Bab 4: Salah Sasaran
by Josena Sibudan
17:32,Mar 09,2024
Henea melangkah keluar dari Paviliun Tetua dengan langkah pasti. Hatinya penuh dengan tekad untuk meraih mimpinya.
Setelah kembali ke rumah, Henea menemukan adiknya sedang terlelap dalam mimpi indah. Melihat wajah damai adiknya yang tertidur, Henea berjanji akan selalu ada untuk melindungi satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Kemudian, Henea pergi ke ruang seni bela diri. Ruangan itu berisi banyak teknik seni bela diri.
Setelah menghela napas panjang, Henea membuka salah satu buku tersebut. "Dulu, ilmu bela diri ini bagaikan misteri yang tidak terpecahkan bagiku. Tapi sekarang, aku akan mengungkap semua rahasianya."
Henea mengambil salah satu buku yang selama ini dianggap sulit dengan tangan gemetar karena semangat. Dia membolak-balik halaman demi halaman dengan penuh rasa ingin tahu.
"Tujuh Tahapan Telapak Tangan! Jadi, selama ini aku hanya kurang berbakat. Tidak heran kalau aku kesulitan memahaminya," ucap Henea sambil menggelengkan kepala.
Henea melanjutkan membolak-balik halaman buku. "Teknik tinju meteor ini juga terlalu dasar. Tidak heran kalau banyak orang yang menguasainya," gumamnya.
Dengan senyum tipis, Henea menutup buku terakhir. Ternyata, semua ini hanyalah masalah bakat. Kalau dia memiliki bakat yang lebih tinggi, pasti akan lebih mudah baginya untuk menguasai semua teknik ini.
Bakat adalah kunci untuk menguasai seni bela diri. Dengan bakat yang tinggi, seseorang bisa dengan mudah memahami teknik yang paling rumit sekali pun.
"Aku harus mencari teknik yang lebih tinggi tingkatannya. Teknik-teknik ini tidak akan membantuku untuk mencapai tujuan yang kuinginkan," tegas Henea.
Henea tidak ingin membuang waktunya untuk berlatih seni bela diri yang mudah.
"Aku memiliki bakat yang luar biasa. Dengan tekad yang kuat, aku yakin bisa melampaui batas kemampuanku saat ini," ucapnya penuh percaya diri.
Jarak antara Henea dan Manu memang masih jauh, tapi baginya hal itu bukan penghalang. Henea akan terus berlatih hingga dia bisa mengalahkan Manu.
Dunia seni bela diri bagaikan gunung yang menjulang tinggi, semakin ke atas semakin sulit untuk didaki. Setiap tingkat adalah tantangan baru yang harus diatasi. Perbedaan satu tingkat saja bisa membuat kekuatan seseorang berbeda langit dan bumi. Bayangkan saja, lawan-lawan yang dulu dengan mudah dikalahkan, kini terasa seperti semut di hadapan gajah.
Dunia dalam tubuh kita adalah fondasi dari kekuatan kita. Dengan memperkuat dunia dalam, kita akan menjadi semakin kuat dan tak terkalahkan.
Dengan fokus yang kuat, Henea mulai menyatu dengan alam semesta. Dia menarik energi spiritual dari langit dan bumi untuk mengisi tubuhnya.
Tubuhnya bergetar karena aliran energi spiritual yang begitu kuat. Dia merasa seperti sedang terlahir kembali sebagai manusia baru.
"Bakatku seperti mesin yang terus bekerja. Aku bisa menyerap energi spiritual dengan sangat cepat. Tapi, Daro Orenji dengan bakatnya yang lebih tinggi, pasti memiliki kekuatan yang jauh di atasku."
"Selain itu, masih ada putra Paman Zeal dan putra Paman Cullen. Mereka semua adalah jenius kelas tujuh tingkat kuning. Mereka mungkin lebih dulu dariku, tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan membuktikan bahwa bakat bukanlah segalanya. Kerja keras dan tekad yang kuat akan membawaku pada kemenangan."
Dengan senyum penuh keyakinan akan kemampuannya saat ini, Henea menatap masa depannya.
Seolah seperti sungai yang mengalir deras, energi spiritual memenuhi tubuh Henea. Tulang-tulangnya terasa semakin kuat, dan meridiannya semakin lancar mengalirkan energi. Ini adalah tanda jelas bahwa kekuatannya telah meningkat ke level yang baru.
Malam berlalu.
Fajar menyingsing, menandai awal dari hari yang baru. Henea membuka matanya dan seketika itu juga dia merasakan sensasi berbeda dalam tubuhnya.
"Aku berhasil mencapai level pemula tingkat ketiga!"
Tanpa ragu, Henea melayangkan tinjunya ke arah batu besar di sampingnya. Pukulannya begitu kuat hingga meninggalkan bekas yang dalam.
Bekas tinju yang dalam di batu itu adalah bukti nyata dari peningkatan kekuatannya yang luar biasa.
"Semua usahaku selama ini tidak sia-sia. Aku sangat bangga pada diriku sendiri. Aku telah membuktikan bahwa dengan kerja keras dan tekad yang kuat aku bisa mencapai apa saja."
Senyum lebar terukir di wajah Henea. Semua jerih payah dan pengorbanannya selama ini akhirnya terbayar lunas.
"Buk, buk, buk!"
"Ayo, cepat! Berhati-hatilah, ini barang berharga!"
Henea mendengar suara gaduh dari luar.
"Hah?" Dengan wajah penuh tanda tanya, Henea keluar dari ruangan untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Saat membuka pintu, pemandangan yang dilihat Henea membuatnya terkejut. Rumahnya yang dulu nyaman kini tampak seperti medan perang. Perabotan berserakan, dan puing-puing memenuhi halaman. Sepertinya ada yang tidak beres.
Dengan suara bergetar karena marah, Henea mencengkeram kerah salah satu pelayan. "Apa-apaan ini? Kalian sedang apa?" bentaknya.
Salah satu pelayan menyeringai, "Oh, ternyata kamu masih hidup. Tuan Muda tidak menyukai kehadiranmu, jadi semua barangmu akan kami bawa pergi. Kamu keberatan?"
Seorang pemuda dengan wajah angkuh mendekati Henea. Tatapannya penuh dengan penghinaan, seolah Henea adalah serangga yang tidak berharga.
Wajah Toni Lintara yang sombong itu sangat familiar bagi Henea. Dia tahu betul bahwa pemuda ini selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkannya.
"Kamu pecundang, kembalilah ke tempat asalmu. Kalau tidak, jangan salahkan aku karena bersikap kasar!" Kemarahan Henea memuncak. Dia ingin sekali menghajar Toni, tapi dia tahu bahwa kalau dia bertindak gegabah, dia akan kalah. Dia harus menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam.
Toni tertawa mengejek. "Kamu kira kamu siapa? Hanya seorang pecundang. Jangan lupa, aku anak dari pengurus tertinggi. Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau padamu."
"Hahaha!"
Para pelayan ikut tertawa terbahak-bahak. Mereka merasa senang melihat Henea dipermalukan. Para pelayan yang awalnya sedikit waspada pada Henea, kini merasa tenang setelah mendengar ucapan Toni. Mereka yakin bahwa Henea tidak akan berani melawan.
"Aku memberimu satu kesempatan terakhir, keluar dari sini sekarang juga!" Henea berteriak keras dan memerintahkan mereka untuk pergi.
"Apa yang terjadi?" Toni sedikit terkejut mendengar teriakan Henea. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Henea kali ini.
Di hadapan para pelayannya, Henea harus menjaga citranya sebagai pemimpin yang kuat dan tidak terkalahkan. Bagaimana mungkin dia bisa memimpin kalau dia terlihat lemah dan mudah ditaklukkan? Kalau dia ingin disegani, dia harus menunjukkan kekuatannya.
Dengan nada mengejek, Toni menantang Henea. Dia ingin menunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa. "Ayo, kita lihat seberapa kuat kamu sebenarnya," tantangnya sambil mengepalkan tinjunya.
Tanpa menunggu lebih lama, Henea langsung menyerang.
"Kamu yang memulai ini," ucap Henea sambil meluncurkan serangannya.
Pukulan demi pukulan mendarat di wajah Toni. Henea menyerang dengan cepat dan akurat, membuat Toni tidak berdaya untuk melawan.
Rasa sakit yang luar biasa memenuhi tubuh Toni. Dia tidak percaya bahwa dia telah dikalahkan dengan mudah oleh Henea.
"Bagaimana dia bisa begitu kuat? Dengan kekuatan seni bela diri tingkat kedua saya, aku bahkan tidak bisa melawan. Ada yang tidak beres." Toni merasa sangat malu dan marah. Dia tidak menyangka bahwa dia akan dipermalukan di depan semua orang.
"Kamu bajingan kecil! Kalau kamu berani memukulku, kamu akan mati." Toni mengancam Henea dengan suara lemah. Namun, ancamannya terdengar tidak meyakinkan. Dia tahu bahwa dia telah kalah.
"Baiklah, seperti yang kamu katakan, kamu sudah mati, budak anjing."
Henea mendekati Toni selangkah demi selangkah.
"Deg, deg, deg!"
Di samping, para pelayan terlihat sangat ketakutan sehingga mereka tidak berani mengeluarkan satu kata pun. Toni mulai mengeluarkan banyak berkeringat. Dia menyadari bahwa dia akan kalah telak.
"Apa yang akan kamu lakukan? Ayahku adalah seorang petinggi. Kalau kamu berani membunuhku, ayahku tidak akan pernah membiarkanmu kabur!" Suara Toni terdengar sangat ketakutan hingga dia hampir tercekik.
"Ya, ayahmu adalah seorang petinggi dan memiliki kekuasaan serta kekuatan yang besar. Lalu, apa yang harus kulakukan dengan itu?" Kata Henea dengan ekspresi bercanda di wajahnya.
"Oh, jadi baru sekarang kamu mengerti, ya? Kamu harus merangkak dan memohon ampun padaku. Segera bawa aku ke tabib untuk memeriksa luka-lukaku ini! Ayahku tidak akan tinggal diam kalau tahu kamu telah menyakitiku. Kamu akan menyesal seumur hidup! Dasar manusia sampah! Kamu tidak berguna!"
Sepertinya Toni tidak memahami arti ekspresi Henea. Dia menjadi congkak lagi, yang secara tidak langsung menantang Henea untuk menghabisi nyawanya.
"Sssshhh!"
Henea bergerak dan melayangkan tinjunya bagai batu yang dilemparkan dari ketinggian.
"Duak!"
Bola cahaya kuning melayang menuju kepala Henea dan dia menyerap kekuatan baru.
"Cih, ternyata bakat bocah ini hanya berada di tingkat kuning. Bahkan setelah kuserap, kekuatanku tidak bertambah signifikan. Sepertinya untuk tumbuh lebih kuat, aku harus mencari bakat yang lebih tinggi levelnya."
Ucap Henea setelah menyerap kekuatan Toni.
Para pelayan yang menyaksikan kematian tragis majikan mereka langsung terdiam kaku. Wajah mereka pucat pasi, tubuh gemetar ketakutan. Mereka tidak berani mengeluarkan suara sedikit pun.
"Pergi kalian, dasar bajingan!"
Henea menganggap Toni tidak layak untuk dibunuh. Dia adalah sampah yang tidak berguna.
Dengan rasa takut dan bersyukur, para pelayan akan berjanji setia pada Henea dan rela melakukan apa pun untuknya.
Setelah kembali ke rumah, Henea menemukan adiknya sedang terlelap dalam mimpi indah. Melihat wajah damai adiknya yang tertidur, Henea berjanji akan selalu ada untuk melindungi satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Kemudian, Henea pergi ke ruang seni bela diri. Ruangan itu berisi banyak teknik seni bela diri.
Setelah menghela napas panjang, Henea membuka salah satu buku tersebut. "Dulu, ilmu bela diri ini bagaikan misteri yang tidak terpecahkan bagiku. Tapi sekarang, aku akan mengungkap semua rahasianya."
Henea mengambil salah satu buku yang selama ini dianggap sulit dengan tangan gemetar karena semangat. Dia membolak-balik halaman demi halaman dengan penuh rasa ingin tahu.
"Tujuh Tahapan Telapak Tangan! Jadi, selama ini aku hanya kurang berbakat. Tidak heran kalau aku kesulitan memahaminya," ucap Henea sambil menggelengkan kepala.
Henea melanjutkan membolak-balik halaman buku. "Teknik tinju meteor ini juga terlalu dasar. Tidak heran kalau banyak orang yang menguasainya," gumamnya.
Dengan senyum tipis, Henea menutup buku terakhir. Ternyata, semua ini hanyalah masalah bakat. Kalau dia memiliki bakat yang lebih tinggi, pasti akan lebih mudah baginya untuk menguasai semua teknik ini.
Bakat adalah kunci untuk menguasai seni bela diri. Dengan bakat yang tinggi, seseorang bisa dengan mudah memahami teknik yang paling rumit sekali pun.
"Aku harus mencari teknik yang lebih tinggi tingkatannya. Teknik-teknik ini tidak akan membantuku untuk mencapai tujuan yang kuinginkan," tegas Henea.
Henea tidak ingin membuang waktunya untuk berlatih seni bela diri yang mudah.
"Aku memiliki bakat yang luar biasa. Dengan tekad yang kuat, aku yakin bisa melampaui batas kemampuanku saat ini," ucapnya penuh percaya diri.
Jarak antara Henea dan Manu memang masih jauh, tapi baginya hal itu bukan penghalang. Henea akan terus berlatih hingga dia bisa mengalahkan Manu.
Dunia seni bela diri bagaikan gunung yang menjulang tinggi, semakin ke atas semakin sulit untuk didaki. Setiap tingkat adalah tantangan baru yang harus diatasi. Perbedaan satu tingkat saja bisa membuat kekuatan seseorang berbeda langit dan bumi. Bayangkan saja, lawan-lawan yang dulu dengan mudah dikalahkan, kini terasa seperti semut di hadapan gajah.
Dunia dalam tubuh kita adalah fondasi dari kekuatan kita. Dengan memperkuat dunia dalam, kita akan menjadi semakin kuat dan tak terkalahkan.
Dengan fokus yang kuat, Henea mulai menyatu dengan alam semesta. Dia menarik energi spiritual dari langit dan bumi untuk mengisi tubuhnya.
Tubuhnya bergetar karena aliran energi spiritual yang begitu kuat. Dia merasa seperti sedang terlahir kembali sebagai manusia baru.
"Bakatku seperti mesin yang terus bekerja. Aku bisa menyerap energi spiritual dengan sangat cepat. Tapi, Daro Orenji dengan bakatnya yang lebih tinggi, pasti memiliki kekuatan yang jauh di atasku."
"Selain itu, masih ada putra Paman Zeal dan putra Paman Cullen. Mereka semua adalah jenius kelas tujuh tingkat kuning. Mereka mungkin lebih dulu dariku, tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan membuktikan bahwa bakat bukanlah segalanya. Kerja keras dan tekad yang kuat akan membawaku pada kemenangan."
Dengan senyum penuh keyakinan akan kemampuannya saat ini, Henea menatap masa depannya.
Seolah seperti sungai yang mengalir deras, energi spiritual memenuhi tubuh Henea. Tulang-tulangnya terasa semakin kuat, dan meridiannya semakin lancar mengalirkan energi. Ini adalah tanda jelas bahwa kekuatannya telah meningkat ke level yang baru.
Malam berlalu.
Fajar menyingsing, menandai awal dari hari yang baru. Henea membuka matanya dan seketika itu juga dia merasakan sensasi berbeda dalam tubuhnya.
"Aku berhasil mencapai level pemula tingkat ketiga!"
Tanpa ragu, Henea melayangkan tinjunya ke arah batu besar di sampingnya. Pukulannya begitu kuat hingga meninggalkan bekas yang dalam.
Bekas tinju yang dalam di batu itu adalah bukti nyata dari peningkatan kekuatannya yang luar biasa.
"Semua usahaku selama ini tidak sia-sia. Aku sangat bangga pada diriku sendiri. Aku telah membuktikan bahwa dengan kerja keras dan tekad yang kuat aku bisa mencapai apa saja."
Senyum lebar terukir di wajah Henea. Semua jerih payah dan pengorbanannya selama ini akhirnya terbayar lunas.
"Buk, buk, buk!"
"Ayo, cepat! Berhati-hatilah, ini barang berharga!"
Henea mendengar suara gaduh dari luar.
"Hah?" Dengan wajah penuh tanda tanya, Henea keluar dari ruangan untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Saat membuka pintu, pemandangan yang dilihat Henea membuatnya terkejut. Rumahnya yang dulu nyaman kini tampak seperti medan perang. Perabotan berserakan, dan puing-puing memenuhi halaman. Sepertinya ada yang tidak beres.
Dengan suara bergetar karena marah, Henea mencengkeram kerah salah satu pelayan. "Apa-apaan ini? Kalian sedang apa?" bentaknya.
Salah satu pelayan menyeringai, "Oh, ternyata kamu masih hidup. Tuan Muda tidak menyukai kehadiranmu, jadi semua barangmu akan kami bawa pergi. Kamu keberatan?"
Seorang pemuda dengan wajah angkuh mendekati Henea. Tatapannya penuh dengan penghinaan, seolah Henea adalah serangga yang tidak berharga.
Wajah Toni Lintara yang sombong itu sangat familiar bagi Henea. Dia tahu betul bahwa pemuda ini selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkannya.
"Kamu pecundang, kembalilah ke tempat asalmu. Kalau tidak, jangan salahkan aku karena bersikap kasar!" Kemarahan Henea memuncak. Dia ingin sekali menghajar Toni, tapi dia tahu bahwa kalau dia bertindak gegabah, dia akan kalah. Dia harus menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam.
Toni tertawa mengejek. "Kamu kira kamu siapa? Hanya seorang pecundang. Jangan lupa, aku anak dari pengurus tertinggi. Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau padamu."
"Hahaha!"
Para pelayan ikut tertawa terbahak-bahak. Mereka merasa senang melihat Henea dipermalukan. Para pelayan yang awalnya sedikit waspada pada Henea, kini merasa tenang setelah mendengar ucapan Toni. Mereka yakin bahwa Henea tidak akan berani melawan.
"Aku memberimu satu kesempatan terakhir, keluar dari sini sekarang juga!" Henea berteriak keras dan memerintahkan mereka untuk pergi.
"Apa yang terjadi?" Toni sedikit terkejut mendengar teriakan Henea. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Henea kali ini.
Di hadapan para pelayannya, Henea harus menjaga citranya sebagai pemimpin yang kuat dan tidak terkalahkan. Bagaimana mungkin dia bisa memimpin kalau dia terlihat lemah dan mudah ditaklukkan? Kalau dia ingin disegani, dia harus menunjukkan kekuatannya.
Dengan nada mengejek, Toni menantang Henea. Dia ingin menunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa. "Ayo, kita lihat seberapa kuat kamu sebenarnya," tantangnya sambil mengepalkan tinjunya.
Tanpa menunggu lebih lama, Henea langsung menyerang.
"Kamu yang memulai ini," ucap Henea sambil meluncurkan serangannya.
Pukulan demi pukulan mendarat di wajah Toni. Henea menyerang dengan cepat dan akurat, membuat Toni tidak berdaya untuk melawan.
Rasa sakit yang luar biasa memenuhi tubuh Toni. Dia tidak percaya bahwa dia telah dikalahkan dengan mudah oleh Henea.
"Bagaimana dia bisa begitu kuat? Dengan kekuatan seni bela diri tingkat kedua saya, aku bahkan tidak bisa melawan. Ada yang tidak beres." Toni merasa sangat malu dan marah. Dia tidak menyangka bahwa dia akan dipermalukan di depan semua orang.
"Kamu bajingan kecil! Kalau kamu berani memukulku, kamu akan mati." Toni mengancam Henea dengan suara lemah. Namun, ancamannya terdengar tidak meyakinkan. Dia tahu bahwa dia telah kalah.
"Baiklah, seperti yang kamu katakan, kamu sudah mati, budak anjing."
Henea mendekati Toni selangkah demi selangkah.
"Deg, deg, deg!"
Di samping, para pelayan terlihat sangat ketakutan sehingga mereka tidak berani mengeluarkan satu kata pun. Toni mulai mengeluarkan banyak berkeringat. Dia menyadari bahwa dia akan kalah telak.
"Apa yang akan kamu lakukan? Ayahku adalah seorang petinggi. Kalau kamu berani membunuhku, ayahku tidak akan pernah membiarkanmu kabur!" Suara Toni terdengar sangat ketakutan hingga dia hampir tercekik.
"Ya, ayahmu adalah seorang petinggi dan memiliki kekuasaan serta kekuatan yang besar. Lalu, apa yang harus kulakukan dengan itu?" Kata Henea dengan ekspresi bercanda di wajahnya.
"Oh, jadi baru sekarang kamu mengerti, ya? Kamu harus merangkak dan memohon ampun padaku. Segera bawa aku ke tabib untuk memeriksa luka-lukaku ini! Ayahku tidak akan tinggal diam kalau tahu kamu telah menyakitiku. Kamu akan menyesal seumur hidup! Dasar manusia sampah! Kamu tidak berguna!"
Sepertinya Toni tidak memahami arti ekspresi Henea. Dia menjadi congkak lagi, yang secara tidak langsung menantang Henea untuk menghabisi nyawanya.
"Sssshhh!"
Henea bergerak dan melayangkan tinjunya bagai batu yang dilemparkan dari ketinggian.
"Duak!"
Bola cahaya kuning melayang menuju kepala Henea dan dia menyerap kekuatan baru.
"Cih, ternyata bakat bocah ini hanya berada di tingkat kuning. Bahkan setelah kuserap, kekuatanku tidak bertambah signifikan. Sepertinya untuk tumbuh lebih kuat, aku harus mencari bakat yang lebih tinggi levelnya."
Ucap Henea setelah menyerap kekuatan Toni.
Para pelayan yang menyaksikan kematian tragis majikan mereka langsung terdiam kaku. Wajah mereka pucat pasi, tubuh gemetar ketakutan. Mereka tidak berani mengeluarkan suara sedikit pun.
"Pergi kalian, dasar bajingan!"
Henea menganggap Toni tidak layak untuk dibunuh. Dia adalah sampah yang tidak berguna.
Dengan rasa takut dan bersyukur, para pelayan akan berjanji setia pada Henea dan rela melakukan apa pun untuknya.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved