Bab 6 Part 6

by Dinda Tirani 20:22,May 08,2024
Kami sama-sama terbangun, dengan kondisi langit yang sudah gelap. Ia tersenyum, menatapku. Kami berpelukan, sekali lagi. Belum ada apapun yang membungkus tubuh kami. Setelah kenikmatan pertama tadi usai kami raih, sepertinya tak ada tenaga yang tersisa hingga tak lama kemudian kami terlelap.

"Aku laper, Mas" kumaklumi, karena tak ada makanan masuk ke tubuh kami sejak siang.
"Mau pesan di hotel atau keluar?" kutawarkan pilihan padanya.
"Hmmm. Gimana ya. Keluar saja, yuk. Aku harus beli celana dalam," ternyata ia masih ingat kalau celana dalamnya basah kuyup oleh aksi kami tadi.
"Berarti kamu keluar nggak pakai celana dalam?"

Dia meringis. Memasang wajah menggemaskan. Ingin rasanya kuterkam dan kujelajahi lagi tubuhnya. Tapi kutahan sebisa mungkin, aku harus tetap elegan.

"Ya sudah ayok keburu tambah malam," ajakku
"Mandi dulu nggak?" tanyanya
"Enaknya gitu sih, kalau kamu nggak mau mandi ya aku saja yang mandi," aku memasang wajah menyebalkan.

Dia mencubitku. Lumayan juga rasanya. Lalu bangkit, tanpa sehelai benang pun ditubuhnya, menuju kamar mandi dan mencibirku.

"Awas kamu ngintip!" sambil memasang wajah seram, ia acungkan jarinya ke arahku.

Menggemaskan. Tubuh yang selama ini hanya kulihat dengan kondisi terbungkus rapat, meski pakaiannya cenderung seksi, kini telanjang. Bahkan kunikmati setiap jengkalnya. Perjalanan memang selalu mengejutkan. Aku mulai percaya diri, aku bisa menikmatinya kapan pun aku mau.

Kami sudah selesai mandi. Seperti pembicaraan kami tadi, ia memutuskan tak pakai celana dalam. Aksi yang cukup berani. Aku yakin akan banyak sekali pasang mata yang menelanjanginya. Apalagi ia memakai celana berbahan kain dengan model longgar. Bajunya pun tak panjang-panjang amat. Kita lihat saja bagaimana reaksi orang-orang saat memandangnya.

Dokter Ara juga memutuskan tak memakai jilbab. Rambut panjang pirangnya ia ikat dengan model kuncir kuda. Gairahku bangkit. Ingin rasanya kujelajahi tengkuknya. Tapi sekali lagi kutahan. Aku harus bermain cantik.

Penampilan Dokter Ara malam ini benar-benar menggugah selera. Aku tak bertanya atau protes tentang keputusannya berpenampilan. Selain karena memang tak ada pakaian lain yang ia bawa, aku juga menikmatinya. Dan sepertinya ia pun begitu. Wanita ini memiliki sisi eksebisionis juga ternyata.

Kami tiba di salah satu pusat perbelanjaan. Ia langsung menuju area pakaian dalam. Aku mengekor di belakangnya. Kulihat sekeliling, nampak beberapa pasang mata laki-laki mencuri pandang ke tubuh Dokter Ara. Jika dilihat dengan seksama, memang nampak bahwa ia tak pakai celana dalam. Celana yang ia pakai sangat mendukung. Dia tiba-tiba memberika isyarat padaku untuk mendekat.

"Laki-laki kaos hitam di arah jam 2 dari tadi kayaknya nelan ludah terus, Mas" wanita ini memang nakal.

Aku tak langsung mencari apa yang ia bicarakan. Beberapa detik kemudian, kuarahkan pandanganku ke objek yang dimaksud. Nampak laki-laki sedikit berumur, ia terus mencuri pandang ke tubuh Dokter Ara, dan dokter seksi ini nampak menikmatinya. Ia kemudian sengaja menggandeng tanganku, ia lingkarkan lengannya. Ia berbisik.

"Aku pengen nih," ia mengerlingkan matanya.

Gila. Selain eksebisionis, dokter ini juga nakal. Aku tak yakin kalau melakukannya di tempat umum. Tidak lucu kalau nanti kami digrebek dan diarak massa. Aku masih menunggu kalimat berikutnya.

"Kita beli baju dulu sebentar. Makannya di bungkus saja ya," nampaknya ia benar-benar nafsu akibat banyak laki-laki memperhatikannya. Aku harus benar-benar menyiapkan stamina malam ini.

Proses di pusat perbelanjaan berlangsung cepat, begitu pun dengan makanan yang kami beli. Ia memacu kendaraannya dengan sedikit tergesa-gesa.

"Sabar dong Bu Dokter sayaaang," aku membelai rambutnya.

Ia memandangku. Senyumnya kali ini nakal sekali.

Sejurus kemudian kami sampai di hotel. Aku masuk lebih dulu. 5 menit kemudian pintu diketuk. Kubuka, sesosok tubuh menerkamku. Nafsunya benar-benar sedang tinggi. Kami berciuman. Sedikit lebih kasar dari apa yang telah kami lakukan tadi siang. Aku harus tetap pada gaya bermainku, jika kuikuti ritmenya aku bisa saja kalah. Kuputuskan untuk mengambil kendali.

Kulepaskan ciumannya. Ia nampak protes. Kukecup bibirnya. Beberapa tas kresek berisi belanjaan kami kuambil alih. Kutaruh bungkusan itu di atas meja. Dokter Ara masih mematung di dekat pintu. Aku duduk di sofa.

"Mau berdiri di situ terus?" kuberi kode mendekat.

Ia memasang wajah manja sekali. Tapi mengundang birahi. Tatapannya sayu, penuh nafsu. Tak menjawab pertanyaanku, ia perlahan berjalan mendekat. Tapi, dia tak hanya berjalan. Ia memberiku kejutan. Dibuka bajunya perlahan. Tetap berjalan pelan, ia gerakkan tubuhnya. Menari. Ya ampun. Pertunjukkan apa lagi ini. Tubuhnya meliuk-liuk. Adegan membuka baju nampak jadi sangat erotis. Ia lolosi baju tipis itu, berlanjut dengan bra-nya. Dan matanya kian sayu menatapku. Satu tangannya bergerak ke belakang. Klik. Lepas sudah kaitan pembungkus payudara bulatnya. Terpampang jelas bagaimana daging bulat itu memanggil-manggil untuk dihabisi. Ia tetap menari. Gerakan seadanya, namun tetap menggairahkan.

Berjarak dua langkah dari tubuhku, ia membalikkan badan. Dibuka celananya perlahan. Pelan sekali. Ia tahu bagaimana memancing birahiku. Ia membungkuk, bokongnya hanya berjarak sekian centi dari wajahku, diturunkan celananya. Perlahan. Ia mundurkan bokongnya. Semakin mundur. Terlepaslah celana tipis itu. Ada yang menempel di wajahku. Hidungku menjadi sasaran pertama. Aku diam. Masih diam. Tak percaya adegan ini akan terjadi. Kesadaranku belum pulih benar. Bongkahan itu masih menempel. Tiba-tiba ia bergoyang. Kekanan Kekiri. Begitu terus hingga beberapa kali. Dengan sangat perlahan. Tak hanya hidungku, seluruh bagian wajahku merasakannya. Kesadaranku pulih. Tanganku bergerak menangkap bongkan itu. Belum dapat, ia menjauhkan diri. Sial. Aku hanya kena gesekannya. Ia menjauh. Bongkahan itu menjauh. Aku mengutuki diri.

Ternyata cobaan itu tak berlangsung lama. Tubuh itu berbalik. Sambil menggoyangkan pinggul, ia mendekat. Yes. Lihat saja, akan kukeluarkan semua kemampuanku untuk membuatnya ketagihan. Semoga saja tenagaku belum habis.

Jantungku berdetak kian cepat. Ia makin mendekat. Tapi, ia justru menaiki sofa, melewatiku. Aku diam. Menunggu kejutan lain. Aku yakin malam ini akan luar biasa. Ada sesuatu yang mendekap tubuhku dari belakang. Dirabanya tubuhku bagian depan. Perut. Dada. Lengan. Lalu leher. Dan wajah. Nafas mendengus menghembusi leherku. Gila. Aku melayang. Aku melayang. Rasanya ingin kuhentikan saja waktu. Ingin kunikmati gairah malam ini lebih lama lagi.

Leherku basah. Setelah aliran syarafku hampir saja putus akibat dengus nafas Dokter Ara, kini lidahnya yang memegang kendali. Tengkuk dan telingaku jadi sasaran. Aku terbang. Rasanya aku ingin menguncinya di kamar ini untuk waktu yang sangat lama.

Ia melanjutkan aksinya dengan melepas kaosku. Tubuhku bagian atas kini bebas. Kulit kami bertemu lagi. Dingin. Tapi hangat. Dan mulai basah. Ia tetap menggeliat, menjelajahi tubuhku.

Tiba-tiba Dokter Ara berdiri. Aku tak rela pelukan dan belaiannya terlepas. Kekhawatiranku nampaknya hanya sebentar, ia memutar. Kau tahu, kini ada bukit kecil dipenuhi pepohonan lebat berada di depan wajahku. Ia subur sekali, tapi terawat dengan baik. Nampaknya usai hujan disana. Bukit itu nampak basah, airnya mengalir. Membasahi sekitar. Lembab. Hujannya membuat baunya kian menyebar. Menyenangkan. Menggairahkan.

Bukit itu mendekat. Ia memosisikan dirinya tepat di depan mulutku. Tahu benar ia letaknya. Ia bergerak keatas, ke bawah. Konstan. Aku harus segera bergerak juga. Kuputuskan menjelajahi bukit itu. Kita akan berpetualang lagi. Kita akan eksplorasi kekayaannya. Mari kita mulai.

Ah. Mimpi apa aku semalam mendapatkan anugerah tak terkira. Jika orang lain hanya membicarakannya. Membayangkannya. Berfantasi. Atau apapun itu. Aku menikmatinya. Aku bahkan melihat sisi lain dari Dokter Ara. Ia liar. Ia binal. Ia nakal. Ia menggairahkan. Dan aku mendapatkannya.


Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

402