Bab 3 Part 3
by Dinda Tirani
10:58,Apr 26,2024
"Kita keluar yuk. Jalan-jalan dulu," ia mengajakku menikmati pemandangan di luar.
Aku hanya mengangguk. Kami keluar bersamaan. Berjalan beriringan seperti sepasang kekasih. Kami memutuskan untuk tidak bergandeng tangan. Ada beberapa orang menatap langkah kami. Persetan. Aku masih dalam euforia. Cepat atau lambat aku akan mendapatkan tubuh Dokter Ara. Soal apakah aku mampu meladeni nafsu besarnya itu urusan nanti. Strategi itu bisa disusun kemudian. Aku ingin menikmati momen ini dulu.
Tak ada yang menarik selama kami berjalan menikmati area wisata. Kami lebih banyak diam. Dia fokus menikmati pemandangan. Sebenarnya aku juga. Tapi pikiranku lebih banyak untuk menyiapkan strategi setelah ini. Ah, entahlah. Biarkan ini mengalir seperti seharusnya. Aku harus siap.
Setengah jam berlalu, dokter Ara mengajak pergi. Aku mengiyakan. Kami cabut dari tempat itu dan menuju pusat kota B.
"Kita mau kemana, Dok?" aku memberanikan diri bertanya.
"Udah nurut aku aja," ia tersenyum. Manis sekali.
"Dokter bilang pulang jam berapa?"
"Nggak bilang, cuma pamit lembur saja,"
"Ya sudah aku manut," aku makin deg-degan.
Ia memacu mobil menuju kota J. Aku yakin ia akan membawa kami ke hotel. Setahuku, di Kota B tidak ada hotel yang mau menerima pasangan bukan suami istri, sedangkan di kota J lebih bebas. Kami memang tak banyak bicara sepanjang perjalanan kali ini. Sesekali kuberanikan diri memegang tangannya. Ia selalu tersenyum dan merespon dengan menggenggam tanganku. Hangat. Aku sedikit tak percaya kami sampai pada tahap ini.
Benar dugaanku. Ia mengarahkan mobilnya ke salah satu hotel di kota J. Ini hotel menengah, mungkin bintang 3. Cukup baru sepertinya dengan bangunan yang didominasi oleh kaca. Setahuku hotel ini masih dalam tahap pembangungan ketika aku masih sering berkunjung di kota J. Ia memintaku tetap di dalam mobil, ia yang keluar memesan kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang.
"Di kamar 327 ya. Kunci mobilnya dan langsung ke kamar. Aku udah di dalam,"
aku membaca pesan itu dengan perasaan tak karuan. Mudah-mudahan saja aku tak mengecewakannya. Aku yakin tak akan sehebat Mas Iwan. Semoga aku lebih baik dari Pak Tio, manajer itu.
Keluar dari mobil, aku langsung menuju kamar yang dimaksud. Aku berhenti di depan pintu. Aku ragu. Kuyakinkan lagi bahwa ini memang tujuanku. Menaklukkan Dokter Ara. Menaklukkan wanita yang paling banyak dibicarakan di kantor. Wanita yang selalu menggugah syahwat untuk bangkit. Wanita yang selalu berpenampilan menggoda. Wanita yang memiliki suara sangat menggairahkan. Inilah waktunya. Berikan pengalaman yang luar biasa. Aku menyemangati diriku sendiri.
Kuketuk pintu kayu itu tiga kali. Pintu terbuka. Wanita itu tersenyum dari baliknya. Oh Tuhan, kenapa dia jadi lebih cantik dari biasanya. Dan tentu lebih menggairahkan.
Waktu rasanya berputar lambat sekali. Setelah mengunci pintu, Dokter Ara duduk diujung ranjang putih, menghadap ke jendela. Ia membelakangiku yang duduk di kursi. Kami saling diam beberapa saat. Suasanya ini seperti saat aku memergokinya di klinik. Seaneh itu. Aku bingung harus memulai dari mana. Nampaknya ia pun begitu. Kami sepertinya saling ragu, apakah ini memang benar-benar tindakan terbaik dari hubungan ini.
"Mas Awang...."
"Bu Dokter..."
Kami menyapa bersamaan. Kami tertawa. Aneh sekali. Dan syukurlah, suasana kembali mencair.
Aku memutuskan untuk melangkah. Kututup tirai jendela yang sebelumnya ia biarkan terbuka. Lalu duduk disampingnya. Aku harus menjadi laki-laki yang sesungguhnya hari ini. Soal apa yang terjadi nanti atau kemudian hari, biarlah menjadi risiko yang kutanggung.
Kami tersenyum. Ia memelukku. Lama sekali. Tanpa kata. Hanya terdengar nafas kami berdua. Yang sepertinya makin lama makin cepat. Aku merasakan tekanan pada area dadaku. Kenyal sekali. Begini ternyata tekanan dari dada yang sering jadi bahan bercandaan teman-teman di kantor. Benar-benar kenyal. Pikiranku tak bisa kualihkan. Selama ini memang dada inilah yang selalu membuatku penasaran. Tampaknya ada yang mulai bangun di bawah sana. Si Johny tau saja kalau ia sedang dekat dengan wanita yang menggairahkan.
Dokter Ara melepaskan pelukannya. Kami bertatapan. Entah kenapa proses ini lambat sekali. Aku memang tak ingin membuat ritmenya menjadi cepat. Aku ingin menikmati tiap prosesnya. Aku tak tahu bagaimana pengalamannya dengan laki-laki lain, yang kuyakini ia harus mengingatku dengan pengalaman yang lain.
"Kamu mau bantuin aku?" ia tiba-tiba bertanya.
"Aku tidak sehebat Mas Iwan, Bu Dokter," shit. Apa yang kukatakan.
"Aku tidak sedang mencari Mas Iwan. Atau yang seperti dia" ia tersenyum, meyakinkanku.
Kami berciuman. Bibirnya lembut sekali. Ia sama sekali tak menunjukkan wanita dengan birahi tinggi, yang bisa saja agresif dan tergesa-gesa. Ciuman kami lambat sekali. Menikmati tiap proses. Menjelajahi tiap sudut bibir kami masing-masing. Aku tak ingin melepaskan bibirnya. Begitupun ia, sepertinya.
Tangannya jadi dingin sekali. Kugenggam ia. Tak lama kemudian, aku memeluknya. Kukeluarkan saja semua apa yang kutahu. Sambil mengikuti insting sebagai laki-laki. Kami berdiri. Tinggi kami yang setara membuat proses ini jadi menakjubkan. Dengan bibir yang saling memagut, kami melangkahkan kaki pelan-pelan menyusuri area kosong. Kami menikmatinya. Ia memejamkan mata. Kami terlena. Ini ciuman terbaik yang pernah kulakukan, dan kudapatkan.
Kami tiba di ujung pintu kamar. Kusandarkan tubuhkan di pintu kayu itu. Bibir kami tetap bersatu. Aku tak tahu bagaimana caranya kami bernafas dengan posisi seperti ini sedari tadi. Yang kutahu kami tetap hidup. Dan jantung kami berdetak sangat kencang. Aku melepaskan bibirnya. Nafas kami tersengal. Ngos-ngosan. Kuulangi, ini ciumam terbaik yang pernah kulakukan.
Entahlah berapa lama kami berciuman. Nafas kami benar-benar tak teratur. Kami mengaturnya. Bertatapan, dan tersenyum.
"Kamu beda, Mas," Suaranya makin menggairahkan dengan kondisi seperti ini.
Kujawab kalimatnya dengan senyum. Kupagut lagi bibirnya. Kami berciuman lagi. Kali ini, tangannya mulai merabai punggungku. Kulakukan hal yang sama. Ia tiba-tiba melepaskan ciuman kami. Ia ingin membuka bajuku. Kutahan. Aku tak ingin secepat itu. Kugenggam tangannya. kuarahkan ke pundakku. Kami berciuman lagi. Kami menyusuri ruang kosong lagi.
Gila. Aku bisa menaklukkannya. Aku mendapatkannya. Wanita yang paling dibicarakan di kantor kini memeluk tubuhku. Menjelajahi bibirku. Ada perasaan bangga. Tapi jangan takabur, Awang. Kamu belum tentu bisa memuaskannya.
Kami sudah sampai di ranjang. Aku berada di atasnya. Tetap dengan bibir yang terikat. Tak lama, kulepaskan pagutan itu. Matanya sayu sekali. Nafsu. Birahi. Syahwat. Apapaun namanya, ia telah menguasai kami. Dokter Ara makin binal raut mukanya. Aku mesih menindihnya. Ia melanjutkan yang kutahan tadi, kali ini kubiarkan. Kaosku dilolosi. Tubuh kurusku terpampang. Jangan dibandingkan dengan Mas Iwan, jelas seperti langit dan bumi. Aku terduduk di tubuhnya, ia bangkit. Wajah, leher, telinga, pundah, dada, hingga lenganku jadi sasaran amukan bibirnya. Dan lidahnya yang panjang itu.
Benar memang, wanita ini sangat agresif kalau tak dikontrol. Ia berani mengambil inisiatif. Ia berani menguasai permainan.
Aku membalasnya dengan menghajar dadanya. Akhirnya kupegang dada ini. Gila. Ini benar-benar gila. Diluar ekspektasiku. Dadanya bulat sekali. Tanganku sepertinya tak cukup menggenggamnya. Kuremas, kumainkan dengan ritmen sedang. Sengaja aku tak masuk. Ia memakai baju dengan kancing di belakang, itu pun jumlahnya cuma dua.
Kami masih asyik dengan permainan kami masing-masing. Aku memutuskan memasukkan tanganku dari bawah bajunya. Lalu masuk lebih dalam dari bawah bra. Bulat sekali. Kenyal. Menggairahkan.
"uhhhhhh" ia melenguh. Menghentikan aktivitasnya menjilati telingaku.
Kujelajahi dua daging bulat itu. Aku tak percaya ini dada milik ibu dua orang anak. Rasanya tak mungkin masih sesempurna ini. Tapi sepertinya ia tahu kalau ini adalah daya tarik utamanya, ia jaga dengan sempurna. Jempolku sampai di aksesoris utama. Putingnya tegang sekali. Dan sedikit lebih kecil dari yang pernah kurasakan. Kulakukan tugasku sebagaimana mestinya. Ia melenguh. Terus melenguh. Diselingi dengan desah dan suaranya yang menggairahkan itu. Sial. Aku tak percaya ini jadi kenyataan.
Kuputuskan mengangkat bajunya. Kurebahkan tubuh itu. Kupandangi lekat-lekat. Ia tersenyum, manis sekali. Ia memberikan isyarat untuk rebah. Kami berciuman. Lagi. dan lagi. Tanganku tentu bergerilya di pusaka kembar miliknya. Anugerah ini harus dinikmati dengan baik. Siapa tahu ini tidak terulang.
Ritme tetap kami jaga selambat mungkin, terutama aku. Ia mulai mengikuti ritmeku. Aku menang. Kulepaskan ciumanku, kuangkat bra hitam miliknya. Kalian tentu tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Gunung kembar itu menjadi santapanku siang ini. Kuarahkan lidahlu menjelajahi gundukan indah itu. Aku tak menyentuh putingnya sama sekali. Payudara itu basah. Keduanya. Gantian kunikmati. Ia terus mendesah. Ia terus melenguh. Ia arahkan kepalaku menuju putingnya. Kuturuti kemauannya. Kulahap puting kanan, kumainkan lidahku. Tanganku menjalankan tugasnya di bagian kiri. Begitu terus, bergantian. Sedikit variasi kugigiti puting mungil itu. Kusedot, kuitari, kujilati. Kukeluarkan semua kemampuanku.
"Masssss....." ia melenguh, menjambak rambutku.
Aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan dua buah membusung ini.
"Masss.. Shhhh.... Masshhh..." Ia menarik kepalaku ke atas. Diciuminya bibirku. Tanganku tetap menjalankan tugasnya. Sebentar saja, kuturunkan lagi kepalaku, kali ini hanya mampir di payudaranya, terus kebawah, kujelajahi perutnya. Pusarnya. Lalu bawah pusar. Ku bermain disana. Tanganku tetap di atas sana. Tak beranjak.
Ia makin menggelinjang. Ia gusar. Ia meremasi kepalaku. Aku makin asyik dengan lidah dan bibirku. Ia mendesah. Sesekali mengangkat tubuknya, lalu meremas lagi. Aku makin ke bawah. Ke bawah. Lalu....
"Titititit.... Titititit..... Titititit....." Anjing. Hape ini menghancurkan semuanya. Kami bangkit. Bertatapan. Ia berdiri menemui suara itu. Ia mengangkat telepon. Aku tercenung. Perasaanku kacau. Antara nafsu dan kesadaran saling bertempur. Gila. Ini gila.
Bersambung
Aku hanya mengangguk. Kami keluar bersamaan. Berjalan beriringan seperti sepasang kekasih. Kami memutuskan untuk tidak bergandeng tangan. Ada beberapa orang menatap langkah kami. Persetan. Aku masih dalam euforia. Cepat atau lambat aku akan mendapatkan tubuh Dokter Ara. Soal apakah aku mampu meladeni nafsu besarnya itu urusan nanti. Strategi itu bisa disusun kemudian. Aku ingin menikmati momen ini dulu.
Tak ada yang menarik selama kami berjalan menikmati area wisata. Kami lebih banyak diam. Dia fokus menikmati pemandangan. Sebenarnya aku juga. Tapi pikiranku lebih banyak untuk menyiapkan strategi setelah ini. Ah, entahlah. Biarkan ini mengalir seperti seharusnya. Aku harus siap.
Setengah jam berlalu, dokter Ara mengajak pergi. Aku mengiyakan. Kami cabut dari tempat itu dan menuju pusat kota B.
"Kita mau kemana, Dok?" aku memberanikan diri bertanya.
"Udah nurut aku aja," ia tersenyum. Manis sekali.
"Dokter bilang pulang jam berapa?"
"Nggak bilang, cuma pamit lembur saja,"
"Ya sudah aku manut," aku makin deg-degan.
Ia memacu mobil menuju kota J. Aku yakin ia akan membawa kami ke hotel. Setahuku, di Kota B tidak ada hotel yang mau menerima pasangan bukan suami istri, sedangkan di kota J lebih bebas. Kami memang tak banyak bicara sepanjang perjalanan kali ini. Sesekali kuberanikan diri memegang tangannya. Ia selalu tersenyum dan merespon dengan menggenggam tanganku. Hangat. Aku sedikit tak percaya kami sampai pada tahap ini.
Benar dugaanku. Ia mengarahkan mobilnya ke salah satu hotel di kota J. Ini hotel menengah, mungkin bintang 3. Cukup baru sepertinya dengan bangunan yang didominasi oleh kaca. Setahuku hotel ini masih dalam tahap pembangungan ketika aku masih sering berkunjung di kota J. Ia memintaku tetap di dalam mobil, ia yang keluar memesan kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang.
"Di kamar 327 ya. Kunci mobilnya dan langsung ke kamar. Aku udah di dalam,"
aku membaca pesan itu dengan perasaan tak karuan. Mudah-mudahan saja aku tak mengecewakannya. Aku yakin tak akan sehebat Mas Iwan. Semoga aku lebih baik dari Pak Tio, manajer itu.
Keluar dari mobil, aku langsung menuju kamar yang dimaksud. Aku berhenti di depan pintu. Aku ragu. Kuyakinkan lagi bahwa ini memang tujuanku. Menaklukkan Dokter Ara. Menaklukkan wanita yang paling banyak dibicarakan di kantor. Wanita yang selalu menggugah syahwat untuk bangkit. Wanita yang selalu berpenampilan menggoda. Wanita yang memiliki suara sangat menggairahkan. Inilah waktunya. Berikan pengalaman yang luar biasa. Aku menyemangati diriku sendiri.
Kuketuk pintu kayu itu tiga kali. Pintu terbuka. Wanita itu tersenyum dari baliknya. Oh Tuhan, kenapa dia jadi lebih cantik dari biasanya. Dan tentu lebih menggairahkan.
Waktu rasanya berputar lambat sekali. Setelah mengunci pintu, Dokter Ara duduk diujung ranjang putih, menghadap ke jendela. Ia membelakangiku yang duduk di kursi. Kami saling diam beberapa saat. Suasanya ini seperti saat aku memergokinya di klinik. Seaneh itu. Aku bingung harus memulai dari mana. Nampaknya ia pun begitu. Kami sepertinya saling ragu, apakah ini memang benar-benar tindakan terbaik dari hubungan ini.
"Mas Awang...."
"Bu Dokter..."
Kami menyapa bersamaan. Kami tertawa. Aneh sekali. Dan syukurlah, suasana kembali mencair.
Aku memutuskan untuk melangkah. Kututup tirai jendela yang sebelumnya ia biarkan terbuka. Lalu duduk disampingnya. Aku harus menjadi laki-laki yang sesungguhnya hari ini. Soal apa yang terjadi nanti atau kemudian hari, biarlah menjadi risiko yang kutanggung.
Kami tersenyum. Ia memelukku. Lama sekali. Tanpa kata. Hanya terdengar nafas kami berdua. Yang sepertinya makin lama makin cepat. Aku merasakan tekanan pada area dadaku. Kenyal sekali. Begini ternyata tekanan dari dada yang sering jadi bahan bercandaan teman-teman di kantor. Benar-benar kenyal. Pikiranku tak bisa kualihkan. Selama ini memang dada inilah yang selalu membuatku penasaran. Tampaknya ada yang mulai bangun di bawah sana. Si Johny tau saja kalau ia sedang dekat dengan wanita yang menggairahkan.
Dokter Ara melepaskan pelukannya. Kami bertatapan. Entah kenapa proses ini lambat sekali. Aku memang tak ingin membuat ritmenya menjadi cepat. Aku ingin menikmati tiap prosesnya. Aku tak tahu bagaimana pengalamannya dengan laki-laki lain, yang kuyakini ia harus mengingatku dengan pengalaman yang lain.
"Kamu mau bantuin aku?" ia tiba-tiba bertanya.
"Aku tidak sehebat Mas Iwan, Bu Dokter," shit. Apa yang kukatakan.
"Aku tidak sedang mencari Mas Iwan. Atau yang seperti dia" ia tersenyum, meyakinkanku.
Kami berciuman. Bibirnya lembut sekali. Ia sama sekali tak menunjukkan wanita dengan birahi tinggi, yang bisa saja agresif dan tergesa-gesa. Ciuman kami lambat sekali. Menikmati tiap proses. Menjelajahi tiap sudut bibir kami masing-masing. Aku tak ingin melepaskan bibirnya. Begitupun ia, sepertinya.
Tangannya jadi dingin sekali. Kugenggam ia. Tak lama kemudian, aku memeluknya. Kukeluarkan saja semua apa yang kutahu. Sambil mengikuti insting sebagai laki-laki. Kami berdiri. Tinggi kami yang setara membuat proses ini jadi menakjubkan. Dengan bibir yang saling memagut, kami melangkahkan kaki pelan-pelan menyusuri area kosong. Kami menikmatinya. Ia memejamkan mata. Kami terlena. Ini ciuman terbaik yang pernah kulakukan, dan kudapatkan.
Kami tiba di ujung pintu kamar. Kusandarkan tubuhkan di pintu kayu itu. Bibir kami tetap bersatu. Aku tak tahu bagaimana caranya kami bernafas dengan posisi seperti ini sedari tadi. Yang kutahu kami tetap hidup. Dan jantung kami berdetak sangat kencang. Aku melepaskan bibirnya. Nafas kami tersengal. Ngos-ngosan. Kuulangi, ini ciumam terbaik yang pernah kulakukan.
Entahlah berapa lama kami berciuman. Nafas kami benar-benar tak teratur. Kami mengaturnya. Bertatapan, dan tersenyum.
"Kamu beda, Mas," Suaranya makin menggairahkan dengan kondisi seperti ini.
Kujawab kalimatnya dengan senyum. Kupagut lagi bibirnya. Kami berciuman lagi. Kali ini, tangannya mulai merabai punggungku. Kulakukan hal yang sama. Ia tiba-tiba melepaskan ciuman kami. Ia ingin membuka bajuku. Kutahan. Aku tak ingin secepat itu. Kugenggam tangannya. kuarahkan ke pundakku. Kami berciuman lagi. Kami menyusuri ruang kosong lagi.
Gila. Aku bisa menaklukkannya. Aku mendapatkannya. Wanita yang paling dibicarakan di kantor kini memeluk tubuhku. Menjelajahi bibirku. Ada perasaan bangga. Tapi jangan takabur, Awang. Kamu belum tentu bisa memuaskannya.
Kami sudah sampai di ranjang. Aku berada di atasnya. Tetap dengan bibir yang terikat. Tak lama, kulepaskan pagutan itu. Matanya sayu sekali. Nafsu. Birahi. Syahwat. Apapaun namanya, ia telah menguasai kami. Dokter Ara makin binal raut mukanya. Aku mesih menindihnya. Ia melanjutkan yang kutahan tadi, kali ini kubiarkan. Kaosku dilolosi. Tubuh kurusku terpampang. Jangan dibandingkan dengan Mas Iwan, jelas seperti langit dan bumi. Aku terduduk di tubuhnya, ia bangkit. Wajah, leher, telinga, pundah, dada, hingga lenganku jadi sasaran amukan bibirnya. Dan lidahnya yang panjang itu.
Benar memang, wanita ini sangat agresif kalau tak dikontrol. Ia berani mengambil inisiatif. Ia berani menguasai permainan.
Aku membalasnya dengan menghajar dadanya. Akhirnya kupegang dada ini. Gila. Ini benar-benar gila. Diluar ekspektasiku. Dadanya bulat sekali. Tanganku sepertinya tak cukup menggenggamnya. Kuremas, kumainkan dengan ritmen sedang. Sengaja aku tak masuk. Ia memakai baju dengan kancing di belakang, itu pun jumlahnya cuma dua.
Kami masih asyik dengan permainan kami masing-masing. Aku memutuskan memasukkan tanganku dari bawah bajunya. Lalu masuk lebih dalam dari bawah bra. Bulat sekali. Kenyal. Menggairahkan.
"uhhhhhh" ia melenguh. Menghentikan aktivitasnya menjilati telingaku.
Kujelajahi dua daging bulat itu. Aku tak percaya ini dada milik ibu dua orang anak. Rasanya tak mungkin masih sesempurna ini. Tapi sepertinya ia tahu kalau ini adalah daya tarik utamanya, ia jaga dengan sempurna. Jempolku sampai di aksesoris utama. Putingnya tegang sekali. Dan sedikit lebih kecil dari yang pernah kurasakan. Kulakukan tugasku sebagaimana mestinya. Ia melenguh. Terus melenguh. Diselingi dengan desah dan suaranya yang menggairahkan itu. Sial. Aku tak percaya ini jadi kenyataan.
Kuputuskan mengangkat bajunya. Kurebahkan tubuh itu. Kupandangi lekat-lekat. Ia tersenyum, manis sekali. Ia memberikan isyarat untuk rebah. Kami berciuman. Lagi. dan lagi. Tanganku tentu bergerilya di pusaka kembar miliknya. Anugerah ini harus dinikmati dengan baik. Siapa tahu ini tidak terulang.
Ritme tetap kami jaga selambat mungkin, terutama aku. Ia mulai mengikuti ritmeku. Aku menang. Kulepaskan ciumanku, kuangkat bra hitam miliknya. Kalian tentu tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Gunung kembar itu menjadi santapanku siang ini. Kuarahkan lidahlu menjelajahi gundukan indah itu. Aku tak menyentuh putingnya sama sekali. Payudara itu basah. Keduanya. Gantian kunikmati. Ia terus mendesah. Ia terus melenguh. Ia arahkan kepalaku menuju putingnya. Kuturuti kemauannya. Kulahap puting kanan, kumainkan lidahku. Tanganku menjalankan tugasnya di bagian kiri. Begitu terus, bergantian. Sedikit variasi kugigiti puting mungil itu. Kusedot, kuitari, kujilati. Kukeluarkan semua kemampuanku.
"Masssss....." ia melenguh, menjambak rambutku.
Aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan dua buah membusung ini.
"Masss.. Shhhh.... Masshhh..." Ia menarik kepalaku ke atas. Diciuminya bibirku. Tanganku tetap menjalankan tugasnya. Sebentar saja, kuturunkan lagi kepalaku, kali ini hanya mampir di payudaranya, terus kebawah, kujelajahi perutnya. Pusarnya. Lalu bawah pusar. Ku bermain disana. Tanganku tetap di atas sana. Tak beranjak.
Ia makin menggelinjang. Ia gusar. Ia meremasi kepalaku. Aku makin asyik dengan lidah dan bibirku. Ia mendesah. Sesekali mengangkat tubuknya, lalu meremas lagi. Aku makin ke bawah. Ke bawah. Lalu....
"Titititit.... Titititit..... Titititit....." Anjing. Hape ini menghancurkan semuanya. Kami bangkit. Bertatapan. Ia berdiri menemui suara itu. Ia mengangkat telepon. Aku tercenung. Perasaanku kacau. Antara nafsu dan kesadaran saling bertempur. Gila. Ini gila.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved