Bab 9 Part 9
by Dinda Tirani
20:27,May 08,2024
"Kamu ih. Pak Tio lagi di kantor, aku bilang pulang besok, dia kayaknya pengen nemeni. Gimana ini?"
Laki-laki bangsat. Aku tak kuat jika harus menahan hasrat ini lebih lama lagi. Apalagi aku akan satu apartemen dengan mereka, ya meski beda kamar.
"Mau gimana lagi. Kamu rencana pulang kapan?" aku mencoba berbesar hati.
"Minggu dong. Aku kangen sama kamu. Tapi kalau begini, pasti dia ngajak aku pulang bareng. Duh. Aku bingung," ia tampak gusar. Aku tak bisa memberikan solusi.
Aku hanya berpikir, alasan apa yang Pak Tio berikan pada istrinya kalau sampai ia menemani Dokter Ara hingga Sabtu. Laki-laki ini ada-ada saja.
"Buat dia pulang nanti dong Bu Dokter. Kan nggak mungkin kita sembunyi-sembunyi. Kalau ketahuan, mati kita," aku tak punya ide jawaban selain ini.
"Ya sudah kupikirkan dulu. Sialan orang itu. Kamu nanti langsung cek in saja ya. Minta kamar selantai sama aku, di lantai 16," perintahnya.
"Siap Bu Dokter sayang," kututup percakan dengan sedikit manis. Aku pasrah dengan strategi yang ia pikir. Aku percaya saja. Ia jelas lebih berpengalaman.
Pukul tiga sore, acaraku sudah selesai. Tanpa menghubungi Dokter Ara, aku langsung menuju Apartemen P. Proses cek in berlangsung singkat. Aku menuju lantai 16 seperti yang ia minta. Aku tak tahu ia di kamar nomor berapa, aku mendapatkan nomor 1640. Apartemen yang bagus. Pantas saja harganya lumayan. Tampak ada kolam renang dan bar di lantai 8. Memasuki lift, aku terhenyak. Kejutan apalagi ini. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan. Aku salah tingkah. Oh. Ini harus segera diakhiri, jika tidak, semua akan kacau. Ah. Sial. Kenapa momennya harus tepat begini.
"Loh, Mas Awang nginep disini?" Pak Tio. Iya, aku berjumpa Pak Tio. Ia nampak dari basement. Aku tak tahu kalau kami tadi pulang bersamaan. Aduh, aku masih bingung menempatkan diri. Petualangan bersama Dokter Ara benar-benar penuh kejutan. Dan memacu adrenalin.
"Eh. Iya Pak. Tadi habis ada rapat di kantor. Pak Tio juga?" aku menguasai keadaan pelan-pelan.
Masih lantai 6.
"Iya. Saya dari hari kamis kemarin. Ini rencananya mau cek out, mau ambil barang-barang," Pak Tio tampak tenang sekali. Aku salut dengan ketenangannya. Padahal, aku tahu ia sedang berselingkung disini.
Lantai 9. Ada dua orang masuk ke dalam lift.
"Langsung pulang, Pak?" aku mulai tenang. Kupancing saja terus, siapa tahu bisa membuatnya pulang hari ini. Minimal ia ingat istrinya di rumah sudah menunggu.
Lantai 10. Tiga orang masuk membuat lift sedikit penuh.
"Rencananya gitu. Tadi masih harus ke kantor induk ketemu orang disana," ia mulai berbelit. Aku berhasil memancingnya.
Lantai 12. Dua orang keluar. Seorang petugas apartemen menggantikan.
"Mas Awang dari kapan dinasnya?" ia berusaha mencari topik lain. Mengalihkan pembicaraan. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Kami seperti saling menebak. Was-was atas rahasia masing-masing. Aku sedikit lebih tenang, aku memegang kartu truf.
Lantai 14. Seorang masuk lagi mengisi rombongan, wanita yang cukup cantik, dengan pakaian cukup berani. Mata kami semua tertuju padanya.
"Cuma hari ini, Pak. Masih mau main disini, janjian sama teman-teman," aku menjawab dengan tenang. Ia mungkin heran kenapa aku menginap disini. Dengan harga yang lumayan, seorang staf biasa sepertiku rasanya tak mungkin menghabiskan akhir pekan disini. Ia mulai curiga.
Lantai 15. Ini penentuan. Kami jelas turun di lantai yang sama. Aku tak tahu ia di kamar berapa. Bisa saja ada kejutan lain. Aku siap. Adrenalinku makin naik. 3 orang yang tadi masuk di lantai 10 keluar bersamaan.
"Oh. Masih bujang ya, jadi enak mau kumpul teman-teman," ia mulai kehabisan bahan pembicaraan. Penghuni lain di lift ini tampak tak peduli dengan pembicaraan kami. Lift rasanya berjalan lambat sekali.
Lantai 16. Kami sama-sama keluar lift. Ia nampak kaget. Wajahnya menunjukkan itu. Langkahnya ragu-ragu. Ia tersenyum. Aku memasang wajah cuek. Dengan yakin, aku melangkahkan kaki ke arah kiri. Ia pun sama. Gila. Ingin rasanya kondisi ini cepat berlaku. Tapi seru juga.
"Loh di lantai ini juga, Mas? Kamar nomor berapa?" terlanjur basah, kita menyelam sekalian.
"1640, pak. Bapak?" wajahku tampak meyakinkan.
"Saya di 1636," kamar ami ternyata berdekatan. Hanya ada 1 kamar ayng memisahkan. Ia menunjukkan perubahan sikap yang cukup ekstrem. Ia nampak bingung. Ada sedikit ketakutan kedoknya diketahui olehku. Aroma kemenangan tercium mendekat.
Pak Tio pura-pura kesulitan mencari kunci. Dengan meyakinkan, kulewati ia. Kubiarkan ia dalam kebingungannya. Buat apa kunci, wong di dalam ada Dokter Ara. Aku sedikit tersenyum. Lucu juga melihatnya kebingungan. Ingin rasanya kubisiki, "Sudah, tak usah bingung. Saya tau kok Pak," lalu tertawa sekeras mungkin. Tapi, aku tak sejahat itu.
Tak ingin mempermalukannya, aku bergegas membuka pintu kamarku. Kuucapkan salam pada Pak Tio. Kasihan juga ia dalam kondisi ini. Aku masih menghormatinya sebagai senior dan pejabat di kantorku.
"Saya duluan, Pak," aku masuk, menutup pintu perlahan.
Diam sejenak. Kudengar ada suara ketukan pintu, tiga kali, lirih. Pintu terbuka, ditutup, lalu hening. Aku tertawa terbahak-bahak.
...
Deeerrtt..... Deeeerttt.... Deeeeerrrt....
Hapeku bergetar, ada panggilan masuk sepertinya. Padahal aku sedang menikmati pemandangan sore di jalanan Kota S. Ogah-ogahan, kuhampiri hapeku, ternyata Dokter Ara. Berarti ia sudah sendirian. Semoga saja.
"Kamu kok jahat sih?" suara manjanya keluar. Aku merinding.
"Kenapa sih Bu Dokter?" aku pura-pura tak tahu.
"Pakai pura-pura segala. Kamu apain tadi Pak Tio sampai dia cepet-cepet mau pulang ini tadi?" ia tertawa. Renyah sekali.
Aku tertawa juga. Puas. Aku berhasil mengirim Pak Tio kembali ke istrinya. Sungguh mulia tindakanku. Menyelamatkan ia dari jerat selingkuh. Aku benar-benar anak baik.
"Loh nggak sengaja ketemu tadi, ya kuajak ngobrol lah. Aku kan anak baik," aku menggodanya. Dan tetap tertawa.
"Sudah ah. Aku mau beres-beres dulu. Habis itu kesitu. Dilanjut nanti saja cerita Pak Tionya," ia menutup telepon.
Ah. Akhirnya Dokter Ara jadi milikku 2 hari ini. Kasian juga Pak Tio. Maafkan saya ya Pak. Cuma dua hari ini kok. Senin Bu Dokter sudah jadi milik Bapak lagi.
Aku menjatuhkan diri di ranjang. Tenang. Lega sekali rasanya semua berjalan baik. Tak kuduga hanya dalam waktu satu jam dari perpisahan kami di depan pintu kamar tadi, Pak Tio memutuskan pulang. Aku tak tahu bagaimana pembicaraan mereka. Semoga saja ia tak curiga. Dan hubunganku dengan Dokter Ara tetap baik-baik saja.
Tok. Tok. Tok.
Ini pasti dokter *******. Aku tinggal memakai boxer dan kaos saja. Siapa tahu tiba-tiba ada yang menyerangku secara tiba-tiba. Persiapan harus selalu maksimal.
Kubuka pintu. Sesosok wanita berambut panjang berwarna pirang, memakai atasan kemeja longgar panjang, sepertinya tak memakai bh, dan hanya ada celana dalam di bagian bawah. Ini sih pemandangan sore yang menakjubkan. Pemandangan di luar jendela jelas tak ada apa-apanya. Kuraih tas jinjing di tangannya, tubuhnya dalam rangkulanku, kutuntun masuk. Pintu tertutup dengan sendirinya.
Kami tertawa. Keras sekali. Ia beberapa kali menepuk dadaku. Tak habis pikir, akan ada kejadian lucu sekali sore ini. Kami masih tak bisa berhenti tertawa. Hidup selalu penuh kejutan.
"Awalnya aku sudah pesimis, Mas. Kemungkinan terburuk ya kita nggak jadi ketemu minggu ini, pasrah lah aku," ia membuka percakapan, jelas saja menceritakan kejadian di kamar 1636 beberapa saat lalu. Kami duduk di sofa, memandang jalanan sore yang padat.
"Terus?" aku tersenyum, memberikan kesempatan padanya untuk menuntaskan cerita.
"Eh tiba-tiba dia masuk dengan wajah yang aneh. Langsung bilang kalau ia pulang habis itu karena tiba-tiba anaknya telepon katanya. Aneh kan. Aku penasaran dong," ia mulai nerocos tak terkontrol.
"Alasannya dibuat-buat ya. Tapi apa hubungannya coba ketemu aku dengan langsung pulang, kan bisa saja tetap di kamar, aku juga nggak bakal tahu," aku penasaran juga dengan alasan kepergian Pak Tio.
"Mana aku tahu. Setelah itu dia cuma cerita kalau di lift ketemu kamu, katanya kamu nginep di kamar ini. Aku hampir saja ketawa. Kalau keceplosan gimana coba," ia tertawa sungguhan setelah bilang seperti itu.
"Laki-laki yang aneh. Anggaplah ini hari keberuntungan kita. Dinikmati saja kalau begitu," aku mengecup keningnya. Ia mengeratkan pelukan. Ada yang mengganjal.
Kuhilangkan pikiran mesumku. Meski sebenarnya aku sangat bernafsu, apalagi dengan pakaiannya seperti ini. Tak ingin kujatuhkan harga diri dengan terlihat menggebu-gebu untuk menikmati tubuhnya. Semua harus kulakukan dengan elegan. Aku harus berbeda.
Kami tak bersuara hingga beberapa menit kemudian. Hanya berpelukan. Anehnya si johny juga tak cepat menegang. Makin pintar ia. Kami menikmati pertemuan ini, setelah 3 minggu menunggu kesempatan. Peristiwa di Kota J benar-benar mengubah hubungan kami. Lebih dekat, lebih intim, saling menjelajahi kedalam masing-masing. Aku tak tahu bagaimana jika nantinya akan muncul perasaan selain nafsu. Kuikuti saja perjalanan hubungan ini. Terpenting, hubungan kami aman, tak membahayakan keselamatan kami masing-masing. Kami sama-sama tahu itu.
Sore yang syahdu. Tubuh kami tetap menyatu memandang riuh jalanan. Ada kenyamanan dari pelukan ini. Entah kenapa, aku selalu nyaman menjalin huhungan dengan wanita yany lebih tua. Mereka tak pernah merengek, mereka tahu kondisinya. Seperti hubunganku dengan Dokter Ara, meski baru berlangsung 1 bulan, terhitung sejak kami intens berkomunikasi, tak perlu penjelasan macam-macam, ia tahu posisinya. Aku pun begitu. Aku tak pernah menanyakan bagaimana suaminya. Aku juga tak pernah ingin tahu bagaimana anak dan keluarganya di rumah. Semua mengalir bak sungai tenang. Aku menikmati tiap prosesnya, mudah-mudahan ia pun begitu.
Bersambung
Laki-laki bangsat. Aku tak kuat jika harus menahan hasrat ini lebih lama lagi. Apalagi aku akan satu apartemen dengan mereka, ya meski beda kamar.
"Mau gimana lagi. Kamu rencana pulang kapan?" aku mencoba berbesar hati.
"Minggu dong. Aku kangen sama kamu. Tapi kalau begini, pasti dia ngajak aku pulang bareng. Duh. Aku bingung," ia tampak gusar. Aku tak bisa memberikan solusi.
Aku hanya berpikir, alasan apa yang Pak Tio berikan pada istrinya kalau sampai ia menemani Dokter Ara hingga Sabtu. Laki-laki ini ada-ada saja.
"Buat dia pulang nanti dong Bu Dokter. Kan nggak mungkin kita sembunyi-sembunyi. Kalau ketahuan, mati kita," aku tak punya ide jawaban selain ini.
"Ya sudah kupikirkan dulu. Sialan orang itu. Kamu nanti langsung cek in saja ya. Minta kamar selantai sama aku, di lantai 16," perintahnya.
"Siap Bu Dokter sayang," kututup percakan dengan sedikit manis. Aku pasrah dengan strategi yang ia pikir. Aku percaya saja. Ia jelas lebih berpengalaman.
Pukul tiga sore, acaraku sudah selesai. Tanpa menghubungi Dokter Ara, aku langsung menuju Apartemen P. Proses cek in berlangsung singkat. Aku menuju lantai 16 seperti yang ia minta. Aku tak tahu ia di kamar nomor berapa, aku mendapatkan nomor 1640. Apartemen yang bagus. Pantas saja harganya lumayan. Tampak ada kolam renang dan bar di lantai 8. Memasuki lift, aku terhenyak. Kejutan apalagi ini. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan. Aku salah tingkah. Oh. Ini harus segera diakhiri, jika tidak, semua akan kacau. Ah. Sial. Kenapa momennya harus tepat begini.
"Loh, Mas Awang nginep disini?" Pak Tio. Iya, aku berjumpa Pak Tio. Ia nampak dari basement. Aku tak tahu kalau kami tadi pulang bersamaan. Aduh, aku masih bingung menempatkan diri. Petualangan bersama Dokter Ara benar-benar penuh kejutan. Dan memacu adrenalin.
"Eh. Iya Pak. Tadi habis ada rapat di kantor. Pak Tio juga?" aku menguasai keadaan pelan-pelan.
Masih lantai 6.
"Iya. Saya dari hari kamis kemarin. Ini rencananya mau cek out, mau ambil barang-barang," Pak Tio tampak tenang sekali. Aku salut dengan ketenangannya. Padahal, aku tahu ia sedang berselingkung disini.
Lantai 9. Ada dua orang masuk ke dalam lift.
"Langsung pulang, Pak?" aku mulai tenang. Kupancing saja terus, siapa tahu bisa membuatnya pulang hari ini. Minimal ia ingat istrinya di rumah sudah menunggu.
Lantai 10. Tiga orang masuk membuat lift sedikit penuh.
"Rencananya gitu. Tadi masih harus ke kantor induk ketemu orang disana," ia mulai berbelit. Aku berhasil memancingnya.
Lantai 12. Dua orang keluar. Seorang petugas apartemen menggantikan.
"Mas Awang dari kapan dinasnya?" ia berusaha mencari topik lain. Mengalihkan pembicaraan. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Kami seperti saling menebak. Was-was atas rahasia masing-masing. Aku sedikit lebih tenang, aku memegang kartu truf.
Lantai 14. Seorang masuk lagi mengisi rombongan, wanita yang cukup cantik, dengan pakaian cukup berani. Mata kami semua tertuju padanya.
"Cuma hari ini, Pak. Masih mau main disini, janjian sama teman-teman," aku menjawab dengan tenang. Ia mungkin heran kenapa aku menginap disini. Dengan harga yang lumayan, seorang staf biasa sepertiku rasanya tak mungkin menghabiskan akhir pekan disini. Ia mulai curiga.
Lantai 15. Ini penentuan. Kami jelas turun di lantai yang sama. Aku tak tahu ia di kamar berapa. Bisa saja ada kejutan lain. Aku siap. Adrenalinku makin naik. 3 orang yang tadi masuk di lantai 10 keluar bersamaan.
"Oh. Masih bujang ya, jadi enak mau kumpul teman-teman," ia mulai kehabisan bahan pembicaraan. Penghuni lain di lift ini tampak tak peduli dengan pembicaraan kami. Lift rasanya berjalan lambat sekali.
Lantai 16. Kami sama-sama keluar lift. Ia nampak kaget. Wajahnya menunjukkan itu. Langkahnya ragu-ragu. Ia tersenyum. Aku memasang wajah cuek. Dengan yakin, aku melangkahkan kaki ke arah kiri. Ia pun sama. Gila. Ingin rasanya kondisi ini cepat berlaku. Tapi seru juga.
"Loh di lantai ini juga, Mas? Kamar nomor berapa?" terlanjur basah, kita menyelam sekalian.
"1640, pak. Bapak?" wajahku tampak meyakinkan.
"Saya di 1636," kamar ami ternyata berdekatan. Hanya ada 1 kamar ayng memisahkan. Ia menunjukkan perubahan sikap yang cukup ekstrem. Ia nampak bingung. Ada sedikit ketakutan kedoknya diketahui olehku. Aroma kemenangan tercium mendekat.
Pak Tio pura-pura kesulitan mencari kunci. Dengan meyakinkan, kulewati ia. Kubiarkan ia dalam kebingungannya. Buat apa kunci, wong di dalam ada Dokter Ara. Aku sedikit tersenyum. Lucu juga melihatnya kebingungan. Ingin rasanya kubisiki, "Sudah, tak usah bingung. Saya tau kok Pak," lalu tertawa sekeras mungkin. Tapi, aku tak sejahat itu.
Tak ingin mempermalukannya, aku bergegas membuka pintu kamarku. Kuucapkan salam pada Pak Tio. Kasihan juga ia dalam kondisi ini. Aku masih menghormatinya sebagai senior dan pejabat di kantorku.
"Saya duluan, Pak," aku masuk, menutup pintu perlahan.
Diam sejenak. Kudengar ada suara ketukan pintu, tiga kali, lirih. Pintu terbuka, ditutup, lalu hening. Aku tertawa terbahak-bahak.
...
Deeerrtt..... Deeeerttt.... Deeeeerrrt....
Hapeku bergetar, ada panggilan masuk sepertinya. Padahal aku sedang menikmati pemandangan sore di jalanan Kota S. Ogah-ogahan, kuhampiri hapeku, ternyata Dokter Ara. Berarti ia sudah sendirian. Semoga saja.
"Kamu kok jahat sih?" suara manjanya keluar. Aku merinding.
"Kenapa sih Bu Dokter?" aku pura-pura tak tahu.
"Pakai pura-pura segala. Kamu apain tadi Pak Tio sampai dia cepet-cepet mau pulang ini tadi?" ia tertawa. Renyah sekali.
Aku tertawa juga. Puas. Aku berhasil mengirim Pak Tio kembali ke istrinya. Sungguh mulia tindakanku. Menyelamatkan ia dari jerat selingkuh. Aku benar-benar anak baik.
"Loh nggak sengaja ketemu tadi, ya kuajak ngobrol lah. Aku kan anak baik," aku menggodanya. Dan tetap tertawa.
"Sudah ah. Aku mau beres-beres dulu. Habis itu kesitu. Dilanjut nanti saja cerita Pak Tionya," ia menutup telepon.
Ah. Akhirnya Dokter Ara jadi milikku 2 hari ini. Kasian juga Pak Tio. Maafkan saya ya Pak. Cuma dua hari ini kok. Senin Bu Dokter sudah jadi milik Bapak lagi.
Aku menjatuhkan diri di ranjang. Tenang. Lega sekali rasanya semua berjalan baik. Tak kuduga hanya dalam waktu satu jam dari perpisahan kami di depan pintu kamar tadi, Pak Tio memutuskan pulang. Aku tak tahu bagaimana pembicaraan mereka. Semoga saja ia tak curiga. Dan hubunganku dengan Dokter Ara tetap baik-baik saja.
Tok. Tok. Tok.
Ini pasti dokter *******. Aku tinggal memakai boxer dan kaos saja. Siapa tahu tiba-tiba ada yang menyerangku secara tiba-tiba. Persiapan harus selalu maksimal.
Kubuka pintu. Sesosok wanita berambut panjang berwarna pirang, memakai atasan kemeja longgar panjang, sepertinya tak memakai bh, dan hanya ada celana dalam di bagian bawah. Ini sih pemandangan sore yang menakjubkan. Pemandangan di luar jendela jelas tak ada apa-apanya. Kuraih tas jinjing di tangannya, tubuhnya dalam rangkulanku, kutuntun masuk. Pintu tertutup dengan sendirinya.
Kami tertawa. Keras sekali. Ia beberapa kali menepuk dadaku. Tak habis pikir, akan ada kejadian lucu sekali sore ini. Kami masih tak bisa berhenti tertawa. Hidup selalu penuh kejutan.
"Awalnya aku sudah pesimis, Mas. Kemungkinan terburuk ya kita nggak jadi ketemu minggu ini, pasrah lah aku," ia membuka percakapan, jelas saja menceritakan kejadian di kamar 1636 beberapa saat lalu. Kami duduk di sofa, memandang jalanan sore yang padat.
"Terus?" aku tersenyum, memberikan kesempatan padanya untuk menuntaskan cerita.
"Eh tiba-tiba dia masuk dengan wajah yang aneh. Langsung bilang kalau ia pulang habis itu karena tiba-tiba anaknya telepon katanya. Aneh kan. Aku penasaran dong," ia mulai nerocos tak terkontrol.
"Alasannya dibuat-buat ya. Tapi apa hubungannya coba ketemu aku dengan langsung pulang, kan bisa saja tetap di kamar, aku juga nggak bakal tahu," aku penasaran juga dengan alasan kepergian Pak Tio.
"Mana aku tahu. Setelah itu dia cuma cerita kalau di lift ketemu kamu, katanya kamu nginep di kamar ini. Aku hampir saja ketawa. Kalau keceplosan gimana coba," ia tertawa sungguhan setelah bilang seperti itu.
"Laki-laki yang aneh. Anggaplah ini hari keberuntungan kita. Dinikmati saja kalau begitu," aku mengecup keningnya. Ia mengeratkan pelukan. Ada yang mengganjal.
Kuhilangkan pikiran mesumku. Meski sebenarnya aku sangat bernafsu, apalagi dengan pakaiannya seperti ini. Tak ingin kujatuhkan harga diri dengan terlihat menggebu-gebu untuk menikmati tubuhnya. Semua harus kulakukan dengan elegan. Aku harus berbeda.
Kami tak bersuara hingga beberapa menit kemudian. Hanya berpelukan. Anehnya si johny juga tak cepat menegang. Makin pintar ia. Kami menikmati pertemuan ini, setelah 3 minggu menunggu kesempatan. Peristiwa di Kota J benar-benar mengubah hubungan kami. Lebih dekat, lebih intim, saling menjelajahi kedalam masing-masing. Aku tak tahu bagaimana jika nantinya akan muncul perasaan selain nafsu. Kuikuti saja perjalanan hubungan ini. Terpenting, hubungan kami aman, tak membahayakan keselamatan kami masing-masing. Kami sama-sama tahu itu.
Sore yang syahdu. Tubuh kami tetap menyatu memandang riuh jalanan. Ada kenyamanan dari pelukan ini. Entah kenapa, aku selalu nyaman menjalin huhungan dengan wanita yany lebih tua. Mereka tak pernah merengek, mereka tahu kondisinya. Seperti hubunganku dengan Dokter Ara, meski baru berlangsung 1 bulan, terhitung sejak kami intens berkomunikasi, tak perlu penjelasan macam-macam, ia tahu posisinya. Aku pun begitu. Aku tak pernah menanyakan bagaimana suaminya. Aku juga tak pernah ingin tahu bagaimana anak dan keluarganya di rumah. Semua mengalir bak sungai tenang. Aku menikmati tiap prosesnya, mudah-mudahan ia pun begitu.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved