Bab 5: Paviliun Seni Bela Diri

by Josena Sibudan 17:32,Mar 09,2024
Keesokan harinya.

"Manusia atau binatang semuanya bisa menjadi sumber kekuatan baru. Seperti anjing ganas kemarin, aku akan mengubah kekuatan mereka menjadi milikku!"

Henea membuka buku catatannya, membolak-balik halaman yang penuh coretan. Semua makhluk memiliki potensi kekuatan. Tinggal bagaimana kita mengolahnya. Kuat atau lemah, semua bisa menjadi batu loncatan untuk mencapai puncak.

"Pegunungan Vermont! Tempat di mana kekuatan liar bersemayam. Disanalah aku akan menguji batas kemampuan diriku!"

Seratus delapan puluh mil dari hiruk pikuk Kota Edoras, tersembunyi pegunungan misterius bernama Pegunungan Vermont. Legenda mengatakan, pegunungan ini dipenuhi racun mematikan dan dihuni oleh makhluk-makhluk buas yang tidak kenal ampun.

"Dengan menyerap kekuatan binatang buas, aku akan melampaui batasku! Tapi, aku tidak bisa gegabah. Aku perlu mempersiapkan diri terlebih dahulu. Paviliun Seni Bela Diri adalah tempat yang tepat untuk itu."

Dua bulan adalah waktu yang cukup untuk mencapai tujuannya. Henea mengepalkan tangannya erat. Dalam dua bulan, Henea akan menjadi lebih kuat. Dia akan menaklukkan Pegunungan Vermont.

Pegunungan Vermont adalah neraka bagi manusia biasa. Dengan kekuatannya saat ini, Henea tahu dia belum cukup kuat. Dia butuh senjata yang lebih ampuh. Paviliun Seni Bela Diri adalah jawabannya.

Dengan langkah pasti, Henea melangkah masuk ke dalam Paviliun Seni Bela Diri. Aura semangat membara dalam dirinya.

Tingkat pertama Paviliun Seni Bela Diri.

Tingkat pertama hanya berisi teknik dasar yang sudah dikuasainya. Dengan angkuh, Henea melangkah ke tingkat dua, tempat rahasia keluarga Orenji tersimpan.

Di tingkat dua, gulungan-gulungan kuno tersimpan rapi. Masing-masing berisi rahasia kekuatan yang telah diwariskan selama bergenerasi. Secara umum, murid-murid jenius dari Keluarga Orenji pergi ke lantai dua untuk memilih teknik tersebut.

"Telapak Awan Api! Teknik yang sempurna untukku! Bayangkan, dengan satu pukulan, aku bisa menghancurkan batu seberat dua ribu kilogram!"

"Teknik Pedang Surgawi! Teknik ini memiliki tiga belas gerakan mematikan yang saling terkait. Ini adalah teknik yang akan membuatku tidak terkalahkan! Tapi, aku harus berlatih keras selama setengah tahun untuk menguasainya."



Setelah berkeliaran dalam waktu yang lama, Henea tidak dapat memutuskan mana yang harus dipilih. Ada aturan di klan bahwa murid langsung hanya diperbolehkan memilih satu seni bela diri tingkat tinggi dalam waktu setengah tahun.

Suara parau dan tegas membuyarkan lamunannya. Seorang lelaki tua dengan mata tajam menatapnya, "Kenapa kamu lamban sekali? Pilih satu dan pergi! Waktu itu berharga!"

Henea terkejut. Dia baru menyadari kehadiran penjaga paviliun yang selama ini seolah menyatu dengan bayangan. Mata tuanya yang menyipit seakan menyimpan rahasia kekuatan yang mendalam.

Henea membungkuk hormat, "Maafkan aku, Tetua. Aku masih ragu-ragu."

Henea berkata dengan sopan, dia tahu bahwa lelaki tua yang menjaga Paviliun Seni Bela Diri itu luar biasa dan status serta kekuatannya setara dengan para tetua Paviliun Penatua.

Penjaga paviliun mendengus kesal. "Sudah kubilang pilih satu! Jangan buang-buang waktuku. Oh, ya, di tingkat tiga ada harta karun yang lebih menarik. Tapi, kamu yakin bisa menguasainya?" nada suaranya mengejek.

Dalam benak penjaga, Henea hanyalah anak muda yang terlalu ambisius. Anak muda seperti ini selalu ingin yang terbaik. Tapi, kekuatan sejati bukan hanya soal memilih, tapi juga tentang usaha dan kerja keras.

Mata Henea bersinar penuh semangat. Tingkat tiga! Tempat terlarang yang menyimpan rahasia kekuatan sejati.

"Terima kasih banyak, Tetua!" Dengan langkah penuh keyakinan, Henea melangkah menuju tangga menuju menara gunung.

Penjaga paviliun menggelengkan kepala sambil tersenyum sinis. "Bodoh! Anak itu benar-benar bodoh! Seni bela diri terkuat bukan untuk sembarang orang."

Tetua itu awalnya hanya ingin mengejek, tetapi Henea justru termotivasi. Penjaga paviliun merasa ada yang aneh pada anak muda ini.

Seni bela diri terkuat itu seperti pedang bermata dua. Kalau tidak dikuasai dengan sempurna, justru akan menghancurkan diri sendiri. Banyak orang jenius telah gagal.

Ruangan di lantai tiga itu tidak terlalu besar, sunyi, dan senyap. Di tengah ruangan, ada dua peti kayu kuno tergeletak memancarkan aura misterius.

"Ini dia," gumam Henea, matanya berbinar penuh harap.

Dengan hati berdebar, Henea membuka peti itu. Di dalamnya tersimpan sebuah gulungan kuno yang diikat dengan pita sutra merah tua. Ketika gulungan itu terbuka, sebuah peta bintang yang rumit terbentang di hadapannya.

"Ilmu Pedang Sembilan Bintang," bisiknya, "Nama yang begitu agung, seolah menjanjikan kekuatan tidak terbatas."

Henea mulai mempelajari peta bintang itu. Semakin dalam dia menatap, semakin dia merasa tersedot ke dalam pusaran kekuatan misterius. Kepalanya terasa berputar, pikirannya melayang-layang. Seakan ada kekuatan kuno yang mencoba merasuki jiwanya.

Meski tubuhnya merintih kesakitan, Henea tetap bertekad untuk menguasai kekuatan kuno ini. Dengan susah payah, dia berusaha memahami pola pertama dari Ilmu Pedang Sembilan Bintang.

Semakin dalam dia menyelami, semakin hebat tekanan yang dia rasakan, hingga akhirnya kepalanya terasa seperti akan pecah.

Dengan napas tersengal-sengal, Henea menghentikan usahanya. "Terlalu dalam," gumamnya, "Ilmu ini seperti lautan tanpa batas. Aku hanyalah setitik buih yang tidak berarti." Rasa putus asa mulai menguasainya.

Dengan berat hati, Henea melepaskan Ilmu Pedang Sembilan Bintang itu. Dia beralih ke gulungan berikutnya, berharap menemukan sesuatu yang lebih mudah dipahami.

Kali ini, Henea hanya mengamati gerakan-gerakan dalam gulungan itu tanpa berusaha memahaminya terlalu dalam. Dia seperti seorang anak kecil yang sedang bermain, tanpa beban dan tekanan.

Matanya berbinar ketika membaca judul gulungan berikutnya. "Ilmu Tebasan Langit Mematikan," gumamnya, "Nama yang sangat mengesankan. Bayangkan, dengan teknik ini aku bisa membelah langit dan membelah bumi!"

Henea menghela napas panjang. Kedua teknik pedang ini sama-sama menyimpan rahasia kekuatan yang luar biasa, namun juga penuh dengan bahaya. Dia sadar, dirinya belum siap untuk menghadapi tantangan sebesar itu.

"Kalau aku bisa menguasai salah satu dari teknik ini, aku pasti akan menjadi seorang pejuang yang sangat kuat. Tapi kalau aku bisa menguasai keduanya, aku bahkan tidak berani membayangkannya," gumam Henea dalam hati, seraya menatap kedua gulungan kuno itu dengan penuh kagum dan rasa takut.

Henea merasakan pertentangan yang mendalam. Kedua teknik pedang itu bagai yin dan yang, api dan air. Tidak mungkin memadukan keduanya. Mereka seperti dua kutub magnet yang saling tolak-menolak. Kalau dipaksakan, yang ada hanyalah kehancuran.

Wajah penjaga paviliun memerah menahan amarah. "Cukup!" teriaknya lantang, suaranya menggema di ruangan. "Apa yang kamu lakukan ini sangat berbahaya! Keluar dari sini sekarang juga!"

Penjaga paviliun menatap Henea dengan tatapan tajam. Dia memahami betul betapa rumit dan berbahayanya kedua teknik pedang itu.

Henea berusaha membujuk, "Tetua, aku mohon. Izinkan aku mempelajari kedua teknik ini selama dua bulan saja. Aku berjanji akan mengembalikannya dan tidak akan menyalahgunakannya."

Penjaga paviliun mencibir, "Kamu pikir kamu ini siapa? Berani-beraninya ingin mempelajari teknik setingkat ini? Kamu tahu apa akibatnya jika gagal? Itu sama saja dengan mencari kematian. Keluar dari sini sebelum aku mengusirmu! Kenapa Keluarga Orenji memiliki junior bodoh sepertimu? Aku benar-benar kesal!" Penatua Shouge banyak bicara."

Henea menghela napas. Dia tahu penjaga paviliun tidak akan mengizinkannya. Dengan berat hati, dia memutuskan untuk hanya mengamati kedua teknik itu dari jauh. Dia duduk bersila, matanya terpaku pada gulungan-gulungan kuno.

Henea fokus pada setiap detail gerakan, setiap garis, dan setiap kurva. Dia berusaha menghafalnya seutuhnya, seperti seorang seniman yang sedang menyalin sebuah lukisan indah.

Penjaga paviliun menggelengkan kepala. "Sudahlah," gumamnya, "Biarkan saja. Mungkin dengan begitu dia akan sadar diri." Dia tahu, tidak ada gunanya melarang Henea lebih lanjut.

Penjaga paviliun menggelengkan kepalanya dan senyum sinis menghiasi wajahnya. "Bodoh," gumamnya dalam hati. "Kamu pikir dengan bertindak seperti itu aku akan merasa iba? Kamu salah besar! Kamulah yang memilih jalan ini dan kamulah yang akan menanggung akibatnya."

Waktu seakan berhenti bagi Henea. Jam demi jam, dia tenggelam dalam dunia seni bela diri. Delapan jam terasa seperti beberapa menit saja.

"Henea membuka matanya dan seulas senyum tipis menghiasi wajahnya. "Akhirnya," gumamnya, "Semua gerakan, semua pola energi, sudah tertanam kuat dalam ingatanku."

Ilmu Pedang Sembilan Bintang, total sembilan gaya. Ilmu Tebasan Langit Mematikan, total tiga belas gerakan. Dua teknik itu kini menjadi bagian darinya. Setiap gerakan, setiap aliran energi, terasa begitu alami dan mengalir bagai air.

Henea meninggalkan ruangan dengan langkah penuh percaya diri. Dia merasa telah siap menghadapi tantangan yang menanti.

"Dua bulan dari sekarang, aku akan kembali, Senior," ujar Henea dengan hormat. "Mohon periksa kemajuan saya."

Itulah aturan yang tidak bisa ditawar. Semua murid yang meminjam teknik harus mempertanggungjawabkan hasil latihan mereka.

Penjaga paviliun menatap Henea dengan tatapan tajam, "Jangan terlalu percaya diri. Dalam dua bulan, kita lihat seberapa jauh kemampuanmu. Jika kamu gagal, jangan salahkan siapa-siapa."

Henea tersenyum tipis. Dia tahu jalan yang akan dia tempuh tidak mudah, namun dia siap menghadapinya. Dengan langkah tegap, dia meninggalkan paviliun.

Henea sadar betul bahwa dia masih memiliki banyak kekurangan. Namun, ia memiliki tekad yang kuat. Dia percaya dengan kerja keras dan kegigihan, dia pasti bisa menguasai kedua teknik pedang itu.

Saat meninggalkan paviliun, Henea termenung. Tatapannya menerawang, seakan masih larut dalam renungan mendalam.

Henea menuju kandang kuda. Setelah menemukan kudanya, dia segera memacu tunggangannya meninggalkan kompleks paviliun. Angin malam menerpa wajahnya, membangkitkan semangat juang dalam dirinya.

Malam telah tiba. Ketika sampai di batas hutan, Henea terkesiap. Ribuan orang berkumpul di sana, membentuk lautan manusia yang membentang sejauh mata memandang. Obrolan ramai, sorak-sorai, dan tawa memenuhi udara.

"Wah, ramai sekali!" seru Henea takjub. Dia belum pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya.

Henea turun dari kudanya dan bergabung dengan kerumunan. Wajah-wajah muda penuh semangat berkumpul di sana, masing-masing memiliki tujuan yang sama, untuk menguji keberanian dan kekuatan mereka di Pegunungan Vermont.

Henea mengamati orang-orang di sekitarnya. Ada yang datang dari keluarga bangsawan, ada pula dari desa terpencil. Namun, mereka semua memiliki satu kesamaan: semangat petualangan yang membara.

"Rumah Seni Bela Diri Keluarga Baltimore Membutuhkan Petualang Hebat!" Suara seorang pria menggema.

"Murid dari Sekte Lunar, mohon bentuk tim. Kalau kamu memiliki kekuatan di atas level 5, silakan bergabung."

Henea berjalan menyusuri kerumunan. Ada puluhan tim yang mencari orang untuk membentuk tim. Persaingan untuk bertahan hidup di hutan belantara ini sangatlah ketat.

Henea menghela napas. Dia tahu bahwa peluangnya kecil untuk diterima di tim manapun. Namun, dia tidak menyerah begitu saja.

Tapi, tidak ada jalan lain lagi selain bergabung dengan tim. Ini terlalu berbahaya kalau dia sendirian.

"Aku ingin bergabung dengan tim kalian," ujarnya dengan suara tegas.

Tim tersebut sudah hampir lengkap. Hanya ada satu slot kosong lagi.

Seorang pemuda bertubuh kekar menatap Henea dengan penuh minat. "Berapa tingkat kekuatanmu?" tanyanya.

Henea menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku berada di tingkat ketiga."

Wajah pemuda yang bertanya tiba-tiba berubah menjadi dingin.

"Apa kamu buta? Kami sedang merekrut master tingkat lima? Dasar sampah, keluar dari sini."

Ekspresi Henea juga menegang tidak senang. "Apakah kamu bisa berbicara dengan sopan?"

"Aku bahkan tidak bisa memarahimu lagi? Kamu ini sampah, aku akan membunuhmu!"

Kemudian, dia mengambil langkah maju dan mengambil tindakan.

"Tunggu sebentar!" seru seorang pemuda dengan senyum lebar, matanya berbinar penuh semangat. Rambutnya yang terurai berkibar tertiup angin, memperlihatkan wajahnya yang tampan. "Kami sedang membutuhkan bantuan untuk membersihkan hasil buruan kami. Mau bergabung?"

Seorang pemuda lain dengan tatapan angkuh hendak menyela. Namun, sebelum kalimatnya selesai, dia terdiam. Matanya membulat ketika menyadari siapa yang baru saja mereka ajak bicara. "Maaf, maafkan aku," ucapnya terbata-bata. "Aku tidak tahu kalau itu kamu, Revan Melud."

Revan hanya menatap tajam pemuda yang telah menghinanya. Pemuda itu langsung menunduk wajahnya memerah padam. Dengan cepat, dia menghilang ke dalam kerumunan, meninggalkan jejak keringat dingin di punggungnya.

Henea mengangguk tegas. "Baiklah, saya akan bergabung," ujarnya dengan suara mantap.

Revan adalah pemimpin dari kelompok petualang yang terkenal tangguh dan berani. Timnya terdiri dari lima orang yang memiliki keahlian masing-masing. Selain Revan, ada dua gadis cantik yang juga merupakan petarung ulung.

Revan menunjuk ke anggota timnya satu per satu. "Ini Givic, Waslie, Mabu, Alle, dan Elijah." Kemudian, diia menunjuk dirinya sendiri, "Dan aku, Revan, pemimpin tim ini."

"Namaku Henea."

Alle, gadis dengan rambut pirang panjang dan mata biru cerah, tersenyum manis pada Henea. "Selamat datang di tim kami, Henea," ujarnya ramah. "Tugas utamamu nanti adalah membantu membersihkan hasil buruan kami dan membawa beberapa perlengkapan yang dibutuhkan. Tapi jangan khawatir, kami akan mengajarkanmu banyak hal."

Henea mengangguk dam matanya berkilau dengan tekad. "Aku mengerti," ujarnya tegas. "Bagiku, ini bukan sekadar perburuan. Ini adalah kesempatan emas untuk belajar dan berkembang." Dalam hati, dia bertekad untuk menyerap semua ilmu dan pengalaman yang bisa dia dapatkan dari kelompok ini.

Mengikuti mereka tidak akan membahayakan Henea.

Revan memberikan aba-aba. "Baiklah, sudah saatnya kita berangkat!" Suaranya bergema di antara pepohonan. Dengan langkah pasti, dia memimpin timnya menuju kedalaman hutan. Henea mengikuti di belakang, matanya penuh semangat menatap petualangan yang menanti.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

634