Bab 4 Part 4
by Dinda Tirani
11:02,Apr 26,2024
"Iya, mama keluar kota nganter pasien harus didampingi. Kakak sama nenek ya ikut jagain adek" ternyata telepon dari anaknya.
Seperti yang sudah kuduga, ini akhir pekan, pasti anak-anaknya terus mencari. Aku tak enak hati. Kubiarkan ia menenangkan anaknya. Andai harus pulang, aku tak akan keberatan. Itu keputusan yang cukup baik buat kami berdua. Ia masih belum menutup telepon. Nafsuku sudah lari. Aku masih berharap kenikmatan ini berlanjut.
"Yaudah Ma, kalau malam bisa langsung pulang aku minta supir buat nganter pulang. Titip anak-anak ya," ia menutup telepon lalu menuju kamar mandi.
Aku pasrah. Mungkin ia akan merapikan semua. Lalu mengajakku pulang. Atau nafsunya sudah pergi entah kemana. Atau ia sadar, semua ini tak seharusnya terjadi. Aku pasrah. Jodoh tak akan lari kemana, begitu juga rezeki.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.50. Lama juga kami bercumbu. Aku masih telanjang dada, menatap jendela yang tertutup tirai.
Sesuatu yang hangat mendekap tubuhku. Kenyal, tapi terbungkus. Dua buah lengan melingkar di ketiakku. Ada yang menempel di leherku. Lembut sekali. Sedikit basah. "Cuppppp...."
"Kita pulang besok pagi ya. Aku terkesan sama permainanmu, Mas," ia kembali mengecup tengkukku, lalu menjilati daun telinga.
Aku hanya melenguh. Nafsuku pelan-pelan kembali. Nampaknya ia memang wanita idaman semua pria. Agresif, menggairahkan, menyenangkan, dan tubuh menggoda.
Aku memutuskan tak menjawab ucapan Dokter Ara. Aku menghargai keputusannya dan tak berusaha menanyakan soal anak dan pilihan alasan yang ia buat. Aku ingin menikmati kesempatan ini. Memanfaatkan sebaik-baiknya. Kuingat lagi, kesempatan ini mungkin yang pertama dan terakhir. Aku harus lakukan yang terbaik.
Dokter berusia 32 tahun ini terus bermain di sekitar telingan dan leherku. Nampaknya ia masih memakai bra dan celana dalam. Jilbabnya sudah tanggal. Ia menggerayangi bagian dada dan perutku. Dimainkan jari lentiknya. Bibirnya turun di punggungku. Air liurnya membasahi leher, terasa menetes di punggung. Jemarinya makin turun. Turun. Terus turun. Ia mencoba membuka ikat pinggangku. "Kreeeek" berhasil. Jarinya menuju resleting jins yang kukenakan. Aku melayang. Menikmati tiap prosesnya. Sepertinya ia menerapkan strategiku. Gerakannya lambat sekali. Aku menang. Aku menang.
Tidak. Tidak. Aku diambang kekalahan kalau ia berhasil melolosiku lebih dulu. Aku tersadar. Ia sudah berhasil menurunkan resleting dan membuka kancing jinsku. Ia hendak masuk. Jemarinya sudah diambang pintu. Setengah sadar aku menahan tangannya. Ia terhenyak. Kuarahkan bibirku ke telinganya.
"Tugasku tadi belum selesai Bu Dokter. Aku boleh menyelesaikannya dulu?" aku berbisik, tepat di telinganya.
Ia tersenyum. Berputar. Ia duduk di pangkuanku. Tubuh yang selama ini hanya kulihat terbungkus pakaian lengkap dan jilbab, kini ada di pangkuanku dengan kondisi hampir telanjang. Hanya tersisa bra dan celana dalam. Sumpah! Ia seksi sekali, dan sangat menggairahkan. Ternyata rambutnya cukup panjang. Ini fantasiku. Aku memang berfantasi bahwa ia berambut panjang, dan pirang. Ah. Gila. Ini mimpi yang jadi kenyataan.
Ia kembali tersenyum. Manis sekali. Kami saling menatap, dan tersenyum.
"Lakukan sesuai dengan instingmu, Mas. Aku akan menikmatinya," ia berkata dengan diakhiri senyuman yang sangat manis.
Aku mengangguk. Tersenyum.
"Kulakukan semampuku ya, Dok. Namanya juga pemula hehehe" kami tertawa.
Aneh juga. Di tengah kondisi seperti ini, kami malah saling menertawakan. Ia mengecup bibirku. kami berpelukan. Hangat sekali. Entah kenapa aku merasa ini bukan cuma nafsu. Kami melakukannya dengan jiwa.
Dengan dua jari, kulepaskan kaitan bra-nya. Ia menatapku, "jarang ada yang bisa melakukan ini" ia melemparkan bra hitam itu entah kemana. Aku menatap payudara bulat yang tadi penuh dengan air liurku. Nampaknya ia mengering. Aku memegangnya, kupastikan bahwa tingkat kebulatannya memang sempurna. Ia tersenyum. Kudaratkan jempolku, di daging itu, dua-duanya. Tentu saja, ia melenguh. Kuteruskan aksiku, bervariasi. Remas, pilin, usap, tekan. Begitu terus. Berubah-ubah. Kecepatan terus meningkat. Ia menjambak rambutku dan mengarahkan kepalaku menuju mainanku. Mau tidak mau, bibir ini mendarat dengan mulus. Tepat di puting mungil yang nampak kemerahan. Jelas itu karena ulahku tadi. Ada perasaan bangga. Ia tegak dan memerah. Tak lama kemudian, lidahku sudah menjelajah ke setiap sudut gunung kembar nan indah ini. Kombinasi jari-jari, bibir, lidah dan gigi mampu bekerja sama dengan sangat baik. Ia memainkan peran masing-masing.
"Uhhhhh.... Massss.... Massss" tubuhnya meliuk-liuk. Ia menjambaki rambutku dengan lembut. Tak sekasar tadi.
"Ssshhhh Ohhhh, Masss Awaanghh, Uhhhh" nampaknya wanita ini tipe berisik dalam bercinta. Tak henti meracau tiap serangan kulancarkan.
Kupindahkan tanganku ke punggungnya, lalu perlahan-lahan turun ke bawah. Ada gundukan lain di bawah sana yang masih terbungkus celana dalam. Kuremas. Kuremas. Kumainkan jari-jariku. Sesekali kumasukkan ia ke balik celana dalam. Lalu ke lipatan bokongnya yang tak bisa kugambarkan lagi.
Sementara bibirku tetap pada tugasnya. Ia masih belum mau beranjak dari mendaki gunung kembar itu.
Aku harus melangkah ke fase berikutnya. Kurebahkan tubuhkan, kakinya kubuat menjuntai di ranjang. Aku berdiri. Kupandangi tubuh putih muluh yang sedang telentang di hadapanku. Aku masih tak percaya. Kucoba mencubit lenganku sekeras mungkin. Ternyata sakit juga.
Dokter Ara masih terpejam. Ia nampak menunggu. Dan aku tak ingin ia menunggu. Kuarahkan kepalaku ke celana dalam yang membungkus mahkota terakhir yang belum kunikmati. Kuhembuskan nafasku tepat di depannya. Darahnya berdesir. Nafsunya kian meninggi.
Kumainkan lidahku tanpa kubuka kain itu. Ia melebarkan kakinya. Kubasahi ia dengan air liurku.
"Masss.. Shhhh. Aku nggak bawa ganti." penolakan yang sia-sia. Wong dari tadi celananya juga sudah basah oleh cairan vaginanya. Penolakan macam apa itu.
Kuteruskan aksiku. Kini kain itu kusibak dari samping. Ada bulu-bulu yang cukup lebat, tapi tertata rapi. Kuarahkan lidahku memasuki hutan belantara. Dengan cara berbeda. Tentu dengan bantuan kedua tanganku.
Dokter Ara menggeliat sebisanya. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, lalu menaikkan bokongnya tinggi-tinggi.
"Uhhhhh shhhh, ini gilaaa" masih sempat-sempatnya ia bilang begitu.
Kuputuskan untuk melepas celana dalam yang sudah basah kuyup itu. Kini aku bebas mengeksplorasi gundukan indah ini. Kumainkan jari telunjukku. Lalu lidahku membantu. Kucari dimana clitorisnya. Agak tersembunyi. Berhasil kutemukan. Dan, tentu saja kuhajar terus menerus. Tanpa ampun. Tetap dengan lembut. Tidak tergesa-gesa.
"Masss ampun Masss. Ooooohhh" ia meracau. Perasaan bangga menghampiriku. Aku membuat dokter ini kelojotan.
Kuteruskan. Tak ada jeda. Nafasku sudah tak karuan. Nafsuku sudah di ubun-ubun. Tapi aku tahu, aku harus berhasil menahannya. Aku harus memberikan kesan pertama yang menakjubkan.
"Aaaauuuu Ohhhhhn" ia sedikit berteriak.
Tubuhnya melonjak ke atas. Tangannya mendorong kepalaku kian masuk. Aku sedikit tak bisa bernafas. Lidahku tetap pada posisinya, jari telunjukku juga. Badannya jatuh. Nafasnya ngos-ngosan. Tubuhnya melemah. Ada aliran darah yang mulai turun. Kulirik ke atas, matanya terpejam. Tangannya lemas, tak lagi memegang kepalaku. Ia ambruk. Dokter cantik ini ambruk. Aku mengangkat kepalaku dari vaginanya. Aku berdiri. Memandang tubuh telanjang ini lekat-lekat. Tubuhnya basah. Keringat dan air liurku luruh menjadi satu. Wajahku pun begitu. Entah cairan apa saja yang membasahinya.
Perlahan ia buka matanya. Ia tersenyum.
"Aku sekarang nggak sedih lagi," ia mencoba berdiri. Memelukku.
Aku tau maksudnya. Aku siap mengarungi petualangan bersama dokter yang menggairahkan ini.
Bersambung
Seperti yang sudah kuduga, ini akhir pekan, pasti anak-anaknya terus mencari. Aku tak enak hati. Kubiarkan ia menenangkan anaknya. Andai harus pulang, aku tak akan keberatan. Itu keputusan yang cukup baik buat kami berdua. Ia masih belum menutup telepon. Nafsuku sudah lari. Aku masih berharap kenikmatan ini berlanjut.
"Yaudah Ma, kalau malam bisa langsung pulang aku minta supir buat nganter pulang. Titip anak-anak ya," ia menutup telepon lalu menuju kamar mandi.
Aku pasrah. Mungkin ia akan merapikan semua. Lalu mengajakku pulang. Atau nafsunya sudah pergi entah kemana. Atau ia sadar, semua ini tak seharusnya terjadi. Aku pasrah. Jodoh tak akan lari kemana, begitu juga rezeki.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.50. Lama juga kami bercumbu. Aku masih telanjang dada, menatap jendela yang tertutup tirai.
Sesuatu yang hangat mendekap tubuhku. Kenyal, tapi terbungkus. Dua buah lengan melingkar di ketiakku. Ada yang menempel di leherku. Lembut sekali. Sedikit basah. "Cuppppp...."
"Kita pulang besok pagi ya. Aku terkesan sama permainanmu, Mas," ia kembali mengecup tengkukku, lalu menjilati daun telinga.
Aku hanya melenguh. Nafsuku pelan-pelan kembali. Nampaknya ia memang wanita idaman semua pria. Agresif, menggairahkan, menyenangkan, dan tubuh menggoda.
Aku memutuskan tak menjawab ucapan Dokter Ara. Aku menghargai keputusannya dan tak berusaha menanyakan soal anak dan pilihan alasan yang ia buat. Aku ingin menikmati kesempatan ini. Memanfaatkan sebaik-baiknya. Kuingat lagi, kesempatan ini mungkin yang pertama dan terakhir. Aku harus lakukan yang terbaik.
Dokter berusia 32 tahun ini terus bermain di sekitar telingan dan leherku. Nampaknya ia masih memakai bra dan celana dalam. Jilbabnya sudah tanggal. Ia menggerayangi bagian dada dan perutku. Dimainkan jari lentiknya. Bibirnya turun di punggungku. Air liurnya membasahi leher, terasa menetes di punggung. Jemarinya makin turun. Turun. Terus turun. Ia mencoba membuka ikat pinggangku. "Kreeeek" berhasil. Jarinya menuju resleting jins yang kukenakan. Aku melayang. Menikmati tiap prosesnya. Sepertinya ia menerapkan strategiku. Gerakannya lambat sekali. Aku menang. Aku menang.
Tidak. Tidak. Aku diambang kekalahan kalau ia berhasil melolosiku lebih dulu. Aku tersadar. Ia sudah berhasil menurunkan resleting dan membuka kancing jinsku. Ia hendak masuk. Jemarinya sudah diambang pintu. Setengah sadar aku menahan tangannya. Ia terhenyak. Kuarahkan bibirku ke telinganya.
"Tugasku tadi belum selesai Bu Dokter. Aku boleh menyelesaikannya dulu?" aku berbisik, tepat di telinganya.
Ia tersenyum. Berputar. Ia duduk di pangkuanku. Tubuh yang selama ini hanya kulihat terbungkus pakaian lengkap dan jilbab, kini ada di pangkuanku dengan kondisi hampir telanjang. Hanya tersisa bra dan celana dalam. Sumpah! Ia seksi sekali, dan sangat menggairahkan. Ternyata rambutnya cukup panjang. Ini fantasiku. Aku memang berfantasi bahwa ia berambut panjang, dan pirang. Ah. Gila. Ini mimpi yang jadi kenyataan.
Ia kembali tersenyum. Manis sekali. Kami saling menatap, dan tersenyum.
"Lakukan sesuai dengan instingmu, Mas. Aku akan menikmatinya," ia berkata dengan diakhiri senyuman yang sangat manis.
Aku mengangguk. Tersenyum.
"Kulakukan semampuku ya, Dok. Namanya juga pemula hehehe" kami tertawa.
Aneh juga. Di tengah kondisi seperti ini, kami malah saling menertawakan. Ia mengecup bibirku. kami berpelukan. Hangat sekali. Entah kenapa aku merasa ini bukan cuma nafsu. Kami melakukannya dengan jiwa.
Dengan dua jari, kulepaskan kaitan bra-nya. Ia menatapku, "jarang ada yang bisa melakukan ini" ia melemparkan bra hitam itu entah kemana. Aku menatap payudara bulat yang tadi penuh dengan air liurku. Nampaknya ia mengering. Aku memegangnya, kupastikan bahwa tingkat kebulatannya memang sempurna. Ia tersenyum. Kudaratkan jempolku, di daging itu, dua-duanya. Tentu saja, ia melenguh. Kuteruskan aksiku, bervariasi. Remas, pilin, usap, tekan. Begitu terus. Berubah-ubah. Kecepatan terus meningkat. Ia menjambak rambutku dan mengarahkan kepalaku menuju mainanku. Mau tidak mau, bibir ini mendarat dengan mulus. Tepat di puting mungil yang nampak kemerahan. Jelas itu karena ulahku tadi. Ada perasaan bangga. Ia tegak dan memerah. Tak lama kemudian, lidahku sudah menjelajah ke setiap sudut gunung kembar nan indah ini. Kombinasi jari-jari, bibir, lidah dan gigi mampu bekerja sama dengan sangat baik. Ia memainkan peran masing-masing.
"Uhhhhh.... Massss.... Massss" tubuhnya meliuk-liuk. Ia menjambaki rambutku dengan lembut. Tak sekasar tadi.
"Ssshhhh Ohhhh, Masss Awaanghh, Uhhhh" nampaknya wanita ini tipe berisik dalam bercinta. Tak henti meracau tiap serangan kulancarkan.
Kupindahkan tanganku ke punggungnya, lalu perlahan-lahan turun ke bawah. Ada gundukan lain di bawah sana yang masih terbungkus celana dalam. Kuremas. Kuremas. Kumainkan jari-jariku. Sesekali kumasukkan ia ke balik celana dalam. Lalu ke lipatan bokongnya yang tak bisa kugambarkan lagi.
Sementara bibirku tetap pada tugasnya. Ia masih belum mau beranjak dari mendaki gunung kembar itu.
Aku harus melangkah ke fase berikutnya. Kurebahkan tubuhkan, kakinya kubuat menjuntai di ranjang. Aku berdiri. Kupandangi tubuh putih muluh yang sedang telentang di hadapanku. Aku masih tak percaya. Kucoba mencubit lenganku sekeras mungkin. Ternyata sakit juga.
Dokter Ara masih terpejam. Ia nampak menunggu. Dan aku tak ingin ia menunggu. Kuarahkan kepalaku ke celana dalam yang membungkus mahkota terakhir yang belum kunikmati. Kuhembuskan nafasku tepat di depannya. Darahnya berdesir. Nafsunya kian meninggi.
Kumainkan lidahku tanpa kubuka kain itu. Ia melebarkan kakinya. Kubasahi ia dengan air liurku.
"Masss.. Shhhh. Aku nggak bawa ganti." penolakan yang sia-sia. Wong dari tadi celananya juga sudah basah oleh cairan vaginanya. Penolakan macam apa itu.
Kuteruskan aksiku. Kini kain itu kusibak dari samping. Ada bulu-bulu yang cukup lebat, tapi tertata rapi. Kuarahkan lidahku memasuki hutan belantara. Dengan cara berbeda. Tentu dengan bantuan kedua tanganku.
Dokter Ara menggeliat sebisanya. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, lalu menaikkan bokongnya tinggi-tinggi.
"Uhhhhh shhhh, ini gilaaa" masih sempat-sempatnya ia bilang begitu.
Kuputuskan untuk melepas celana dalam yang sudah basah kuyup itu. Kini aku bebas mengeksplorasi gundukan indah ini. Kumainkan jari telunjukku. Lalu lidahku membantu. Kucari dimana clitorisnya. Agak tersembunyi. Berhasil kutemukan. Dan, tentu saja kuhajar terus menerus. Tanpa ampun. Tetap dengan lembut. Tidak tergesa-gesa.
"Masss ampun Masss. Ooooohhh" ia meracau. Perasaan bangga menghampiriku. Aku membuat dokter ini kelojotan.
Kuteruskan. Tak ada jeda. Nafasku sudah tak karuan. Nafsuku sudah di ubun-ubun. Tapi aku tahu, aku harus berhasil menahannya. Aku harus memberikan kesan pertama yang menakjubkan.
"Aaaauuuu Ohhhhhn" ia sedikit berteriak.
Tubuhnya melonjak ke atas. Tangannya mendorong kepalaku kian masuk. Aku sedikit tak bisa bernafas. Lidahku tetap pada posisinya, jari telunjukku juga. Badannya jatuh. Nafasnya ngos-ngosan. Tubuhnya melemah. Ada aliran darah yang mulai turun. Kulirik ke atas, matanya terpejam. Tangannya lemas, tak lagi memegang kepalaku. Ia ambruk. Dokter cantik ini ambruk. Aku mengangkat kepalaku dari vaginanya. Aku berdiri. Memandang tubuh telanjang ini lekat-lekat. Tubuhnya basah. Keringat dan air liurku luruh menjadi satu. Wajahku pun begitu. Entah cairan apa saja yang membasahinya.
Perlahan ia buka matanya. Ia tersenyum.
"Aku sekarang nggak sedih lagi," ia mencoba berdiri. Memelukku.
Aku tau maksudnya. Aku siap mengarungi petualangan bersama dokter yang menggairahkan ini.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved