ada perasaan kasian melihat permasalahan yang dia miliki. Kami menjadi lebih dekat setelah itu. Beberapa kali saling berbincang via WhatsApp. Tapi kami belum bertemu lagi. Pembicaraan kami pun tak ada yang berbau mesum, sekadar bercanda dan saling sapa.
Suatu siang, aku sedang istirahat di ruangan. Ada pesan masuk. Dokter Ara.
":(("
"kenapa dok?"
":((:(("
"dok?"
"Mas Iwan kayaknya nggak mau hubungannya lanjut"
"butuh cerita langsung?"
"kamu besok pulang?"
"rencana sih nggak"
"jalan-jalan ke B yuk, aku sumpek"
"nggak apa-apa nih hari libur?"
"aku bilang lembur aja"
"jam berapa? ketemu di mana?
"pagi aja, jam 7. ketemu di pertigaan daerah S"
"oke deh"
":((:((:((:(("
"nangisnya dilanjut besok aja, nanti matanya bengkak pas ketemu orang-orang"
"udah bengkak"
"wah cantiknya hilang kalau gitu"
"emang aku nggak cantik"
"tapi mempesona ya"
"udah mulai gombalnya"
":p"
percakapan siang itu selesai. Besok memang hari libur. Dan akan jadi pertemuan kedua kami. Pertemuan lalu kami adakan di kota S, di salah satu cafe disana. Kami memang sembunyi-sembunyi agar tidak ada orang yang tahu. Apalagi karyawan di kantor. Meskipun aku masih lajang, tapi Dokter Ara tidak ingin aku menjadi omongan orang-orang. Seperti yang kubilang, aku mulai menangkap ketulusannya berteman denganku.
Keesokan hari, aku naik bus untuk menuju tempat kami janjian. Hanya sekitar 30 menit dari tempat tinggalku. Turun dari bus, kulihat ada mobil Honda Jazz warna putih sudah terparkir tak jauh dari pertigaan. Aku memutuskan langsung menghampiri. Ia menyadari kedatanganku. Aku masuk di kursi penumpang. Ia yang menyetir. Aku memang belum terlalu mahir menyetir, dan kami akan melalui jalanan berkelok cukup ekstrim. Di dalam mobil, ia nampak langsung memasang wajah sedih.
"duh pagi-pagi sudah lihat wajah ditekuk"
"ya kan emang lagi sedih"
"oke. setelah hari ini Ibu Dokter sudah harus tidak sedih lagi" aku memasang wajah melucu dan memegang tangannya.
Aku tidak tahu dari mana keberanian ini muncul. Aku menggenggam tangannya dengan perasaan ingin menghibur. Tapi tetap saja terasa aneh. Ia kemudian memencet hidungku.
"Buktikan kalau kamu bisa bikin Ibu Dokter nggak sedih lagi" katanya lalu melepaskan tanganku dan memacu mobil.
sekian detik kemudian muncul suasana yang cukup aneh. Tapi segera kami atasi dengan bercandaan yang cukup berhasil. Ia mulai tersenyum lagi. Entah kenapa, aku merasa tak perlu mengancamnya ketika aku tahu semua affair yang ia miliki. Kami kemudian malah menjadi akrab dan berteman dengan baik. Dia orang yang enak diajak bicara sebenarnya. Kalau kita berhasil menghilangkan pikiran mesum kepadanya.
Kami terus bercanda sepanjang perjalanan. Sampai di tujuan, salah satu wisata alam untuk bersantai dan melihat perkebunan kopi dan sayur. Dokter Ara memarkir kendaraan sedikit di ujung, terpisah dari beberapa mobil. Hanya ada 4 mobil saat ini. Hari sabtu memang tak terlalu ramai, karena sekolah juga masih masuk. Dan ini masih pagi sekali. Pengunjung disini juga lebih banyak keluarga.
Entah kenapa kami memutuskan untuk tidak langsung keluar dari mobil. Dokter Ara menurunkan sandaran kursinya. Ia rebah dan menghela nafas panjang. Aku menengok dan mendapatkan pemandangan yang luar biasa. Ini yang kumaksud tadi. Kalau berhasil menghilangkan pikiran mesum atas fisiknya, dia adalah teman yang enak diajak bicara. Tapi dengan pemandangan ini rasanya sulit untuk berpikir jernih.
Kutengok lagi, ia memejamkan mata. Dadanya teihat membusung. Samar-samar tercetak putingnya di baju yang ia kenakan. Nampaknya dia memakai bra yang model tanpa busa dan tipis. Bajunya pun mendukung. Kemeja putih yang berbahan tipis. Aku menghela nafas. Mudah-mudahan aku bisa menghilangkan pikiran ini.
"Sebenarnya apa yang aku cari ya, Mas?" ia memang selalu memanggilku dengan sebutan Mas ketika berbincang.
"Menurut Bu Dokter apa, lho?"
"Aku semacam punya ambisi yang sangat besar"
"Dalam hal?" aku penasaran kemana arah pembicaraan ini.
"Semuanya. Materi. Jabatan. Sampai seks," dia masih menatap ke langit-langit mobil.
"Lalu?"
"Padahal sebenarnya suamiku juga orang yang baik. Kesalahannya cuma sekolah ke luar negeri, dan itu tidak sebentar. Dipikir aku tidak butuh kepuasan batin apa," ia mulai menggerutu.
"Tapi apa itu bisa dijadikan alasan, dok?"
"Bisa. Wanita itu juga punya nafsu birahi, Mas," ia menghela nafas, "Dan aku jenis wanita yang punya nafsu tinggi." aku makin bingung kemana arah pembicaraan ini.
Aku diam. Tak ada kata yang layak untuk keluar dari bibirku. Aku hanya menatapnya. Sesekali.
"Itulah kenapa aku sedih waktu Mas Iwan bilang seperti itu kemarin. Dia bahkan nggak ngomong langsung, tapi lewat WA. Katanya dia habis didudukkan oleh manajernya," raut wajahnya membingungkan. Antara sedih dan menahan nafsu.
Aku makin bingung. Jangan-jangan ini kode. Tidak, tidak. Aku masih belum siap. Apalagi aku sama sekali belum berpengalaman. Salah satu tujuanku memang menaklukannya. Dan ini bisa saja terjadi saat ini, melihat gelagatnya. Tapi, tidak secepat ini juga. Aku memang sudah pernah berhubungan seks. Dengan mantan pacarku. Tapi frekeuensinya masih minim. Dan aku merasa kemampuanku tidak terlalu bagus. Kalau aku yang memulai dan hasilnya memalukan tentu harga diriku langsung jatuh. Aku harus memosisikan diri dengan baik. Aku harus tenang. Tapi susah sekali. Nafsu dan rasa takut bercampur jadi satu. Gila. Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Jantungku berdetak sangat kencang. Mungkin lebih kencang dari kecepatan mobil formula 1. Sial.
"Kalau Si Tio bisa memuaskanku sih nggak masalah. Dia baru 3 menit udah keluar. Kalau aku keluar juga gitu enak, lah ini nanggung. Baru mulai panas," omongannya makin tak karuan. Aku makin bingung.
Dia kemudian menatapku. Aku bingung itu tatapan apa. Mungkin nafsu. Mungkin meminta pendapat. Mungkin berharap. Mungkin. Mungkin. Mungkin. Semua kemungkinan berlomba mengisi pikiranku.
Aku berkeringat. Rasa malu mulai ingin masuk melihat aku tak bisa melakukan tindakan apapun. Aku takut Dokter Ara tahu keadaanku. Bisa jatuh harga diriku. Suasana ini ingin cepat kuakhiri.
"Kamu berpikiran sama denganku nggak, Mas?" ia bertanya sambil menatap mataku. Tajam.
"Maksud Bu Dokter," bodoh. Kemampuanku menghadapi wanita memang payah.
Dia mendekatkan wajahnya. Aku hanya diam. Menatap matanya dalam-dalam. Aku kikuk. Aku tak bergerak. Ada perasaan takut kalau-kalau ada orang yang memergoki kami di dalam mobil. Bisa-bisa kami diarak ke kantor polisi. Aku harus memutuskan.
"Jangan disini Bu Dokter. Kalau kita digrebek gimana?" aku menangkap wajahnya. Kutahan wajahnya dengan memang dagunya dengan lembut. Lalu kuarahkan tanganku ke pipinya. Dengan lembut. Gila. Kulit wajahnya halus sekali. Aku mengelusnya dengan jempolku. Aku tak tahu dari mana datangnya keberanian ini. Aku mengalahkan segala kemungkinan yang ada di kepala dengan tindakan yang sangat brilian. Aku menang. Aku adalah pemenang di situasi ini. Aku tak peduli apakah nanti akan mendapatkan tubuhnya atau tidak. Aku jelas menunjukkan diri bukan lelaki gampangan. Tapi sepertinya aku berlebihan. Ah biarlah. Euforia atas keberanian ini harus dirayakan.
Dia memelukku. Mungkin hanya 10 detik. Gila. Kesempatan ini datang juga. Aku memeluk Dokter Ara. Aku mendapatkan pelukannya. Aku menang.
Bersambung
Pak Manajer, selain karena ganteng, ia hanya menggunakannya sebagai alat untuk mengamankan posisinya. Beberapa kali memang orang-orang berniat mendepaknya dari perusahaan, tapi dengan cerdik ia dekati pak manajer untuk membuat posisinya aman. Sampai 5 tahun ini, tak ada yang mampu menggeser posisinya sebagai dokter di perusahaan. Ternyata licik juga dokter ini.
Lalu Mas Iwan. Pria berbadan tinggi dan tegap ini jelas memiliki kemampuan berbeda dengan pak manajer. Dokter Ara sedang menjalani long distance marriage dengan suaminya yang menempuh pendidikan di thailand. Sudah bisa ditebak kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi. Sayangnya, pak manajer tak bisa memenuhi kebutuhan biologisnya dengan baik. "Muka aja ganteng, tapi stamina amburadul," kata Dokter Ara waktu menceritakan kisahnya. Dari Mas Iwan lah kepuasan itu ia dapatkan. Sebagai atlet bulutangkis, tentu Mas Iwan memiliki fisik yang sempurna. "Tapi kontolnya terlalu besar buat aku," katanya ketika memasuki bagian itu. Ya. Dia menyebutnya dengan nama kontol, bukan penis, titit, atau kemaluan. Aku makin yakin dokter seksi ini punya libido yang tinggi, sesuai dengan penampilan fisiknya. Tidak ada yang sempurna memang. Beberapa affair sebelumnya lebih banyak ia lakukan untuk kepuasan materi. Bahkan ternyata hanya 3 orang yang berhasil menikmati tubuhnya. 2 orang tentu kalian tahu, seorang lagi ternyata Pak Hadi, atasanku. Ini yang membuatku syok. Meski hanya cinta 1 malam, ia mengatakan Pak Hadi lumayan dalam urusan ranjang. Mereka sepakat untuk tak mengulanginya karena tahu akan membuat masalah di kemudian hari. Dan Pak Hadi tahu benar risiko itu.
Kami bertemu sekali lagi secara pribadi setelah kejadian di klinik itu. Kami bertemu di kota sebelah, ia sengaja memilih itu agar tak ada seorang pun yang mengetahui kami. Bahaya. Aku jelas setuju. Itulah kenapa aku tahu semuanya. Pada pertemuan kedua itu dia menceritakan kepadaku. Ternyata, dokter juga butuh teman cerita. Itu yang tidak ia dapatkan dari siapapun. Tidak ada yang bisa ia percaya mendengarkan ceritanya. Aku sempat menduga ini hanya triknya mengelabui laki-laki, karena aku memegang rahasianya. Tapi kuputuskan menganggapnya tulus karena raut muka dan ada air mata yang sempat jatuh saat ia bercerita. Aku menepuk pundaknya saat itu. Sungguh, tidak ada syahwat seperti sebelumnya. Entah kenapa aku melihatnya tulus butuh teman bicara dan mendengarkan keluh kesahnya. Kusediakan diriku. Aku percaya, selalu ada sisi lain manusia yang tak pernah bisa ditebak.
Ah Dokter Ara ini memang aneh. Kadang dia bisa begitu menggoda, kadang juga ada perasaan kasian melihat permasalahan yang dia miliki. Kami menjadi lebih dekat setelah itu. Beberapa kali saling berbincang via WhatsApp. Tapi kami belum bertemu lagi. Pembicaraan kami pun tak ada yang berbau mesum, sekadar bercanda dan saling sapa.
Suatu siang, aku sedang istirahat di ruangan. Ada pesan masuk. Dokter Ara.
":(("
"kenapa dok?"
":((:(("
"dok?"
"Mas Iwan kayaknya nggak mau hubungannya lanjut"
"butuh cerita langsung?"
"kamu besok pulang?"
"rencana sih nggak"
"jalan-jalan ke B yuk, aku sumpek"
"nggak apa-apa nih hari libur?"
"aku bilang lembur aja"
"jam berapa? ketemu di mana?
"pagi aja, jam 7. ketemu di pertigaan daerah S"
"oke deh"
":((:((:((:(("
"nangisnya dilanjut besok aja, nanti matanya bengkak pas ketemu orang-orang"
"udah bengkak"
"wah cantiknya hilang kalau gitu"
"emang aku nggak cantik"
"tapi mempesona ya"
"udah mulai gombalnya"
":p"
percakapan siang itu selesai. Besok memang hari libur. Dan akan jadi pertemuan kedua kami. Pertemuan lalu kami adakan di kota S, di salah satu cafe disana. Kami memang sembunyi-sembunyi agar tidak ada orang yang tahu. Apalagi karyawan di kantor. Meskipun aku masih lajang, tapi Dokter Ara tidak ingin aku menjadi omongan orang-orang. Seperti yang kubilang, aku mulai menangkap ketulusannya berteman denganku.
Keesokan hari, aku naik bus untuk menuju tempat kami janjian. Hanya sekitar 30 menit dari tempat tinggalku. Turun dari bus, kulihat ada mobil Honda Jazz warna putih sudah terparkir tak jauh dari pertigaan. Aku memutuskan langsung menghampiri. Ia menyadari kedatanganku. Aku masuk di kursi penumpang. Ia yang menyetir. Aku memang belum terlalu mahir menyetir, dan kami akan melalui jalanan berkelok cukup ekstrim. Di dalam mobil, ia nampak langsung memasang wajah sedih.
"duh pagi-pagi sudah lihat wajah ditekuk"
"ya kan emang lagi sedih"
"oke. setelah hari ini Ibu Dokter sudah harus tidak sedih lagi" aku memasang wajah melucu dan memegang tangannya.
Aku tidak tahu dari mana keberanian ini muncul. Aku menggenggam tangannya dengan perasaan ingin menghibur. Tapi tetap saja terasa aneh. Ia kemudian memencet hidungku.
"Buktikan kalau kamu bisa bikin Ibu Dokter nggak sedih lagi" katanya lalu melepaskan tanganku dan memacu mobil.
sekian detik kemudian muncul suasana yang cukup aneh. Tapi segera kami atasi dengan bercandaan yang cukup berhasil. Ia mulai tersenyum lagi. Entah kenapa, aku merasa tak perlu mengancamnya ketika aku tahu semua affair yang ia miliki. Kami kemudian malah menjadi akrab dan berteman dengan baik. Dia orang yang enak diajak bicara sebenarnya. Kalau kita berhasil menghilangkan pikiran mesum kepadanya.
Kami terus bercanda sepanjang perjalanan. Sampai di tujuan, salah satu wisata alam untuk bersantai dan melihat perkebunan kopi dan sayur. Dokter Ara memarkir kendaraan sedikit di ujung, terpisah dari beberapa mobil. Hanya ada 4 mobil saat ini. Hari sabtu memang tak terlalu ramai, karena sekolah juga masih masuk. Dan ini masih pagi sekali. Pengunjung disini juga lebih banyak keluarga.
Entah kenapa kami memutuskan untuk tidak langsung keluar dari mobil. Dokter Ara menurunkan sandaran kursinya. Ia rebah dan menghela nafas panjang. Aku menengok dan mendapatkan pemandangan yang luar biasa. Ini yang kumaksud tadi. Kalau berhasil menghilangkan pikiran mesum atas fisiknya, dia adalah teman yang enak diajak bicara. Tapi dengan pemandangan ini rasanya sulit untuk berpikir jernih.
Kutengok lagi, ia memejamkan mata. Dadanya teihat membusung. Samar-samar tercetak putingnya di baju yang ia kenakan. Nampaknya dia memakai bra yang model tanpa busa dan tipis. Bajunya pun mendukung. Kemeja putih yang berbahan tipis. Aku menghela nafas. Mudah-mudahan aku bisa menghilangkan pikiran ini.
"Sebenarnya apa yang aku cari ya, Mas?" ia memang selalu memanggilku dengan sebutan Mas ketika berbincang.
"Menurut Bu Dokter apa, lho?"
"Aku semacam punya ambisi yang sangat besar"
"Dalam hal?" aku penasaran kemana arah pembicaraan ini.
"Semuanya. Materi. Jabatan. Sampai seks," dia masih menatap ke langit-langit mobil.
"Lalu?"
"Padahal sebenarnya suamiku juga orang yang baik. Kesalahannya cuma sekolah ke luar negeri, dan itu tidak sebentar. Dipikir aku tidak butuh kepuasan batin apa," ia mulai menggerutu.
"Tapi apa itu bisa dijadikan alasan, dok?"
"Bisa. Wanita itu juga punya nafsu birahi, Mas," ia menghela nafas, "Dan aku jenis wanita yang punya nafsu tinggi." aku makin bingung kemana arah pembicaraan ini.
Aku diam. Tak ada kata yang layak untuk keluar dari bibirku. Aku hanya menatapnya. Sesekali.
"Itulah kenapa aku sedih waktu Mas Iwan bilang seperti itu kemarin. Dia bahkan nggak ngomong langsung, tapi lewat WA. Katanya dia habis didudukkan oleh manajernya," raut wajahnya membingungkan. Antara sedih dan menahan nafsu.
Aku makin bingung. Jangan-jangan ini kode. Tidak, tidak. Aku masih belum siap. Apalagi aku sama sekali belum berpengalaman. Salah satu tujuanku memang menaklukannya. Dan ini bisa saja terjadi saat ini, melihat gelagatnya. Tapi, tidak secepat ini juga. Aku memang sudah pernah berhubungan seks. Dengan mantan pacarku. Tapi frekeuensinya masih minim. Dan aku merasa kemampuanku tidak terlalu bagus. Kalau aku yang memulai dan hasilnya memalukan tentu harga diriku langsung jatuh. Aku harus memosisikan diri dengan baik. Aku harus tenang. Tapi susah sekali. Nafsu dan rasa takut bercampur jadi satu. Gila. Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Jantungku berdetak sangat kencang. Mungkin lebih kencang dari kecepatan mobil formula 1. Sial.
"Kalau Si Tio bisa memuaskanku sih nggak masalah. Dia baru 3 menit udah keluar. Kalau aku keluar juga gitu enak, lah ini nanggung. Baru mulai panas," omongannya makin tak karuan. Aku makin bingung.
Dia kemudian menatapku. Aku bingung itu tatapan apa. Mungkin nafsu. Mungkin meminta pendapat. Mungkin berharap. Mungkin. Mungkin. Mungkin. Semua kemungkinan berlomba mengisi pikiranku.
Aku berkeringat. Rasa malu mulai ingin masuk melihat aku tak bisa melakukan tindakan apapun. Aku takut Dokter Ara tahu keadaanku. Bisa jatuh harga diriku. Suasana ini ingin cepat kuakhiri.
"Kamu berpikiran sama denganku nggak, Mas?" ia bertanya sambil menatap mataku. Tajam.
"Maksud Bu Dokter," bodoh. Kemampuanku menghadapi wanita memang payah.
Dia mendekatkan wajahnya. Aku hanya diam. Menatap matanya dalam-dalam. Aku kikuk. Aku tak bergerak. Ada perasaan takut kalau-kalau ada orang yang memergoki kami di dalam mobil. Bisa-bisa kami diarak ke kantor polisi. Aku harus memutuskan.
"Jangan disini Bu Dokter. Kalau kita digrebek gimana?" aku menangkap wajahnya. Kutahan wajahnya dengan memang dagunya dengan lembut. Lalu kuarahkan tanganku ke pipinya. Dengan lembut. Gila. Kulit wajahnya halus sekali. Aku mengelusnya dengan jempolku. Aku tak tahu dari mana datangnya keberanian ini. Aku mengalahkan segala kemungkinan yang ada di kepala dengan tindakan yang sangat brilian. Aku menang. Aku adalah pemenang di situasi ini. Aku tak peduli apakah nanti akan mendapatkan tubuhnya atau tidak. Aku jelas menunjukkan diri bukan lelaki gampangan. Tapi sepertinya aku berlebihan. Ah biarlah. Euforia atas keberanian ini harus dirayakan.
Dia memelukku. Mungkin hanya 10 detik. Gila. Kesempatan ini datang juga. Aku memeluk Dokter Ara. Aku mendapatkan pelukannya. Aku menang.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved